KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
May 30, 2012  |  By Ellen K In Pengasuhan
Teknik Disiplin Terburuk #6
Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. (Dok. Istimewa)
Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. (Dok. Istimewa)
Post Views: 118

Ceramah moral. Itulah yang keenam dari 10 teknik disiplin terburuk menurut psikoterapis James Windell dalam bukunya Discipline. Teknik verbal ini bisa kita lihat dipakai oleh banyak orangtua, seringnya tanpa hasil.

Sebagian orangtua mungkin protes, “Maksudnya, anak tidak perlu diceramahi sama sekali tentang pentingnya belajar?” Maaf, kata Windell, semua kuliah-kuliah favorit kita bahwa anak wajib bertanggung jawab, menjauhi teman-teman bermasalah, jangan merokok, dan sebagainya termasuk ke dalam daftar ceramah moral.

Menurut Windell, anak-anak biasanya tidak betul-betul mau mendengarkan ceramah orangtua. Segala macam pidato dengan awalan “Seharusnya kamu …” atau “Waktu Bapak/Ibu seumur kamu …” atau pembukaan-pembukaan gambit ceramah lainnya cenderung tidak efektif.

Sering, orangtua mengandalkan teknik ceramah moral (moralisme) karena mereka pikir cara ini bisa menyadarkan anaknya. Seperti yang dikerjakan oleh Bapak dan Ibu R berikut ini.

Putra Bapak dan Ibu R yang berusia 16 tahun mematahkan semua upaya orangtuanya dalam memperbaiki nilai-nilai dan perilakunya di sekolah. Mereka telah mencoba segala macam cara yang mereka tahu – hadiah, janji, hukuman, ancaman. Maka yang tersisa hanyalah, menurut mereka, mengkuliahi anak itu.

Memberi kuliah bukan hal sulit bagi Ibu R, karena dia adalah kepala bagian di kantor yang biasa menuntut respek dari bawahannya. Dengan pendidikan yang tinggi dan pengalaman kerjanya, Ibu R tahu betul manfaat pendidikan. Kalau kesadaran yang sama bisa ditransfer ke anak lelakinya, ia yakin anak itu pasti akan berperilaku sesuai harapan ayah-ibunya.

Maka, baik Ibu maupun Bapak R sering memanggil anak mereka dan memulai monolog panjang yang intinya, “Kamu tidak akan bisa jadi orang kalau kamu tidak mengubah perilakumu di sekolah dan bekerja keras. Siapa yang mau mempekerjakanmu kalau kamu tidak berpendidikan baik?”

Kuliah-kuliah ini senantiasa berjalan searah, karena pertanyaan-pertanyaannya bersifat retoris, tidak dimaksudkan untuk dijawab. Dan kalau Bapak atau Ibu R menuntut putranya menjawab, respon yang keluar sebatas, “Aku tidak tahu” atau “Aku akan berusaha lebih baik lagi semester depan”. Jawaban-jawaban standar seperti ini biasanya tidak memuaskan orangtua dan hanya membuat mereka memperpanjang ceramah.

Pasangan R punya harapan dan rencana tinggi bagi putra semata wayang mereka. Mereka sangat berkepentingan melihatnya berprestasi di sekolah dan bisa melanjutkan kuliah. Dan ketika anak itu tidak memenuhi harapan itu, mereka menjadi panik dan berupaya mencari jalan pintas untuk mengatasinya.

Cara yang paling cepat dalam pandangan mereka adalah memberikan nasihat-nasihat yang bagus dan berusaha meyakinkan si anak bahwa nasihat itu memang bagus.

Sayangnya, kebanyakan anak – terutama remaja – menulikan telinga ketika diceramahi. Prinsipnya, orang tidak suka diceramahi tentang apa yang harus dikerjakan. Kita lebih suka kita yang didengarkan dan dipahami. Pada umumnya, saat kita merasa butuh nasihat, kita yang akan memintanya. Orang dewasa merasa begitu. Anak-anak juga merasa begitu. Dan setiap anak yang ikut sesi terapi dengan James Windell juga mengiyakan perasaan itu – sekalipun mereka sadar bahwa itu salah.

Anak-anak tampaknya ingin memiliki otonomi atas kehidupan mereka sendiri, termasuk melakukan kesalahan. “Ini hidupku, bukan hidupmu,” batin mereka tanpa mengatakannya. Dengan begitu, ceramah atau kuliah adalah teknik disiplin yang membuang-buang waktu dan energi. (Bersambung)

 

Serial artikel 10 Teknik Disiplin Terburuk:
1.  Kekerasan Fisik
2.  Paksaan/Ancaman
3.  Teriakan/Bentakan
4.  Tuntutan Seketika
5.  Nagging (Desakan)
6.  Ceramah Moral
7.  Reaksi Emosional Berlebihan
8.  Mempermalukan
9.  Memasang Perangkap
10. Membangkitkan Rasa Bersalah Berlebihan

Facebook Comments

Article by Ellen K

Ellen Kristi. Ibu tiga anak homeschooler, praktisi metode CM dan penulis buku "Cinta Yang Berpikir", berdomisili di Semarang. Dapat dihubungi lewat ellenkristi@gmail.com

Previous StoryTeknik Disiplin Terburuk #5
Next StoryResep Jadi Orang Sabar

Related Articles

  • ular naga_736_420
    Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan?
    View Details
  • tumbang anak_736_420
    Menguatkan Fondasi Proses Belajar Anak Sejak Usia Dini
    View Details

no replies

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • Podcast #39: Melatih Kekuatan Kehendak Anak (Way of the Will) April 11, 2021
  • Podcast #38: Ngobrol dengan Bandung Mawardi: Sastra, Buku, dan Menulis March 28, 2021
  • Podcast #37: Memulai Pendidikan CM Saat Anak Sudah Remaja March 14, 2021
  • Podcast #36: Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi February 28, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 February 18, 2021
  • Podcast #35: Belajar Sastra ala Metode CM February 14, 2021
  • Pelajaran Berhitung Pertama Anak Prasekolah February 11, 2021
  • Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan? February 9, 2021
  • Podcast #34: Tetap Kalem Saat Anak Emosional February 6, 2021
  • Refleksi Seorang Guru tentang Kesalahan Umum Orangtua dan Guru February 5, 2021

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • Rilis Rekomendasi Tim Kurikulum CMid Tahap #1 167 views | 0 comments | by admin | posted on February 12, 2019
  • 10 Ciri Pribadi Kekanak-kanakan dan Solusinya 143 views | 0 comments | by admin | posted on September 16, 2017
  • Podcast #39: Melatih Kekuatan Kehendak Anak (Way of the Will) 71 views | 0 comments | by admin | posted on April 11, 2021
  • Kurikulum dan Keseharian Homeschooling ala Metode Charlotte Mason 42 views | 0 comments | by Ayu P | posted on April 28, 2020
  • Mitos Gaya Belajar dan Salah Kaprah Kecerdasan Majemuk 39 views | 0 comments | by Ellen K | posted on March 14, 2019

KOMENTAR TERKINI

  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Sizi on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Normalita h on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ardiba on Pendidikan ala CM untuk Keluarga Muslim
  • Ellen K on Membantu Anak Menemukan Tujuan Hidupnya

Visitors

Today: 332

Yesterday: 492

This Week: 5234

This Month: 31068

Total: 271195

Currently Online: 90

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.