Anak punya banyak problem perilaku yang membuat kita gelisah. Namun di antara semua itu, ada satu yang sangat penting untuk sesegera mungkin “disembuhkan”, yakni kebiasaan buruk berlambat-lambat, melamun, dan menunda-nunda.
Kita orang-orang dewasa tahu persis sakitnya menyesali hari-hari masa muda yang terbuang percuma. Kita berharap anak-anak kita menjadi pribadi yang bisa mendisiplin pikirannya sendiri untuk fokus menuntaskan yang harusnya dia tuntaskan, sehingga kelak terhindar dari penyesalan serupa.
***
Sebelum kita memburu tips dan trik, hal yang pertama harus kita lakukan adalah memahami dulu masalahnya dengan lebih baik. Kita perlu menemukan jawaban dari pertanyaan ini: Mengapa seseorang (entah dia itu masih kanak-kanak atau sudah dewasa) suka berlambat-lambat, melamun, menunda-nunda?
Menurut Charlotte Mason, kebiasaan berlambat-lambat, melamun, menunda-nunda (dawdling) pada hakikatnya adalah bentuk ketidakmampuan seseorang untuk tegas memutuskan prioritasnya pada satu waktu tertentu.
Di setiap momen kehidupan, selalu ada banyak opsi kegiatan dan menentukan prioritas itu bukan hal gampang, apalagi buat anak-anak. Ketika berhadapan dengan aneka pilihan kegiatan, mereka belum bisa secara konsisten memutuskan bulat, “Ini yang penting saya kerjakan lebih dulu! Ini prioritas saya sekarang!” Mereka sering terseret untuk mendahulukan yang rasanya enak daripada yang penting.
***
Ada tiga solusi yang keliru dalam menghadapi anak yang terbiasa berlambat-lambat, melamun, atau menunda-nunda.
Pertama, membiarkan anak berperilaku seperti itu dengan harapan dia akan “sembuh” dengan sendirinya kalau sudah bertambah usia, suatu hari nanti. Yang terjadi justru sebaliknya: kebiasaan tak fokus itu bukannya makin pupus, tapi bakal menguat.
Kedua, menghukum anak dengan harapan dia kapok, tak lagi mengulangi kebiasaan buruk itu. Namun, yang terjadi justru anak makin lama makin kebal hukuman, sedang kebiasaan buruknya tidak hilang.
Ketiga, menjanjikan hadiah kalau dia berubah dengan harapan anak akan berusaha keras untuk berubah. Ya betul, pada awalnya anak berusaha berubah supaya bisa mendapat hadiah. Namun, perubahan itu tak kunjung permanen. Anak mendapati dirinya masih terus saja gagal fokus. Lambat laun dia menjadi putus asa.
Ketiga solusi ini sama-sama tak efektif karena tidak menyelesaikan akar masalahnya. Ada satu hal yang perlu kita camkan betul, bahwa anak bukannya tidak mau berubah, tapi dia belum mampu berubah atas kekuatannya sendiri. Anak ingin bisa fokus, tapi dia tak berdaya menolak distraksi.
***
Untuk mengganti kebiasaan lama (melamun, berlambat-lambat, menunda-nunda) dengan kebiasaan baru (fokus pada prioritas sampai tuntas), anak butuh bantuan kita. Berikut ini langkah-langkahnya:
Pertama, pastikan komitmen kita.
Proses penggantian kebiasaan ini pasti makan waktu dan energi. Maukah kita bertekad untuk tekun menemani anak sampai dia berhasil? Charlotte Mason mengingatkan: kalau anak sedang terserang campak, bukankah kita akan curahkan segenap sumber daya untuk merawatnya sampai sembuh? Seserius itu pula kita mesti berupaya agar anak sembuh dari “penyakit karakter”. Pada komitmen kita perbaikan anak tergantung.
Kedua, menangkan kerjasama anak.
Setelah komitmen orangtua, kesediaan anak adalah faktor berikutnya yang sangat penting agar latihan kebiasaan baik (habit training) berhasil. Kita harus memenangkan persetujuannya untuk dilatih fokus.
Ambil waktu untuk berbincang dengan anak. Berdialoglah dengan tulus dan singkat – makin singkat makin baik. Beri pengertian mengapa kebiasaan berlambat-lambat, melamun, menunda-nunda itu buruk bagi masa depannya. Buat dia tersadar, tidak ada yang bisa membuatnya berubah kecuali dia mau berubah. Dialah aktor utama dari proses perubahan ini, kita hanya aktor pendukung.
Ketiga, jelaskan program latihan.
Kalau anak sudah paham pentingnya mengubah kebiasaan berlambat-lambat, melamun, dan menunda-nunda, selanjutnya jelaskanlah secara ringkas pada anak itu tentang proses terbentuknya kebiasaan, yakni dengan melakukan sesuatu berulang-ulang. Dia ingin terbiasa fokus? Berarti dia harus setiap hari latihan menjaga kesadaran “Aku mau melakukan apa sekarang?” dan melakukannya sampai tuntas.
Bantu anak memetakan rutinitas hariannya, tuliskan menjadi daftar kegiatan. Kemudian ajak anak mengenali di kegiatan mana biasanya dia sulit fokus: mandi, berpakaian, makan, pakai sepatu, atau yang lain? Minta kesiapannya untuk latihan melakukan semua itu tanpa terdistraksi, mulai besok, selama beberapa minggu ke depan, tanpa jeda.
Keempat, kawal sampai berubah.
Kekuatan kehendak anak masih lemah, jadi jangan andalkan kesadarannya dalam proses habit training. Kita orangtua harus jadi jangkar yang membantu anak bisa tetap konsisten meski suasana hatinya berubah-ubah. Tugas kita adalah memastikan anak berhasil fokus pada tugas sampai tuntas selama beberapa minggu sesuai rencana.
Sampai di sini, Charlotte Mason memberi amaran keras: Ingat, jangan ada ceramah! Tak perlu ada omelan sedikit pun keluar dari bibir kita. Anak melamun saat berpakaian atau pakai sepatu? Tepuk dia sedikit. Pandangi dengan penuh harapan, bukan dengan amarah atau celaan. Dia menoleh, tergugah dari lamunannya, lalu bergerak melanjutkan.
Minggu pertama habit training bisa jadi akan sangat melelahkan. Kita harus terus siaga, memastikan anak tidak berlambat-lambat, melamun, atau menunda-nunda. Akan lebih baik apabila selama habit training ini berjalan, kita melonggarkan agenda lain agar tidak kehabisan energi.
Jika dari hari ke hari kita tak lengah mengawal, maka kekuatan kehendak anak bakal meningkat. Dia kian jarang melamun, kian cepat tersadar (bahkan tanpa harus ditepuk), fokusnya menguat, kerjanya tambah cepat.
Baru setelah fokus anak terlihat mulai mapan, di hari-hari berikutnya kita bisa coba merilekskan pengawasan.
“Kamu yakin bisa selesai dalam 5 menit tanpa Ibu awasi?” tanya kita.
“Bisa, Bu,” jawab anak.
“Hanya bilang bisa kalau kamu yakin bisa lho!”
“Ya, Bu, aku bisa.”
Kita cek 5 menit kemudian, ternyata anak itu betul berhasil. Sungguh kemajuan besar yang patut kita rayakan!
Kelima, pelihara terus.
Membentuk kebiasaan baik baru biasanya cukup butuh waktu beberapa minggu. Yang panjang adalah proses memeliharanya. Selain kita harus tetap mengawasi, sekali lagi yang sangat penting adalah menumbuhkan motivasi dalam diri anak.
Anak harus merasakan enaknya jadi orang yang fokus: “Ternyata ketika semua tugasku sudah tuntas, aku jadi punya banyak sisa waktu bebas untuk melakukan yang aku suka!” Waktu bebas yang seperti itu adalah hak anak, kita jangan pernah merampasnya dengan menambah-nambahi pekerjaan lain hanya karena dia sudah bisa fokus.
***
Catatan tambahan:
Jangan terlalu senang dulu ketika anak mulai berubah pada minggu-minggu pertama. Justru di sini biasanya muncul momen kritis, yakni ketika kita mengalami rasa aman palsu. Kita pikir, “Anakku sudah berubah!”, kemudian kita lalai mengawalnya dengan serius.
Suatu hari, kita melihat anak melamun saat makan. Muncul dalam hati kita alasan pemaaf, “Tak apalah sekali-sekali! Kemarin-kemarin dia sudah bisa fokus kok. Kebetulan ini aku juga sedang repot!” Kita lupa bahwa otak anak masih kuat menyimpan memori kebiasaan lama, lebih kuat dibanding kebiasaan baru. Kebiasaan lama itu umurnya sudah tahunan, sangat mapan; kebiasaan baru masih hitungan minggu, masih labil.
Begitu kita biarkan, lihatlah, dalam waktu singkat, kebiasaan lama anak pun kambuh: dia kembali berlambat-lambat, melamun, dan menunda-nunda seperti sedia kala. Sia-sia sudah semua kerja keras kita dan anak selama minggu-minggu lalu. Terpaksa kita harus mengulang proses habit training itu dari awal!
(Artikel ini bersumber dari tulisan Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 Th. 1890/1891 hlm. 241)
Sumber foto: Twitter / Maximillian Clarke (@MTIClarke)
no replies