Agar seorang anak berhasil menjadi pribadi yang dewasa dalam karakter, kita harus membuatnya mengikuti dua prinsip yang sekilas tampak bertentangan.
Pertama, prinsip ketaatan – anak harus terlatih menundukkan hasrat-hasrat liar dalam dirinya pada hukum alam dan moralitas. Kedua, prinsip kebebasan – anak harus terlatih membuat pilihan bertindak dewasa secara merdeka dan atas kesadarannya sendiri.
Menyelaraskan dua prinsip ini sama sekali bukan hal mudah. Sayang, tantangan sesulit ini terlalu jarang direnungkan oleh para ayah-ibu, guru, sekolah, dan otoritas pendidikan. Alhasil, di tengah upaya-upaya memutakhirkan praktik pendidikan, kita lihat perkembangan karakter generasi muda kita belum terlalu menggembirakan.
***
Setiap anak secara intuitif tahu bahwa di dunia ini ia telah dititipkan oleh pada otoritas-otoritas yang berwenang mengaturnya. Namun, apakah anak itu akan betul-betul tunduk atau tidak, itu bakal tergantung pada si pemegang otoritas.
Respek anak pada wibawa ayah-ibu dan guru harus dimenangkan lewat paduan ketegasan sekaligus kelembutan. Ini artinya kita bertugas menemukan jalan tengah antara meminta ketaatan tanpa syarat sekaligus memberi ruang untuk kebebasan memilih.
Segala macam kesulitan menghadapi problem perilaku anak adalah indikasi bahwa kita belum berhasil mendamaikan prinsip ketaatan dan prinsip kebebasan, sikap tegas dan sikap lemah lembut, dalam suatu formula yang pas.
***
Bagaimana kongkritnya memadukan ketaatan dan kebebasan, ketegasan dan kelemahlebutan? Yang pasti kita harus kita harus menghindari hal-hal berikut ini:
(1) memberi perintah secara emosional atau impulsif, tanpa dipikir dulu baik-baik;
(2) membuat aturan tapi tidak menegakkannya secara konsisten;
(3) menuntut anak berperilaku baik tanpa memberitahu dan melatihkan padanya cara berperilaku baik itu secara sistematis, tapi langsung memarahinya ketika dia tidak berperilaku sesuai harapan kira;
(4) memberi anak kebebasan memilih yang semu – alih-alih membiarkan anak betul-betul memilih dan menanggung konsekuensinya, kita hanya seolah-olah memberinya hak memilih padahal secara “halus” mengkondisikannya memilih pilihan kita dengan berbagai cara.
Zaman bergerak, selalu muncul tren baru yang berbeda dari tatanan konvensional. Pendidik yang berpikiran sempit akan terlalu khawatir pada “pengaruh luar” terhadap kemurnian anak-anaknya, lalu melarang mereka bersentuhan dengan apa pun yang di luar tradisinya.
Namun, bagaimana kita tahu bahwa karakter anak kita sudah kokoh kalau dia hidup melulu di zona aman? Kita harus ingat bahwa segala rupa gemblengan yang kita berikan di rumah dan sekolah itu tujuannya agar anak siap terjun ke dunia nyata sebagai sekolah kehidupan sejati.
Orangtua dan guru yang bijak selalu menerapkan seni tarik ulur, mengayomi dan melepas. Justru lewat bertemu perbedaan dan keberagaman, segala macam arus baik dan buruk, anak menemukan jatidiri dan misi personalnya yang istimewa.
***
Dalam diri tiap anak tersimpan harta karun potensi yang, sayangnya, belum tentu teraktualisasi jika para pendidiknya tak berkomitmen.
Seorang calon ilmuwan yang berkomitmen akan belajar siang-malam, melakukan pengamatan dan eksperimen, mencatat dengan teliti, sampai ia bisa membuat berbagai terobosan yang berguna. Kesungguhan selalu dibutuhkan untuk menjadi pakar suatu bidang.
Nah, berapa banyak ayah-ibu atau guru yang berusaha sekeras itu untuk menjadi pakar soal mendidik anak? Adakah kita serius mengamati anak kita, mencatat naik-turun tumbuh kembangnya setiap hari, membaca buku-buku, coba-ralat-evaluasi, dan terus progresif memperbaiki cara mendidik? Jika prosesnya saja tidak serius kita jalani, atas dasar apa kita menuntut hasil yang baik?
=========
Tulisan ini disadur dari artikel “Extracts from Progressive Education” yang ditulis oleh Mme. Necker de Saussure dan disunting oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891.
Sumber Foto: istimewa
no replies