Kita sampai pada yang terakhir dari 10 Teknik Disiplin Terburuk menurut psikoterapis spesialis problem keluarga James Windell dari bukunya Discipline. Langsung saja, mari kita bahas teknik membangkitkan rasa bersalah berlebihan.
Rasa bersalah dalam porsi yang tepat itu baik. Banyak orang terdorong berperilaku sesuai norma dan hukum untuk menghindari rasa bersalah. Namun, jika berlebihan, rasa bersalah bisa melumpuhkan, membuat seseorang merasa tak percaya diri, lemah, tak bisa bertindak lepas dan mandiri.
Windell mengamati, sebagian orangtua pandai sekali membangkitkan rasa bersalah dalam diri anak. Mereka mengatakan hal-hal seperti, “Kalau kamu sayang pada Bapak, mestinya kamu menurut.” Atau, “Ibu selama ini sudah habis-habisan kerja keras buat kamu, lantas apa balasanmu?”. Jenis kalimat ‘memeras’ seperti ini bisa berdampak tidak sehat bagi perkembangan kepribadian anak.
Acap pula orangtua membangkitkan rasa bersalah dengan membuat anak merasa bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kondisi orangtuanya. “Kamu membuat Ibu marah!” atau “Gara-gara kamu, Bapak jadi sakit!” adalah contoh sikap seperti itu.
Dari perkawinan dengan istri pertamanya, Bapak W memperoleh seorang putri yang sekarang berumur sembilan tahun. Setelah bercerai, dia lantas menikah lagi. Putrinya, B, mengunjungi keluarga Bapak W yang baru ini setiap akhir pekan. Istri kedua Bapak W kurang suka pada B dan situasi ini sering menciptakan suasana yang tak menyenangkan.
Suatu akhir pekan, B sedang bermain lempar bola karet bersama kucingnya. Lemparannya tidak selalu pas. Kadang mengenai vas bunga, kadang hampir menyenggol lampu duduk. Ibu tiri B memperingatkannya untuk lebih hati-hati. Bapak W tidak mempedulikan situasi itu dan asyik membaca surat kabar di sofa.
Nah! Terjadi juga! Bola yang dilempar betul-betul akhirnya menghantam gelas di meja. Gelas itu jatuh dan pecah. Ibu W tak tahan lagi. Sambil berteriak jengkel, dia menghambur keluar rumah dan masuk ke mobil. Dia menyalakan mesin dengan deruman keras dan ngebut pergi, meninggalkan Bapak W dan putrinya yang saling memandang.
“Tante mau ke mana?” tanya B pada ayahnya.
“Sepertinya dia marah padamu,” kata Bapak W. “Papa tidak paham, kenapa sih kamu harus selalu mengerjakan hal-hal yang membuat dia kesal. Papa berusaha membuat hari Minggu menyenangkan untuk kalian semua, tapi kau selalu merusak suasana.”
Mari kita merenung sejenak. Orang lain, siapa pun, termasuk anak-anak kita, bisa menjadi stimulan bagi emosi kita, tetapi pilihan untuk membiarkan diri terhanyut dalam emosi itu atau tidak, siapakah yang paling bertanggung jawab kalau bukan kita sendiri?
Dalam kasus keluarga W di atas, sungguh tidak adil bahwa anak harus memikul tanggung jawab atas semua ledakan emosi ibu tiri dan ayahnya. Situasi seperti ini sangat tidak sehat. Dalam jangka panjang, menanamkan rasa bersalah seperti ini akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang terlalu sensitif dan was-was akan perubahan mood orang-orang di sekelilingnya. Orangtua sebaiknya menghindari teknik yang tidak efektif ini. (Tamat)
Serial artikel 10 Teknik Disiplin Terburuk:
1. Kekerasan Fisik
2. Paksaan/Ancaman
3. Teriakan/Bentakan
4. Tuntutan Seketika
5. Nagging (Desakan)
6. Ceramah Moral
7. Reaksi Emosional Berlebihan
8. Mempermalukan
9. Memasang Perangkap
10. Membangkitkan Rasa Bersalah Berlebihan
no replies