Ceramah moral. Itulah yang keenam dari 10 teknik disiplin terburuk menurut psikoterapis James Windell dalam bukunya Discipline. Teknik verbal ini bisa kita lihat dipakai oleh banyak orangtua, seringnya tanpa hasil.
Sebagian orangtua mungkin protes, “Maksudnya, anak tidak perlu diceramahi sama sekali tentang pentingnya belajar?” Maaf, kata Windell, semua kuliah-kuliah favorit kita bahwa anak wajib bertanggung jawab, menjauhi teman-teman bermasalah, jangan merokok, dan sebagainya termasuk ke dalam daftar ceramah moral.
Menurut Windell, anak-anak biasanya tidak betul-betul mau mendengarkan ceramah orangtua. Segala macam pidato dengan awalan “Seharusnya kamu …” atau “Waktu Bapak/Ibu seumur kamu …” atau pembukaan-pembukaan gambit ceramah lainnya cenderung tidak efektif.
Sering, orangtua mengandalkan teknik ceramah moral (moralisme) karena mereka pikir cara ini bisa menyadarkan anaknya. Seperti yang dikerjakan oleh Bapak dan Ibu R berikut ini.
Putra Bapak dan Ibu R yang berusia 16 tahun mematahkan semua upaya orangtuanya dalam memperbaiki nilai-nilai dan perilakunya di sekolah. Mereka telah mencoba segala macam cara yang mereka tahu – hadiah, janji, hukuman, ancaman. Maka yang tersisa hanyalah, menurut mereka, mengkuliahi anak itu.
Memberi kuliah bukan hal sulit bagi Ibu R, karena dia adalah kepala bagian di kantor yang biasa menuntut respek dari bawahannya. Dengan pendidikan yang tinggi dan pengalaman kerjanya, Ibu R tahu betul manfaat pendidikan. Kalau kesadaran yang sama bisa ditransfer ke anak lelakinya, ia yakin anak itu pasti akan berperilaku sesuai harapan ayah-ibunya.
Maka, baik Ibu maupun Bapak R sering memanggil anak mereka dan memulai monolog panjang yang intinya, “Kamu tidak akan bisa jadi orang kalau kamu tidak mengubah perilakumu di sekolah dan bekerja keras. Siapa yang mau mempekerjakanmu kalau kamu tidak berpendidikan baik?”
Kuliah-kuliah ini senantiasa berjalan searah, karena pertanyaan-pertanyaannya bersifat retoris, tidak dimaksudkan untuk dijawab. Dan kalau Bapak atau Ibu R menuntut putranya menjawab, respon yang keluar sebatas, “Aku tidak tahu” atau “Aku akan berusaha lebih baik lagi semester depan”. Jawaban-jawaban standar seperti ini biasanya tidak memuaskan orangtua dan hanya membuat mereka memperpanjang ceramah.
Pasangan R punya harapan dan rencana tinggi bagi putra semata wayang mereka. Mereka sangat berkepentingan melihatnya berprestasi di sekolah dan bisa melanjutkan kuliah. Dan ketika anak itu tidak memenuhi harapan itu, mereka menjadi panik dan berupaya mencari jalan pintas untuk mengatasinya.
Cara yang paling cepat dalam pandangan mereka adalah memberikan nasihat-nasihat yang bagus dan berusaha meyakinkan si anak bahwa nasihat itu memang bagus.
Sayangnya, kebanyakan anak – terutama remaja – menulikan telinga ketika diceramahi. Prinsipnya, orang tidak suka diceramahi tentang apa yang harus dikerjakan. Kita lebih suka kita yang didengarkan dan dipahami. Pada umumnya, saat kita merasa butuh nasihat, kita yang akan memintanya. Orang dewasa merasa begitu. Anak-anak juga merasa begitu. Dan setiap anak yang ikut sesi terapi dengan James Windell juga mengiyakan perasaan itu – sekalipun mereka sadar bahwa itu salah.
Anak-anak tampaknya ingin memiliki otonomi atas kehidupan mereka sendiri, termasuk melakukan kesalahan. “Ini hidupku, bukan hidupmu,” batin mereka tanpa mengatakannya. Dengan begitu, ceramah atau kuliah adalah teknik disiplin yang membuang-buang waktu dan energi. (Bersambung)
Serial artikel 10 Teknik Disiplin Terburuk:
1. Kekerasan Fisik
2. Paksaan/Ancaman
3. Teriakan/Bentakan
4. Tuntutan Seketika
5. Nagging (Desakan)
6. Ceramah Moral
7. Reaksi Emosional Berlebihan
8. Mempermalukan
9. Memasang Perangkap
10. Membangkitkan Rasa Bersalah Berlebihan
no replies