Bilangan bukan untuk dihafal, tapi untuk dimengerti. Senang memang mendengar anak bisa mengucapkan dengan jelas “satu, dua, tiga, empat, lima, enam, dst.”, tetapi yang lebih penting sebetulnya adalah mereka paham makna nama-nama bilangan itu.
Meski pelajaran akademis terstruktur sebaiknya tidak dimulai cepat-cepat, fondasi keterampilan akademis bisa dan perlu dibangun sejak usia dini. Menjelang umur 4 tahun, biasanya anak sudah siap untuk belajar konsep bilangan, asalkan pendekatannya dengan cara bermain.
Oleh karena itu, saat bertemu anak-anak di bawah umur 7 tahun, janganlah kita mengajukan pertanyaan: “Kamu sudah bisa baca tulis?” atau “Kamu sudah bisa tambah-tambahan, kurang-kurangan, perkalian, pembagian?” sebagai ukuran kemajuan akademisnya – ini intimidatif buat si anak maupun orangtuanya, dan akan melanggengkan praktik keliru penjejalan pelajaran calistung yang tak tepat di PAUD-PAUD.
Gantilah pendekatannya agar lebih ramah anak. Untuk pelajaran berhitung, misalnya, coba pertanyaan itu diganti dengan, “Apakah kamu bisa main domino?” – atau kartu remi, atau monopoli, dlsb. Ya, bermain adalah cara belajar yang paling tepat untuk anak prasekolah!
***
Asalkan pendekatannya dengan cara bermain, anak akan betah belajar berhitung. Misalnya seperti ini:
Siapkan tempat duduk yang nyaman dan meja yang tingginya pas buat mereka. Kita taruh mangkok berwarna cerah, satu di hadapan anak, satu di hadapan kita. Kita pegang dua dadu di tangan kita, anak juga memegang dua dadu di tangannya. (Kalau tidak punya dadu, kita bisa pakai kancing, manik-manik, kacang, atau bahan peraga sejenis.)
Lalu kita ajak mereka memasukkan dadu satu per satu ke dalam mangkok sambil menghitung. “Satu!” – kita masukkan dadu pertama. “Dua!” – kita masukkan dadu kedua. Kita bilang, “Lagi ya?” dan kita ulangi lagi kegiatan ini beberapa kali sampai anak paham maksud bilangan “satu” dan “dua” dan bisa menjawab pertanyaan “Ini di mangkok ada berapa dadu?”.
Kemudian anak kita ajak menata dua dadu itu di meja dan membayangkan dua dadu itu kalau dihubungkan – bisa membentuk apa ya? Mungkin tongkat, tiang bendera, jalan, dsb. Dari imajinasinya, anak jadi sadar, bahwa mau di taruh di posisi mana pun, menghubungkan dua titik hanya bisa menghasilkan garis.
Kalau sudah paham bilangan dua, kita tambahkan dadunya menjadi tiga. Dengan tiga dadu, anak bisa menciptakan dua pola, yakni garis lurus atau segitiga. Anak lalu bisa diajak mengenali bentuk-bentuk segitiga di sekelilingnya.
Ketika dadu ditambah menjadi empat, anak akan makin senang, karena ada banyak sekali benda di sekelilingnya yang punya empat sudut atau empat kaki – meja, pintu, kulkas, dll.
Memahami angka 1-4 mungkin sudah butuh waktu satu minggu, sebelum kita sampai ke angka lima dan enam. Ingatlah bahwa kecepatan bukan tujuannya, yang kita inginkan adalah pemahaman, pemahaman yang datang lewat pengalamn bermain yang menyenangkan.
Anak jadi paham hubungan antara simbol nama bilangan dengan dunianya sehari-hari. Dia jadi tahu bahwa di dinding ada dua jendela, lampu lalu lintas ada tiga macam, roda mobil ada empat, anggota rumah ada lima orang, kaki serangga ada enam.
Bonus: ketika belajar bilangan sambil bermain dadu (atau kancing, manik-manik, dsb) pastikan anak menjumputnya dengan ujung jari, bukan meraup dengan telapak tangan. Latihan motorik halus seperti ini akan sangat berguna, terutama untuk anak laki-laki.
***
Setelah anak paham bilangan 1-6, keluarkanlah sekotak kartu domino. Ambil kartu domino tertentu, dan ajak balita kita menghitung titik-titik di belahan kartu.
Sediakan sewadah tusuk gigi atau batang korek api, lalu ajak dia menyusun kerangka seperti kartu domino dengan tusuk gigi atau korek api itu, lengkap dengan garis tengahnya. Lalu minta dia menaruh dadu (atau kancing atau manik-manik) di dalam kerangka itu, supaya sama polanya dengan kartu domino yang diambil tadi.
Setelah dipastikan anak telah paham, kita bisa mengajaknya mulai main domino. Jelaskan aturannya, lalu bermainlah bersama. Anak akan dengan cepat bisa mengenali pola-pola bilangan, dan menggandengkan satu kartu dengan kartu yang lain.
Lewat permainan domino, anak juga akan kenal konsep 0, yakni kotak yang kosong, dan bisa menghitung sampai 12, yakni 6 + 6.
***
Mengapa harus tergesa-gesa ingin anak bisa mengerjakan persamaan di lembar kerja? Tidak ada gunanya anak bisa menuliskan 2 + 2 = 4, jika dia menuliskannya hanya karena disuruh seperti itu, padahal dia sebetulnya belum paham artinya.
Lebih baik mengajak anak berimajinasi tentang penambahan dan pengurangan dengan bantuan benda-benda kongkrit. Kita bisa minta dia memperagakan, “Kalau ada 2 dadu dalam mangkok, lalu kita masukkan lagi 2 dadu, jumlahnya sekarang berapa?” – kalau sudah paham cara berhitung, anak pasti akan menjawab: “Ada 4 dadu!”
Apabila anak terlihat sudah mahir, kita bisa menyuruh dia berhitung hanya mengandalkan imajinasi saja, tanpa alat bantu lagi.
Misalnya, kita bilang: “Semula ada 4 dadu di meja, lalu sekarang tinggal 2 dadu, berarti ibu menyembunyikan berapa dadu?” (Anak menjawab: dua!).
“Kalau tinggal 1 dadu, ibu menyembunyikan berapa lagi?” (Anak menjawab: satu!).
“Berarti yang ibu sembunyikan jumlahnya semua berapa?” (Anak menjawab: tiga!).
Jangan remehkan angka 1-10. Butuh beberapa bulan bagi anak prasekolah untuk betul-betul memahami sepuluh bilangan ini, sampai akhirnya dia paham bahwa angka 10 itu bisa diperoleh lewat berbagai cara: 1+9 atau 2+8 atau 3+7 atau 4+6 atau 5+5.
***
Konsep perkalian juga bisa dikenalkan lewat permainan. Misalnya begini:
Kita siapkan banyak manik-manik, lalu minta anak membuat barisan tentara. Kita minta tentaranya dibariskan jadi dua baris, setiap baris isinya lima tentara. Lalu kita tanya: “Jadi ada berapa orang tentaramu?” dan dia mulai menghitung tentaranya dan menjawab: sepuluh!
Susunan bisa diganti jadi 3 baris, 4 baris, atau 5 baris. Atau beri anak 20 “tentara”, minta dia mencari cara menata kedua puluh manik itu supaya semua baris sama jumlah personilnya. Begitulah anak memahami makna perkalian tanpa harus direpotkan dengan soal-soal tertulis di lembar kerja.
Kita kemudian bisa lanjutkan pelajaran berhitung lewat bermain uang. Entah dengan bermain peran toko-tokoan di rumah, atau lewat belanja betulan, anak lambat laun makin paham: dengan uang sejumlah ini, dia bisa membeli apa saja, dan kembaliannya berapa.
Saat pergi berbelanja, anak bisa diajak untuk mengenali harga barang, nilai uang, dan berapa kembalian yang harusnya ia terima. Di sini dia belajar penambahan, pengurangan, perkalian, juga pembagian, termasuk konsep pecahan. Anak-anak gembira melakukannya karena semua itu nyata dan relevan dalam hidup mereka.
***
Lewat proses belajar yang rileks seperti ini kapan pun anak mau, nantinya menjelang usia sekolah, pengetahuan anak tentang bilangan akan sudah mapan. Ia sudah mampu mengimbangi orangtuanya dalam permainan domino, kartu, monopoli, dst. Dia bisa melakukan perhitungan untuk kegiatan sehari-hari: berbelanja, menimbang bahan kue, dlsb.
Sekali lagi, anak-anak kecil harus dibantu memahami konsep bilangan yang abstrak lewat pengalaman nyata. Kita patut bersedih kalau anak-anak SD masih menggunakan jari saat mengerjakan soal matematika.
Andai sejak sebelum masuk sekolah, anak-anak itu sudah diajak bermain-main dadu, kancing, atau manik-manik untuk memahami konsep bilangan, sudah mahir main domino dan biasa disuruh belanja, mereka bisa mengistirahatkan jari mereka dan mengandalkan imajinasi saja.
Bonusnya: anak menganggap matematika itu asyik, nyata, dan berguna – rasa frustrasi dan takut pada mata pelajaran ini dijauhkan sejak semula.
=========
Tulisan ini disadur dari artikel “First Lessons in Arithmetic” yang ditulis oleh MLH Davis dan disunting oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891.
Sumber foto: istimewa
no replies