Untuk hidup mandiri di masa dewasa, anak mesti menekuni mata pencaharian tertentu. Di antara sekian banyak pilihan karir, manakah profesi yang paling tepat untuk ia tekuni? Ini adalah pertanyaan yang menjadi sumber kegelisahan para orangtua.
Ayah-ibu berharap sekolah akan membantu anak-anak mereka menjawab pertanyaan itu. Sayang, harapan mereka acap tak terpenuhi. Banyak siswa lulus dari universitas dengan potensi diri yang belum tergali. Mereka meraih gelar dan ijazah, tapi belum betul-betul siap menjadi profesional sesuai disiplin yang mereka pelajari semasa kuliah.
***
Sebagai orangtua, kita boleh saja berambisi anak mencapai profesi tertentu – entah itu dokter, insinyur, pilot, dll. Itu tidak salah. Memang anak butuh kita pandu, kita beri pertimbangan sebaiknya memilih yang mana dari sekian banyak opsi profesi.
Namun, sebaiknya kita juga merefleksikan ambisi itu. Atas dasar apa kita menginginkan anak menekuni profesi tersebut? Pertimbangan kita jangan sebatas soal prestisnya. Yang paling utama untuk diidentifikasi justru kecocokan antara karakteristik profesi dengan kepribadian anak kita.
Ya, tiap profesi punya karakteristik sendiri-sendiri, dan kalau ingin menjadi pemandu yang efektif, kita harus mempelajari masing-masingnya dengan teliti. Lalu cermati dan timbang juga: “Apakah kepribadian anak saya cocok untuk menjalani profesi dengan karakteristik seperti itu?”.
Misalnya, profesi arsitek yang saya tekuni. Sekilas ilmu arsitektur terkesan sangat ilmiah dan teknis, tetapi sebetulnya seseorang tak akan bisa jadi arsitek mumpuni kalau tak punya jiwa seni. Arsitek adalah perpaduan antara kerja insinyur dan seniman; akurasi ilmu bangunan di satu sisi, dan selera artistik-imajinatif di sisi lain. Akan jadi konyol bahkan kejam jika ada orangtua yang memaksa anaknya jadi arsitek padahal si anak tak punya minat pada kedua aspek itu.
Kalau relasi kita dekat dengan anak dan pengamatan kita detil, maka kita akan bisa mengidentifikasi kecenderungan anak. Mungkin ia tidak cocok jadi arsitek, tapi lebih cocok jadi ilmuwan, atau seniman, atau terjun ke dunia bisnis, atau yang lainnya? Bantu anak memilih secara terinformasi sesuai panggilan hatinya. Dorong dia untuk maju terus kalau dia sebetulnya mampu tapi kurang percaya diri.
***
Selain kecocokan, ada juga faktor kesiapan. Di lapangan, setiap profesi menuntut bekal pengetahuan teoritis dan kecakapan praktis tertentu. Jika anak belajar dengan serius di kampus, maka ia seharusnya punya bekal teoritis dan praktis dasar.
Tentu saja bekal dari kampus belum cukup. Bekal pengetahuan dan keterampilan anak selanjutnya mesti dimatangkan lagi lewat praktik langsung. Sebaiknya anak bekerja magang dulu pada figur profesional senior yang akan berposisi sebagai mentornya. Bisa “ngenger” pada mentor yang inspiratif adalah pengalaman yang sangat berharga. Jika kesempatan itu muncul, doronglah anak untuk mengambilnya tanpa meributkan berapa gajinya.
Untuk menjadi profesional di suatu bidang, seseorang biasanya harus melewati tahapan proses sertifikasi yang ditetapkan oleh asosiasi profesinya. Ini adalah hal yang baik karena calon profesional ibarat mendapatkan peta untuk bergerak naik dari tingkat pemula, menengah, sampai mahir.
***
Yang tak kalah pentingnya adalah karakter! Selama masa penggemblengan, buah dari pendidikan karakter yang orangtua garap sejak dari rumah akan terlihat. Apakah anak punya cara pikir dan kebiasaan yang membantunya untuk maju seperti suka belajar, tak takut mencoba hal baru, etos kerja tinggi, bisa bekerja dalam tim – atau sebaliknya, watak anak malah menghambat karirnya berkembang?
Untuk seorang profesional, proses belajar tak kenal kata berhenti. Pendidikan formal dan sertifikasi bisa menjadi modal awal, tapi bakal sia-sia jika anak tak punya budaya mengasah diri (self-culture). Jika ingin terus berkembang dan menghasilkan karya-karya terbaik, sang profesional muda harus terus menambah ilmu dan keterampilan.
Dalam setiap proyek, seorang profesional harus menyelesaikan banyak tahapan. Tugas saya sebagai arsitek, misalnya, meliputi mulai dari membuat konsep desain, ilustrasi skala kecil lalu skala besar dengan segala detilnya, maket bangunan, penentuan bahan, jadwal kerja, sampai perhitungan biaya dan lain sebagainya.
Saya tidak selalu menyukai setiap tahapan pekerjaan saya, tapi sebagai arsitek profesional, saya tetap harus disiplin menggarap semua itu sebaik-baiknya. Menghadapi desakan tenggat waktu, seseorang akan sulit menjadi profesional kalau ia terbiasa bekerja disetir oleh suasana hati (mood).
Dalam pekerjaan, kita juga tak mungkin bekerja sendirian. Ini berarti anak juga harus mengembangkan karakter sosialnya. Dia harus tahu caranya bekerja bersama kolega, berelasi dengan atasan, berkomunikasi dengan klien, bergaul dalam asosiasi profesi, serta berjejaring dengan lingkaran yang melampaui bidang kerjanya.
Karakter juga dibutuhkan kalau seandainya anak melesat sangat tinggi dalam karirnya. Menjadi sukses pun ada bahayanya. Seorang profesional jangan sampai menjadi congkak, semenakjubkan apa pun prestasi yang ia torehkan. Ia mesti selalu tahu diri soal batas-batas keahliannya. Ia perlu paham bahwa kepakarannya di satu area tidak membuat dia ahli tentang urusan-urusan di luar profesinya.
Justru karena menyadari keterbatasan-keterbatasannya, sejak awal seorang profesional akan membiasakan diri berbagi peran dengan orang lain, kerja tim. Makin rumit problem yang dihadapi, pencarian solusinya makin butuh kolaborasi yang bersifat multidisipliner.
***
Saya berharap tak ada lagi ayah dan ibu yang memaksa anaknya memilih profesi tertentu dengan membungkam aspirasi anak itu sendiri. Percayalah, itu bakal kontraproduktif. Semua proses mencapai puncak prestasi profesional membutuhkan ketekunan dan kegigihan. Proses ini jalan yang sangat terjal dan anak mustahil tahan menapakinya kecuali ia merasa antusias terhadap profesinya itu.
Kehidupan modern membuka peluang munculnya banyak sekali profesi baru. Saat ini anak bisa memilih menjadi spesialis dalam suatu bidang amat spesifik, yang tak terbayang di masa lampau. Maka, janganlah kita membatasi masa depan anak kita hanya karena imajinasi kita terikat pada profesi-profesi masa lampau.
=========
Tulisan ini disadur dari artikel “Our Sons” yang ditulis oleh Edward C. Robbins dan disunting oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891.
Sumber Foto: snackworthy.com
no replies