Zaman dahulu kala, bayi-bayi ditimang ibu mereka, diayun-ayun sembari disenandungkan lagu lembut pengantar tidur (ninabobo atau lullaby) yang diulang terus-menerus sampai bayi-bayi itu terlelap.
Dari generasi ke generasi, lagu-lagu pengantar tidur itu diwariskan, menjadi untaian nada yang membekas di hati terdalam semua orang. Tiap kali mendengarnya, tergugah kenangan indah dan sensasi emosional yang menyenangkan. Namun saat ini masih adakah orangtua yang melakukannya?
***
Menyenandungkan ninabobo sambil menimang-nimang bayi menjadi praktik yang makin ditinggalkan. Zaman ini sepertinya ayah-ibu merasa terlalu sibuk untuk “membuang-buang waktu” sebanyak itu dengan bayi mereka.
Maka sebagian orangtua berpikir: Mengapa tidak delegasikan saja tugas menidurkan anak kepada pengasuh bayaran? Anak aman-tenang, ayah ibu juga senang karena bisa mengerjakan banyak hal lain yang lebih menguntungkan atau menyenangkan – bukan begitu?
Selain karena merasa tak punya waktu, ada juga orangtua “progresif” yang merasa menyenandungkan ninabobo itu praktik yang kuno dan tidak ilmiah. Bukankah anak dari sejak bayi harus dididik jadi mandiri?
Maka sebagian orangtua berpikir: pisahkan saja bayi untuk tidur di kamar yang terpisah dari ayah-ibu sejak lahirnya. Letakkan saja dia di dalam boksnya dan tinggal, biarkan dia mencari cara untuk membuat dirinya sendiri tidur. Tidak usah ditimang-timang, tidak usah ditemani, nanti anak jadi manja – bukan begitu?
***
Namun, tetap saja para ibu (dan mungkin para ayah juga?) akan mendapati bahwa menyenandungkan lulabi buat anak itu kegiatan yang naluriah, yang alamiah.
Secara intuitif kita seperti tahu bahwa bayi menanti disenandungi; dia suka mendengar alunan suara kita. Dan bayi pun, meski belum berbahasa, sepertinya paham lagu yang sedang kita nyanyikan; dia tampak menikmati, merespons secara positif dengan suara-suara dekut bayinya, seolah ingin menyanyi bersama.
Seiring usia, tingkat kesiapan musikal bayi naik. Pada saat berumur sekitar 9 bulan, dia akan senang diajak menyanyikan lagu-lagu dengan gerakan sederhana – misalnya “pok ame-ame belalang kupu-kupu, siang makan nasi kalau malam minum susu”.
Bayi kegirangan ketika diajari bertepuk tangan, digelitik ringan di akhir lagu, jari-jarinya digerakkan untuk menghitung, diajak cilukba, dan aneka interaksi sederhana tapi intim saat menyanyi.
***
Pendidikan musikal berlanjut ketika anak diajak bergabung menyanyi dalam kelompok, bersama kawan-kawannya. Menyanyi bergandengan dalam lingkaran, berjalan memutar, menggerakkan kaki dan tangan seirama. Si penyanyi cilik berseri-seri dan kegirangan ketika lirik lagu bilang: “goyang kiri, goyang kanan, putar ke kiri, putar ke kanan”.
Anak-anak juga senang sekali kalau diajak menyanyi tembang-tembang dolanan yang mengandung ajakan untuk bergerak atau bermain drama. “Ular naga panjangnya bukan kepalang” misalnya. Ada yang berbaris menjadi naga, menangkap teman yang lewat, mereka tertawa-tawa, atau lari kejar-kejaran dalam peran masing-masing.
Saat berpartisipasi dalam melantunkan tembang-tembang itu, yang berkembang bukan hanya kepekaan pendengaran, tapi juga otot, dan karakter juga (habit of attention, sikap tanggap, ketertiban, dsb.).
Menyanyi sambil bergerak membuat energi anak-anak tersalur keluar secara positif, lalu mereka menjadi rileks. Orangtua dan guru bisa menggunakan kegiatan ini sebagai pemanasan sebelum anak belajar subjek yang memeras otak, seperti aritmetika.
Bisa juga anak diajak menari sambil bermain sebelum tidur. Kegelisahan dan pikiran yang mengembara diusir. Paras anak yang suka menyanyi dan menari menjadi cerah, benaknya fokus, tubuhnya bertenaga, perilakunya ceria, jauh dari membuat masalah buat sekitarnya.
***
Baik sekali kalau orang dewasa mengajari anak sampai bisa menyanyikan tembang-tembang dolanan dengan nada yang pas berikut gerakan-gerakan pengiringnya. Selain membuat anak mewarisi kekayaan budaya masa lampau, kegiatan ini melatih anak bekerja sama, mengikuti instruksi, singkatnya: menyiapkan fondasi pengembangan inteleknya.
Ada banyak tembang dolanan dan lagu anak bagus-bagus dari seantero negeri, juga dari berbagai bangsa, dari segala era. Seharusnya para pegiat musik dan pendidikan anak serius membuat kompilasi lagu-lagu anak itu dan mempublikasikannya, kalau bisa disusun berdasar kategori usia – misalnya untuk anak 0-6 tahun, 6-10 tahun.
Kompilasi lagu-lagu anak itu akan menjadi harta karun, orangtua dan guru bisa sewaktu-waktu memilih lagu mana yang paling cocok untuk mereka nyanyikan bersama anak-anak.
Sayang sekali kalau dunia musik anak dibiarkan gersang, tak tergarap, lalu lagu-lagu yang picisan diperdengarkan, yang liriknya tidak sastrawi, kualitas musiknya asal-asalan.
Betapa senangnya kalau anak-anak di tiap keluarga mendapat akses menikmati lagu-lagu bermutu, “permata-permata musikal”, sehingga ke mana pun kita pergi dan melihat anak-anak berkumpul, kita mendengar mereka menyanyi, menari, bergerak sambil melantunkan bersama tembang-tembang yang indah.
=========
Tulisan ini disadur dari artikel “Songs for the Nursery” yang ditulis oleh Frances Epps dan disunting oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891.
Sumber foto: istimewa
no replies