“Bu, gimana caranya dapat nilai minimal B untuk mata kuliah Ibu?”. Saya menahan diri untuk tidak mengerutkan kening mendengarnya, tapi mahasiswa berkacamata itu tampak begitu serius mengajukannya. Saya tahu ia sangat ingin mendapatkan jawaban.
Namun, rasanya saya tak rela langsung menjawab tanpa menanyakan dulu ini: “Apa nilai itu sangat penting untukmu? Mengapa tidak menikmati saja belajar dengan tujuan mendapat ilmu, tanpa harus susah-susah memikirkan nilai?”
Mahasiswa itu menatap saya ganjil, mungkin dia kurang paham maksud saya
“Pernah tidak,” saya berusaha memperjelas, “kamu belajar karena kamu memang senang mempelajari itu, tanpa memikirkan entah nanti dapat nilai berapa? Atau dari SMA dulu kamu kalau belajar selalu hanya demi nilai bagus?”
“Belum pernah, Bu,” dia menggelengkan kepala sambil meringis. “Terus terang, dari dulu saya kalau belajar ya tujuannya untuk dapat nilai bagus.”
Dengan hati yang seolah tiba-tiba diikatkan pada batu kilangan lalu diceburkan ke air, saya pun menjelaskan kepadanya betapa mudah memperoleh nilai bagus itu sebenarnya dalam sistem pendidikan perguruan tinggi sekarang. Si mahasiswa tersenyum puas menyimak petunjuk-petunjuk teknis yang saya berikan, sementara perasaan saya begitu sedih, makin lama makin sedih bahkan setelah percakapan ini berakhir.
***
Kalau Anda turut merasakan kesedihan saya tanpa saya harus cerita mengapa saya merasa sedih, berarti kita sama-sama sadar apa yang salah dalam sistem pendidikan kita selama ini.
“It is a miracle that curiosity survives formal education,” kata Albert Einstein. Anak-anak tidak lagi belajar karena mereka cinta belajar, tapi demi ganjaran-ganjaran lain yang pragmatis – nilai, pujian, angka rapor, IPK kumulatif, transkrip ijazah, dan sejenisnya.
Mereka tidak terlalu peduli apakah mereka betul-betul mendapat ilmu dan permata hikmah dari pelajaran mereka. Asalkan di Kartu Hasil Studi (KHS) tercantum nilai A atau minimal B, mereka sudah senang – sekalipun barangkali nilai A atau B itu diperoleh lewat mencontek atau ‘menyuap’ dosen. Rasa ingin tahu (curiosity) yang secara alamiah melimpah di tahun-tahun pertama kehidupan mereka sekarat, atau malah mungkin sudah mati.
Lalu saya teringat tulisan Charlotte di bukunya yang keempat, Ourselves, halaman 78-79.
Rasa cinta akan pengetahuan, hasrat kita yang paling luhur, sedang dalam bahaya dikudeta dan dilengserkan dari kerajaan jiwa oleh hasrat-hasrat lain, terutama hasrat berkompetisi.
Banyak orang memaksa diri mereka belajar matematika, puisi, sejarah, seperti orang gila dan bekerja sangat keras, sama sekali bukan karena mereka cinta hal-hal ini, tapi demi memperoleh hadiah atau ranking, ganjaran dari hasrat berkompetisi.
Namun pengetahuan menyediakan hadiah-hadiahnya sendiri, dan semua itu ia simpan bagi para pecintanya. Hanya jika Pengetahuan itu menjadi kesayangan kita, semata-mata karena kita cinta dia apa adanya, maka ia akan melimpahi kita seumur hidup dengan kegembiraan dan kepuasan.
Siapa saja yang gemar pada Pengetahuan, bukan untuk memamerkan diri, atau untuk mengalahkan yang lain, tetapi semata karena Dia sangat layak untuk dicintai, tidak mungkin tidak bahagia. Orang itu akan berkata, ‘Pikiranku adalah sebuah kerajaan’, – dan seberapa tak memuaskan pun kehidupannya di luar sana, setiap kali ia beristirahat ke dalam kerajaan itu, ia dihiburkan dan dibuat gembira oleh segala hal yang elok, indah, dan mengagumkan yang telah ia simpan di dalam dirinya.
***
Banyak anak senang pergi ke sekolah, bukan demi apa yang mereka pelajari di sana, tapi demi nilai dan ranking yang membuat mereka lebih menonjol dari teman-teman sekelas. Mereka perlu sadar bahwa akhirnya yang mereka peroleh memang hanya nilai dan ranking dan kelulusan.
John Ruskin bilang, “Mereka menjejali otak mereka supaya lulus, bukan supaya mengerti; mereka akhirnya lulus, tapi tetap tidak mengerti. Pengetahuan sebagai sukacita yang tak kunjung berakhir hanya mau datang kepada mereka yang mencintainya karena memang mencintainya, bukan kepada mereka yang sekedar memanfaatkannya untuk lulus sekolah atau bertahan hidup.”
Mengapa, mengapa selama ini sistem pendidikan dan para pendidik di dalamnya terus berkeras untuk memakai sistem reward and punishment dalam segala bentuknya itu, sekalipun mungkin sadar bahwa dahsyatlah kerusakan yang bisa ditimbulkannya?
Mari kita akui: Terlalu lemah iman kita pada hasrat alami anak untuk belajar! Kita kehilangan tradisi untuk percaya bahwa anak terlahir sebagai pribadi pemelajar.
Kita pikir kegiatan anak yang berlari-lari ke sana kemari, memegang itu dan membanting ini, cuma bermain-main saja, bukan belajar. Kita tuntut dia untuk duduk di kursi dalam kelas untuk menulis, membaca, dan berhitung, sekalipun ia sama sekali belum tertarik melakukannya. Kita pikir saat kita menyuruhnya menghafalkan tabel perkalian dan mengerjakan LKS itu kita sedang membuatnya belajar.
Tapi yang kita peroleh adalah tatapan mata yang kian lama kian hampa, lalu kecerewetannya bertanya ‘kenapa?’ memudar, dan mungkin tak pernah datang lagi. Namun, kita tak pernah merasa kehilangan. Asalkan ia terus bertahan di sekolah sampai ijazah – kalau bisa dengan nilai bagus semuanya – ada di tangan, kita cukup merasa aman.
Begitu bebalnya pemahaman kita akan pendidikan sehingga kita yakin anak-anak itu menganggap pengetahuan sebagai obat yang membuat mual, bukannya makanan lezat. Itulah awal ketergantungan kita kepada ranking dan hadiah – akrobat, bujuk rayu, segala macam selai manis yang kita coba siapkan untuk menyembunyikan bubuk obat itu.
Manusia yang terus memakai tongkat kruk kehilangan kekuatan kakinya; siapa yang terbiasa memakai kacamata hitam, matanya tak akan tahan terpapar sinar matahari; orang yang terus makan bubur memperlemah sistem pencernaannya; begitu pula barangsiapa yang benaknya terus ditopang oleh tongkat kruk kompetisi dan kebanggaan semu akan kehilangan satu-satunya kekuatan yang paling memadai untuk semua kebutuhan intelektualnya.
Lumpuhnya hasrat akan pengetahuan adalah harga yang harus para siswa kita bayar karena kita telah membuat mereka mengejar tujuan-tujuan yang rendah. Anak-anak muda kita lantas tidak mau membaca kecuali diancam bahwa bacaan itu akan keluar di ujian yang akan datang. (Vol. 6, hlm. 89)
Bukti dari kalimat terakhir Charlotte Mason di atas sudah terlalu banyak bertebaran di sekeliling kita. Barangkali kita pun produk dari sistem serupa. Jadi, masihkah kita mau menambahkan nama anak-anak kita dalam deretan panjang korbannya? Atau kita mau serius membesarkan anak-anak kita agar menjadi pribadi yang lebih baik ketimbang kita sendiri? Semua terserah kita.
Luar biasa sekali. Saya sangat terharu membaca tulisan ini. Terima kasih banyak. Sekali lagi, terima kasih banyak
Terima kasih juga sudah memberikan kesan-pesan setelah membacanya, ya!
Bilamana tidak ada tekanan terhadap pelajaran / penambahan ketrampilan niscaya akan lebih mudah didapatkan hasilnya