Wahai, ayah-ibu dan rekan-rekanku sesama guru, izinkan aku berbagi sedikit pemikiran dengan kalian tentang kerja besar kita dalam mendidik anak-anak.
Di satu pihak ada orangtua, di pihak lain ada guru. Peran kita mungkin berbeda, tapi esensinya sebetulnya sama. Kita kawan sekerja untuk tujuan yang sama: menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik dibanding kita sendiri — tubuh yang lebih terlatih, budi yang lebih terasah, watak yang lebih luhur.
Pekerjaan ini tak akan berhasil kecuali kita bersama memberi yang terbaik, dilandasi semangat persahabatan dan kesadaran bahwa kita sama-sama adalah generasi yang sedang berlalu, tapi kita punya kesempatan membangun peradaban manusia yang lebih mulia.
Sebagai kawan sekerja, penting sekali kita menyelaraskan visi. Peradaban manusia macam apa yang ingin kita wujudkan bersama? Apakah kita bersepakat dengan visi ideal yang ditawarkan kitab suci, cita-cita agar anak-anak ini menjadi insan kamil, tidak lagi egois, dipenuhi sifat-sifat ilahi?
Dengan visi setinggi itu, seharusnya kita sadar bahwa urusan kita bukan hanya mengasah intelek anak, menyajikan aneka mata pelajaran akademis. Kecuali ada cinta kasih pada sesama makhluk, pengetahuan yang banyak tak akan membuat anak menjadi pribadi yang lebih luhur, atau masyarakat lebih mulia.
***
Wahai, ayah-ibu dan rekan-rekanku sesama guru,
Dunia pendidikan tidak akan bisa maju tanpa sumbangsih kita bersama.
Karena intens mendampingi di rumah, ayah-ibu bisa menyediakan observasi detil tentang anak per anak.
Guru tidak bisa memerhatikan tiap anak sedetil orangtua, tapi karena dia mengurusi banyak anak sekaligus, guru dimungkinkan melakukan generalisasi, melihat pola-pola perilaku yang muncul di antara sekian banyak anak.
Alangkah baiknya kalau kita bertukar informasi dan saling menyemangati! Orangtua belajar tidak terpaku pada individu anaknya, tapi memahami dia secara objektif berdasar teori-teori umum pendidikan. Guru belajar tidak terpaku pada kerja dalam kelas besar, tapi melihat anak sebagai individu.
Kerja pendidikan melibatkan tiga pihak: guru, orangtua, dan anak. Kerja itu perlu dilandasi oleh iman kepada satu sama lain – “Aku percaya kamu orang baik! Kamu pribadi yang indah dan berharga!”.
Ketika simpati subur, antar ketiga pihak ini akan terbentuk lingkaran harapan dan kebaikan, proses belajar-mengajar berjalan efektif, memberkati bukan hanya anak, tapi juga orang-orang dewasa yang terlibat di dalamnya.
Guru yang punya rasa cinta kepada tiap muridnya akan mau bekerja melampaui daftar tugas formalitas, karena cinta memampukan kita melampaui kepentingan egois. Dan lihatlah nanti, yang bertumbuh menjadi pribadi yang lebih luhur bukan hanya murid, tapi juga guru.
***
Wahai, ayah-ibu dan rekan-rekanku sesama guru,
Dalam kerja kita, acap masing-masing kita melakukan kesalahan.
Kesalahan yang sering dilakukan orangtua adalah menganggap anak sebagai properti, hak milik pribadi mereka, lalu merasa bebas menentukan cita-cita apa pun buat anak itu, dan merasa berhak menentukan arah pendidikan anak sesuai ambisi mereka sendiri.
Karena itu, para orangtua, ketika kalian mengirim anak ke sekolah, janganlah kalian menganggap guru-guru hanyalah pembantu yang bertugas membentuk anak sesuai ideal kalian secara sepihak.
Di sisi lain, guru-guru, kita juga sering salah karena membiarkan diri disetir oleh selera pasar. Kita sering mengikuti begitu saja tuntutan para orangtua tanpa bertanya: bagaimana kalau ideal yang populer di kalangan orangtua itu ternyata keliru?
Wahai kawan-kawan guru, ingat selalu bahwa anak bukan properti orangtua, yang boleh diapa-apakan semaunya ayah-ibunya! Pandang anak sebagai milik Tuhan dan mayarakat, pewaris dan pelanjut peradaban manusia yang harus dirawat bersama-sama oleh semua anggota masyarakat.
Posisi orangtua hanyalah sebagai pihak yang dititipi, artinya: tanggung jawab orangtua lebih besar daripada haknya. Oleh karena itu, sebagai sesama pekerja untuk mendidik anak, kita para guru wajib bersikap objektif menimbang tuntutan orangtua atau selera pasar. Tolak tuntutan orangtua yang ambisius berlebihan, yang tidak masuk akal, tidak sesuai hukum alam dan moral.
***
Wahai, ayah-ibu dan rekan-rekanku sesama guru,
Jika dibandingkan, tugas guru itu ada miripnya dengan dokter. Orangtua datang membawa anak ke dokter untuk dibantu mencari solusi buat masalah kesehatan anak.
Dokter yang baik akan menyimak dan mencatat cermat semua informasi tentang pasien. Dokter berdiskusi dengan orangtua pasien untuk menyesuaikan terapi dengan kondisi terbaru, sampai akhirnya masalah kesehatan itu selesai tuntas.
Dengan perbendaharaan pengetahuan dan pengalamannya yang luas, dokter akan menyarankan terapi tertentu. Pasien akan datang konsultasi lagi beberapa kali lagi untuk dievaluasi kemajuannya.
Guru yang baik juga akan seperti itu, memberi perhatian serius pada tiap siswa, bekerjasama dengan orangtua dalam proses terapi, sampai kesulitan-kesulitan belajar anak teratasi.
Bayangkan kalau ada orangtua yang membawa anaknya menemui dokter dan berkata, “Dok, anakku pendek, aku ingin dia lebih tinggi 30 senti dalam waktu 3 bulan.”
Dokter yang waras pasti akan menggeleng dan berkata: “Pak, Bu, tinggi badan tidak bisa dipaksa bertambah seperti itu.” – karena dokter terikat sumpah jabatan untuk tidak menyakiti pasien.
Begitu pula kalau ada orangtua yang datang dan bilang, “Saya ingin anak saya bisa baca dalam 1 bulan!” atau “”Saya ingin anak saya jadi seniman!” padahal si anak tidak memiliki kepekaan musik atau “Jangan ajari anak saya matematika, dia tidak berbakat!” padahal anak itu sebetulnya bisa.
Guru yang waras akan menggeleng dan mengingatkan orangtua bahwa bukan begitu seharusnya cara kerja pendidikan. Demi kepentingan terbaik anak, guru harus mengatasi rasa sungkan dan memberi masukan pada orangtua.
Ada anak yang dibiarkan orangtuanya bermalas-malasan di rumah, tidak ikut bertanggung jawab mengerjakan tugas-tugas domestik. Ada anak yang dibiarkan orangtuanya bersikap kurang ajar kepada mereka. Ada anak yang tidak diajari respek pada aturan. Ada anak yang mengembangkan kebiasaan buruk dan orangtua tidak serius memperbaikinya.
Orangtua dari anak-anak ini perlu diingatkan bahwa lebih mudah mendidik anak pada masa mudanya, daripada memperbaiki watak si anak setelah dia dewasa.
***
Wahai, ayah-ibu dan rekan-rekanku sesama guru,
Fondasi dari pendidikan adalah iman. Apa yang harus kita imani?
Pertama-tama kita beriman bahwa anak terlahir sebagai pribadi unik dengan aneka rupa potensi anugrah ilahi, bukan kertas kosong.
Kita, orangtua dan guru, adalah agen-agen TUHAN untuk menuntun anak bertumbuh dewasa, mewujukan semua potensi terbaiknya, menjadi pribadi yang secara sadar hidup sesuai kehendak Penciptanya, menunaikan karya-karya luhur di Bumi ini.
Kedua, kita beriman bahwa kita tidak bekerja sendiri.
Kita, orangtua dan guru, perlu peka mendengar petunjuk TUHAN, kita bersandar pada-Nya dalam semua upaya kita. Orangtua dan guru berperan dalam pendidikan anak, tetapi pujian untuk hasil akhirnya bukanlah sepenuhnya milik kita.
Karena itu, wahai orangtua dan rekan-rekanku sesama guru, marilah kita bekerja dengan iman dan kesungguhan.
Semoga kelak ketika anak-anak dan murid-murid kita dewasa, mereka akan bisa mengucap syukur pada TUHAN karena Dia telah campur tangan dalam hidup mereka, dengan begitu indahnya, lewat kita.
=========
Tulisan ini disadur dari artikel “Parents’ Educational Union” yang ditulis oleh kepala sekolah Ladies’ College Dorothea Beale dan disunting oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891.
Sumber foto: istimewa
no replies