Surat Terbuka Komunitas Charlotte Mason Indonesia (CMid)
Kebijakan Sastra Masuk Kurikulum: Niat Baik Pemerintah Perlu Dilengkapi dengan Panduan dan Fasilitas yang Komprehensif
Kami, komunitas Charlotte Mason Indonesia (CMid), adalah wadah orangtua dan pendidik yang menerapkan filosofi pendidikan Charlotte Mason (CM), seorang pemikir Inggris, yang sangat menekankan pentingnya anak mendapat pasokan bacaan yang bermutu sastrawi.
Kami telah mengikuti polemik tentang program Sastra Masuk Kurikulum sejak diluncurkan pada peringatan Hari Buku Nasional 2024 oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim tanggal 20 Mei 2024 lalu. Kami pun telah membaca Panduan Rekomendasi Buku Sastra yang ditetapkan lewat Keputusan Mendikbudristek Nomor 025/H/P/2024 dan menyimak daftar 177 buku (novel, cerpen, puisi, dan nonfiksi) terkurasi untuk bacaan jenjang SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA, yang disusun oleh tim kurator.
Kami juga mengikuti perbincangan publik yang pro dan kontra terhadap program ini, termasuk surat terbuka yang ditulis oleh Nirwan Dewanto, juga kritik dari beberapa pihak seperti Nusantara Utama Cita (NU Circle), Majelis Pendidikan Dasar, Menengah, dan Nonformal Pimpinan Pusat Muhammadiyah (Dikdasmen PNF PP Muhammadiyah), serta obrolan lain di media sosial. Begitu pula dengan perkembangan terakhir, yakni pernyataan dari Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo pada hari Kamis (30/5) lalu, bahwa Panduan tersebut ditarik untuk direvisi.
Sebagai komunitas, kami memiliki pandangan tertentu terhadap isu ini, dan dengan menuliskannya dalam surat terbuka, kami berharap semoga pandangan kami bisa memperkaya wacana dan memberikan masukan soal Sastra Masuk Kurikulum ini, baik kepada pemerintah maupun masyarakat.
***
Pertama: Karya bermutu sastrawi adalah sumber inspirasi yang punya daya besar untuk mengembangkan akal budi dan meluhurkan karakter. Anak-anak Indonesia butuh difasilitasi agar akrab dengan karya-karya sastra.
Dalam filosofi Charlotte Mason (CM), akal budi anak ibarat tubuh. Untuk bertumbuh dan berkembang, tubuh butuh makanan bergizi dalam jumlah cukup setiap hari. Begitu pula agar akal budi dan karakter anak bertumbuh, dia perlu mendapat pasokan ide-ide hidup, yang menggugahnya berpikir dan merenung, yang menginspirasinya untuk berjiwa besar dan bertindak luhur. Tidak cukup anak hanya diberi keterampilan teknis. Tanpa perbendaharaan ide-ide luhur yang anak renungkan dalam benaknya, keterampilan teknis yang dia kuasai hanya akan dipakai untuk melayani hawa nafsu atau kesenangan sesaatnya. Itu sebabnya kita melihat ada anak-anak yang mendapat nilai tinggi dalam ujian, tapi perilakunya di keseharian tidak luhur.
CM juga memberi singkapan bahwa anak paling mudah mencerna dan menerima ide jika disajikan dalam bentuk kata-kata yang naratif dan sastrawi. Kalau ada dua anak mempelajari topik yang sama (misalnya: sejarah Indonesia), tapi anak pertama belajar dengan buku teks yang hanya berisi fakta-fakta kering, sementara anak kedua belajar dengan buku cerita yang menggugah, yang dalam metode CM disebut sebagai “living books”, maka anak kedua akan menyerap lebih banyak dibanding anak pertama.
Riset juga telah banyak memberikan bukti bahwa menggunakan karya bermutu yang sastrawi sangat mendukung proses pendidikan, mulai dari meningkatkan keterampilan berbahasa dan prestasi akademis, membuat anak menyerap nilai-nilai luhur, menghargai keberagaman cara pandang manusia, sampai menjadi terapi untuk kesehatan mental-emosional anak (Pulimeno et.al, 2020; Rozalski, et. al., 2010; Gibbs & Early, 1994).
Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa niat pemerintah untuk mendorong dan memfasilitasi anak-anak Indonesia membaca karya sastra di sekolah-sekolah, mendorong dan memfasilitasi guru-guru untuk menggunakan karya sastra dalam proses pembelajaran, adalah sesuatu yang positif dan perlu didukung oleh masyarakat.
***
Kedua: Anak-anak dan pendidik Indonesia perlu mendapatkan panduan tentang pemakaian karya sastra sesuai tahap tumbuh kembang anak atau jenjang pendidikannya. Panduan itu perlu bersifat komprehensif, mulai dari aspek why (filosofi atau rationale rekomendasi karya sastra), aspek what (daftar karya sastra yang direkomendasikan), sampai aspek how (cara menggunakannya).
Charlotte Mason menekankan bahwa dalam membuat arahan pendidikan apa pun, pendidik perlu punya kejelasan soal tiga aspek tersebut: why, what, dan how. Kita tidak bisa menutup mata bahwa dalam hal budaya membaca karya sastra di Indonesia, para pendidik kita masih banyak yang belum melek pentingnya karya sastra, bahkan mungkin masih banyak yang bingung: sastra itu apa?
Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa niat pemerintah untuk menyediakan panduan bagi para pendidik agar bisa mewujudkan Sastra Masuk Kurikulum, adalah sesuatu yang positif dan perlu didukung, dengan catatan:
- Panduan jangan hanya berisi daftar karya sastra yang direkomendasikan oleh tim kurator, tapi juga memuat uraian tentang esensi/definisi sastra itu apa, penjelasan tentang mengapa buku tertentu yang dipilih masuk dalam daftar rekomendasi itu, dengan kata lain aspek rationale dari panduan rekomendasi tersebut.
- Panduan jangan hanya disusun oleh para penulis karya sastra, tapi perlu juga melibatkan stakeholders yang akan melengkapi perspektif dalam kurasi karya sastra agar sesuai dengan tahap tumbuh kembang atau jenjang pendidikan. Yang perlu dilibatkan, misalnya: psikolog anak (sebaiknya yang punya riwayat mendalami isu penggunaan karya sastra dalam pendidikan, termasuk soal asesmen kesiapan anak dalam menerima konten kekerasan dan seksualitas yang mungkin ada dalam karya sastra), kritikus sastra (sebaiknya yang juga paham isu pendidikan), perwakilan komunitas penggemar sastra (yang bisa memberikan pertimbangan penilaian karya sastra dari kacamata awam), para pendidik yang sudah berpengalaman memakai karya sastra dalam proses pembelajaran, budayawan yang bisa memberikan pertimbangan karya sastra mana yang kontennya mungkin sensitif untuk elemen masyarakat tertentu, atau pakar/ilmuwan untuk menilai karya sastra yang bertema bidang pengetahuan tertentu yang spesifik.
- Ada pemberian catatan terhadap karya sastra yang teliti dan membantu pendidik mengantisipasi konten karya sastra itu. Tidak bisa dipungkiri, ada karya-karya sastra yang nuansanya “gelap” (mengandung kisah tragis), atau kontennya berisi kekerasan maupun seksualitas. Tapi tidak selalu nuansa atau konten seperti itu membuat karya tersebut buruk bagi anak. Bisa jadi setelah dibaca secara utuh, karya tersebut sebetulnya mendidik/menginspirasi. Karya-karya semacam ini menurut kami tetap bisa dimasukkan ke dalam panduan rekomendasi, tapi harus betul-betul jelas peringatan (disclaimer) untuk pendidik yang akan memakainya sebagai bahan ajar, agar bisa dicegah dampak buruk/merugikan pada anak yang membacanya.
***
Ketiga: Karya-karya sastra berisi ide hidup yang berharga, sehingga perlu disampaikan dengan cara yang menjaga daya hidup/inspirasi dari karya tersebut. Para pendidik perlu diberi pemahaman dan dibekali keterampilan memandu siswa untuk mencerna secara bermakna karya sastra yang mereka baca. Metode narasi sangat perlu dikuasai oleh para pendidik.
Karya sastra tidak bisa diperlakukan seperti buku teks faktual atau lembar kerja siswa. Dibutuhkan metode mencerna karya sastra yang cocok dengan kodrat (nature) kontennya; metode yang membuat anak bisa terhubung dengan jiwa penulisnya serta berelasi dengan tokoh-tokoh yang ada dalam karya tersebut.
Charlotte Mason menyarankan metode narasi diterapkan dalam proses anak membaca karya sastrawi. Dengan menarasikan, anak didorong untuk mencerna secara mandiri bacaannya, mengaktifkan semua daya akal budinya, dan memproduksi ulang pengetahuan yang dia cerna dalam kalimat atau ekspresi uniknya sendiri. Narasi memfasilitasi anak untuk menjadi pembelajar mandiri dan menyerap (retensi) bacaannya dalam jangka panjang, bahkan permanen. Narasi bisa dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Dari pengamatan kami, metode narasi belum dipahami dan digunakan secara meluas oleh para pendidik; kalah populer dibandingkan tes komprehensi, pilihan berganda, dan tes-tes lain yang, menurut CM, tidak sepenuhnya bisa menyelami dan mengaktivasi kedalaman pemikiran anak. Dari narasi ini akan lebih mungkin muncul dialog yang bermakna tentang karya sastra antara pendidik dan siswa.
Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa pemerintah perlu memberikan panduan lebih lengkap kepada para pendidik bagaimana menggunakan panduan rekomendasi karya sastra dan melengkapinya dengan panduan bagaimana menerapkan metode narasi dan dialog dalam menyajikan karya sastra ke anak.
***
Jika diringkaskan, maka inti dari pendapat dan masukan kami kepada pemerintah dan seluruh masyarakat terkait wacana/program Sastra Masuk Kurikulum, adalah sebagai berikut:
- Kami mengapresiasi niat pemerintah (Kemendikbudristek) dalam memfasilitasi anak-anak Indonesia agar menjadi akrab dengan karya-karya sastra dan mengajak masyarakat menyambut baik dan mendukung ide dasarnya, agar nantinya benar-benar bisa dilaksanakan secara efektif sesuai tujuan mencerdaskan seluruh anak Indonesia dan mengembangkan karakter luhur mereka.
- Kami mengharapkan Kemendikbudristek melakukan perbaikan-perbaikan dalam teknis pelaksanaan program Sastra Masuk Kurikulum, mulai dari menyosialisasikan lebih jelas ke masyarakat tentang rationale (why) dari kurasi karya sastranya, melibatkan pihak-pihak secara lebih lengkap dalam proses kurasi agar hasil kurasi lebih sesuai kebutuhan anak dan pendidik, menyediakan panduan bagi para pendidik tentang cara memakai karya sastra dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan kodrat anak dan karya sastra itu (yakni dengan metode narasi).
Demikian surat terbuka ini kami tuliskan sebagai sumbang gagasan terkait perbincangan publik mengenai program Sastra Masuk Kurikulum. Semoga berguna.
Semarang, 3 Juni 2024
Tiurnida S.M.P Siahaan (Koordinator Tim Kurikulum Charlotte Mason Indonesia)
HP/WA: 087831018876
E-mail: kurikulumcmid@gmail.com
***
Referensi:
Gibbs, L. J & Early, E. J. 1994. “Using Children’s Literature to Develop Core Values”. https://eric.ed.gov/?id=ED366992
Pulimeno, M., et al. 2020. “Children’s literature to promote students’ global development and wellbeing”. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7036210/
Rozalski, M., et. al. 2010. “Bibliotherapy: helping children cope with life’s challenges”. https://eric.ed.gov/?id=EJ921647
Zeece, P.D. 2004. “Promoting Empathy and Developing Caring Readers”. https://link.springer.com/article/10.1023/B:ECEJ.0000012314.00539.12
https://kolom.solopos.com/langkah-baik-sastra-masuk-kurikulum-1929734
***
Surat terbuka ini dapat diunduh dalam format pdf di: bit.ly/SuratTerbukaCMid
no replies