KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
June 13, 2012  |  By Ellen K In Pengasuhan
Teknik Disiplin Terburuk #10
Membuat anak merasa bersalah tidak menyelesaikan masalah. (Dok. Istimewa)
Membuat anak merasa bersalah tidak menyelesaikan masalah. (Dok. Istimewa)
Post Views: 124

Kita sampai pada yang terakhir dari 10 Teknik Disiplin Terburuk menurut psikoterapis spesialis problem keluarga James Windell dari bukunya Discipline. Langsung saja, mari kita bahas teknik membangkitkan rasa bersalah berlebihan.

Rasa bersalah dalam porsi yang tepat itu baik. Banyak orang terdorong berperilaku sesuai norma dan hukum untuk menghindari rasa bersalah. Namun, jika berlebihan, rasa bersalah bisa melumpuhkan, membuat seseorang merasa tak percaya diri, lemah, tak bisa bertindak lepas dan mandiri.

Windell mengamati, sebagian orangtua pandai sekali membangkitkan rasa bersalah dalam diri anak. Mereka mengatakan hal-hal seperti, “Kalau kamu sayang pada Bapak, mestinya kamu menurut.” Atau, “Ibu selama ini sudah habis-habisan kerja keras buat kamu, lantas apa balasanmu?”. Jenis kalimat ‘memeras’ seperti ini bisa berdampak tidak sehat bagi perkembangan kepribadian anak.

Acap pula orangtua membangkitkan rasa bersalah dengan membuat anak merasa bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kondisi orangtuanya. “Kamu membuat Ibu marah!” atau “Gara-gara kamu, Bapak jadi sakit!” adalah contoh sikap seperti itu.

Dari perkawinan dengan istri pertamanya, Bapak W memperoleh seorang putri yang sekarang berumur sembilan tahun. Setelah bercerai, dia lantas menikah lagi. Putrinya, B, mengunjungi keluarga Bapak W yang baru ini setiap akhir pekan. Istri kedua Bapak W kurang suka pada B dan situasi ini sering menciptakan suasana yang tak menyenangkan.

Suatu akhir pekan, B sedang bermain lempar bola karet bersama kucingnya. Lemparannya tidak selalu pas. Kadang mengenai vas bunga, kadang hampir menyenggol lampu duduk. Ibu tiri B memperingatkannya untuk lebih hati-hati. Bapak W tidak mempedulikan situasi itu dan asyik membaca surat kabar di sofa.

Nah! Terjadi juga! Bola yang dilempar betul-betul akhirnya menghantam gelas di meja. Gelas itu jatuh dan pecah. Ibu W tak tahan lagi. Sambil berteriak jengkel, dia menghambur keluar rumah dan masuk ke mobil. Dia menyalakan mesin dengan deruman keras dan ngebut pergi, meninggalkan Bapak W dan putrinya yang saling memandang.

“Tante mau ke mana?” tanya B pada ayahnya.

“Sepertinya dia marah padamu,” kata Bapak W. “Papa tidak paham, kenapa sih kamu harus selalu mengerjakan hal-hal yang membuat dia kesal. Papa berusaha membuat hari Minggu menyenangkan untuk kalian semua, tapi kau selalu merusak suasana.”

Mari kita merenung sejenak. Orang lain, siapa pun, termasuk anak-anak kita, bisa menjadi stimulan bagi emosi kita, tetapi pilihan untuk membiarkan diri terhanyut dalam emosi itu atau tidak, siapakah yang paling bertanggung jawab kalau bukan kita sendiri?

Dalam kasus keluarga W di atas, sungguh tidak adil bahwa anak harus memikul tanggung jawab atas semua ledakan emosi ibu tiri dan ayahnya. Situasi seperti ini sangat tidak sehat. Dalam jangka panjang, menanamkan rasa bersalah seperti ini akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang terlalu sensitif dan was-was akan perubahan mood orang-orang di sekelilingnya. Orangtua sebaiknya menghindari teknik yang tidak efektif ini. (Tamat)

 

Serial artikel 10 Teknik Disiplin Terburuk:
1.  Kekerasan Fisik
2.  Paksaan/Ancaman
3.  Teriakan/Bentakan
4.  Tuntutan Seketika
5.  Nagging (Desakan)
6.  Ceramah Moral
7.  Reaksi Emosional Berlebihan
8.  Mempermalukan
9.  Memasang Perangkap
10. Membangkitkan Rasa Bersalah Berlebihan

Facebook Comments

Article by Ellen K

Ellen Kristi. Ibu tiga anak homeschooler, praktisi metode CM dan penulis buku "Cinta Yang Berpikir", berdomisili di Semarang. Dapat dihubungi lewat ellenkristi@gmail.com

Previous StoryTeknik Disiplin Terburuk #9
Next StoryKakak Cemburu pada Adik, Bagaimana Menanganinya?

Related Articles

  • ular naga_736_420
    Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan?
    View Details
  • tumbang anak_736_420
    Menguatkan Fondasi Proses Belajar Anak Sejak Usia Dini
    View Details

no replies

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi February 28, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 February 18, 2021
  • Podcast #35: Belajar Sastra ala Metode CM February 14, 2021
  • Pelajaran Berhitung Pertama Anak Prasekolah February 11, 2021
  • Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan? February 9, 2021
  • Podcast #34: Tetap Kalem Saat Anak Emosional February 6, 2021
  • Refleksi Seorang Guru tentang Kesalahan Umum Orangtua dan Guru February 5, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6 February 3, 2021
  • Yang Harus Dibenahi dalam Pendidikan Sains Kita February 2, 2021
  • Podcast #33: Proses Belajar Menulis Kreatif ala Metode CM January 30, 2021

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • 10 Ciri Pribadi Kekanak-kanakan dan Solusinya 150 views | 0 comments | by admin | posted on September 16, 2017
  • Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi 146 views | 0 comments | by admin | posted on February 28, 2021
  • Mengapa Anak Tantrum dan Cara Terbaik Menghadapinya 91 views | 0 comments | by Ellen K | posted on August 1, 2012
  • Rilis Rekomendasi Tim Kurikulum CMid Tahap #1 53 views | 0 comments | by admin | posted on February 12, 2019
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 45 views | 0 comments | by admin | posted on February 18, 2021

KOMENTAR TERKINI

  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Sizi on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Normalita h on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ardiba on Pendidikan ala CM untuk Keluarga Muslim
  • Ellen K on Membantu Anak Menemukan Tujuan Hidupnya

Visitors

Today: 261

Yesterday: 670

This Week: 2284

This Month: 10689

Total: 243973

Currently Online: 110

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.