Saya pernah menonton film dokumenter keluaran BBC tentang seorang pria super pemarah bernama Shaun. Kalau sudah marah, Shaun akan hilang kendali diri selama 5-10 detik. Ia bisa memaki, menjerit, sampai membenturkan kepala ke pintu.
Mengapa amarah muncul? Secara biologis, kita bisa melacak kemunculan amarah atau emosi kuat lain seperti rasa takut atau gelisah dari amygdala. Struktur berbentuk seperti kacang mete kembar di dalam otak ini bertanggung jawab mengidentifikasi serangan atau ancaman yang membahayakan kita.
Begitu mendapat stimuli, amygdala akan menyala seperti alarm agar tubuh segera bersiap-siap melindungi diri. Fight or flight. Otot-otot menegang. Hormon adrenalin dilepaskan dalam darah. Tekanan darah meningkat. Detak jantung makin cepat. Nafas mulai terengah-engah. Wajah kita memerah karena aliran darah yang bertambah. Terjadi ledakan energi. Perhatian kita menyempit, terkunci pada target kemarahan. Kita abai pada hal-hal selain target kemarahan kita. Tubuh kita siap bertarung.
Amygdala bekerja sangat efisien. Ia membuat kita bereaksi sebelum bagian otak depan (frontal lobe) yang bertanggung jawab untuk pemikiran dan penilaian, bisa menaksir apakah tindakan kita benar atau salah, masuk akal atau tidak.
Dengan kata lain, otak kita telah terdesain untuk mendorong kita bertindak sebelum kita sadar apa konsekuensi dari tindakan kita demi menyelamatkan diri sendiri. Dalam kasus orang pemarah seperti Shaun, amygdala menyala terlalu cepat, terlalu sering, dan terlalu lama.
Sekali kita marah, butuh waktu untuk kembali ke situasi pra kemarahan. Adrenalin dan hormon-hormon stres lain yang dilepaskan amygdala ke dalam darah mesti dibersihkan dulu. Luapan adrenalin skala tinggi bahkan bisa membuat amarah bertahan sampai berhari-hari.
Itu sebabnya, saat marah untuk satu hal, kita akan jadi lebih gampang marah untuk hal-hal yang lain. Hal kecil yang sebelumnya, di saat-saat santai, tidak mengganggu pun kini jadi terasa menyinggung ego kita.
Bisakah Berhenti Jadi Pemarah?
Amygdala memang efisien, dampak adrenalin pump memang luar biasa, tapi bukan berarti kita tidak berdaya sama sekali menghadapinya. Kita akan bisa mengendalikan impuls-impuls agresif asalkan kita memperkuat bagian otak yang berperan sebagai manajer untuk segala emosi kita.
Frontal lobe, berlokasi tepat di belakang dahi, punya potensi untuk memadamkan emosi jenis apa pun. Agar tak lagi jadi pemarah, kita mesti memperkuat fungsi frontal lobe, sehingga kali lain, begitu amygdala menyala, kita langsung bisa mengendalikan rasa marah yang timbul.
Manusia bisa mengendalikan impuls-impuls primitif dan agresifnya, asalkan mau berlatih. Belajar memanajemen kemarahan — atau emosi lain apa pun — adalah keterampilan yang bisa dilatih. Sekarang ini sudah ada psikolog-psikolog yang mengambil spesialisasi manajemen kemarahan. Mereka bisa membantu anda menguasai keterampilan itu.
Tentu saja, bagi pribadi seperti Shaun, mengatasi amarah bukan barang gampang, tapi juga tidak mustahil. Dalam video dokumenter BBC di atas, dilukiskan betapa struktur otak dan pola perilaku Shaun yang super pemarah pun bisa berubah lewat konseling dan terapi intensif dalam waktu 10 minggu. Kalau Shaun bisa, berarti Anda juga bisa.
Bagaimana Resepnya?
Ada banyak metode untuk memperkuat kinerja frontal lobe agar lebih cepat mengantisipasi dampak adrenalin dan aktivitas amygdala. Berbagai teknik relaksasi seperti menarik nafas panjang bisa sangat membantu.
Juga begitu kita merasa alarm emosi menyala, penting untuk langsung mengaktifkan penalaran/kognisi kita. Teknik kendali kognitif ini intinya adalah mengenali seketika itu juga segala pikiran dan emosi yang muncul di benak kita. Begitu kita sadar, “Wah, aku mulai marah nih!” maka akan lebih mudah bagi kita untuk mengendalikan diri.
Ada kalanya kita juga perlu menyingkirkan atau menjauhi objek pembuat marah. Buying time, istilahnya. Berhenti dan mengalihkan perhatian dari target kemarahan, entah dengan berhitung dalam hati atau pergi dari lokasi, bisa bermanfaat untuk menyetop kerja amygdala.
Yang tak kalah pentingnya adalah mengambil waktu untuk introspeksi setelah kemarahan reda. Selidikilah mengapa dan bagaimana kita bisa jadi marah. Mengenali faktor-faktor ini akan membantu menghindarkan kita terpicu untuk bereaksi serupa di kali berikutnya.
Habit Training
Berbagi pengalaman pribadi. Saya terlahir dengan kecenderungan tipe kepribadian koleris. Sejak bayi saya sudah gampang marah, kata ibu saya. Orang-orang dekat suka bercerita, semasa kanak-kanak, saya sering meledak, menangis menjerit-jerit, dan sulit diajak bernegosiasi. Namun, dalam proses kehidupan selanjutnya, terjadi perubahan signifikan dalam kemampuan saya mengendalikan emosi.
Semua orang tahu bahwa tubuh dan pikiran sangat terkait. Kuasailah tubuhmu, kau juga akan menguasai pikiranmu. Latihan pengendalian tubuh dimulai saat saya duduk di bangku kelas III SMP. Waktu itu saya mengalami pengalaman spiritual yang mendorong saya giat berlatih “menjinakkan” tubuh.
Mulai dari puasa sampai segala macam eksperimen berpantang saya jalani. Pantang mengkonsumsi gula putih, pantang makan mi instan, pantang nonton TV, pantang baca komik, apa pun yang saya rasa membuat tubuh dan pikiran kecanduan, saya coba memantangnya. Saya menjadi vegetarian selama lebih dari satu dekade.
Efek samping dari segala macam berpantang ini adalah impuls-impuls emosional saya terkendali jauh lebih baik. Amarah sudah bisa diredakan sebelum emosi itu mengambil alih kendali rasio.
Ketika kuliah, saya berkenalan dan menjalani Meditasi Mengenal Diri, sebuah metode meditasi Vipassana-Krishnamurti yang melatih praktisinya untuk secara pasif mengamati gerak batin sampai segala macam pikiran dan emosi itu lenyap sendiri.
Sekalipun bukan meditator yang rajin, praktek meditasi ini sangat membantu saya untuk awas terhadap munculnya amarah. Setiap kali amarah muncul, ia akan lenyap dengan sendirinya dengan cepat, bahkan lebih cepat dari pergantian adegan ke adegan dalam sebuah film.
Dampak positif dari latihan pengendalian tubuh ini berjangka panjang. Sesuai teori habit training dari Charlotte Mason, apa yang telah kita ulang-ulang seumur hidup kita akan menjadi suatu pola yang tergores mendalam di otak kita.
Ibaratnya, rel-rel pengendalian diri sudah saya pasang dan saya gunakan selama bertahun-tahun, sehingga lokomotif pikiran saya bisa terus meluncur lancar di atasnya sekalipun kalau mulai jarang digunakan, rel-rel itu bakal berkarat dan tak berfungsi sebaik sebelumnya.
Berubah Itu Mungkin
Marah itu alamiah, tapi sifat pemarah itu adalah aspek kepribadian yang menguat karena kebiasaan. Kemungkinan besar, sifat ini terbentuk selama masa kanak-kanak dan remaja kita.
Masa bayi sampai remaja adalah tahap kritis perkembangan kepribadian seseorang. Sinapsis (simpul penghubung antar sel otak) terbentuk dan putus dengan cepat. Kesan yang anak-anak dapatkan dari pengalaman sehari-hari membentuk jalur-jalur kuat dalam otak, menjadi karakter yang mungkin menetap seumur hidup mereka.
Dalam hal sifat pemarah, itu berarti dalam otak seseorang telah terbentuk jalur kebiasaan marah yang sangat kuat. Sebetulnya kita sadar perilaku macam apa yang kita kehendaki, tetapi otak dan tubuh kita terlanjur bereaksi seketika menurut kebiasaan yang sinapsis-sinapsisnya telah terbentuk kuat di otak.
Apakah berarti setelah kita dewasa kita tidak bisa mengubah kepribadian kita? Ternyata, dan syukurlah, TIDAK!
“Otak adalah organ paling luar biasa dalam tubuh karena ia bisa mengubah dirinya. Kita dapat memakai pikiran untuk mengubah dan memperbaiki pikiran kita, sesuatu yang tak pernah dapat dikerjakan binatang lain. Dalam hal kepribadian, ini berarti kita bisa berubah, menjadi pribadi seperti yang kita inginkan.” Demikian kata si narator film BBC itu.
Artinya, semua kembali lagi kepada kemauan dan usaha. If you want it badly enough, change is always possible to happen. Tidak ada kata terlambat untuk memprogram ulang kebiasaan kita, agar kebiasaan lama yang buruk terganti oleh kebiasaan baru yang lebih baik.
Hanya saja kita tidak boleh sekedar ngomong ingin berubah. Pikiran dan tubuh terkait erat. Kita harus melakukan sesuatu secara aktif agar perubahan itu terjadi.
====
Artikel dimutakhirkan tanggal 8 Februari 2021.
Nice article!