Tanya:
Dituliskan di grup Komunitas Charlotte Mason Indonesia:
Dampak atmosfer orangtua dan kehidupan, khususnya semasa kanak-kanak, terhadap pembentukan cara pikir, karakter, dan nasib seseorang – sains masa kini sudah bisa menjelaskan itu. Namun masih banyak orang yang belum bisa secara reflektif menyadari betapa sikap mereka hari ini sangat dipengaruhi oleh proses pengasuhan di masa lalu.
– Saduran “Parents as Inspirers” yang ditulis oleh Charlotte Mason dalam The Review Vol. 2 1891/1892 (54)
Pertanyaannya: Apa ini valid? Karena saya dan kakak dibesarkan dengan cara yang persis sama, tapi punya jalan pikiran, watak, dan nasib yang sangat berbeda.
Artina di Bandung
====
Jawab:
Hai, Artina! Terima kasih atas pertanyaanmu yang menarik. Yang aku pahami, inti dari pertanyaanmu adalah: jika pengasuhan orangtua berpengaruh besar, bukankah semua anak yang dibesarkan oleh orangtua yang sama seharusnya memiliki jalan pikir, watak, dan nasib yang sama?
Kalau ternyata kebalikannya: orangtua sama, cara didik sama, tapi jalan pikir, watak, dan nasib anak-anak yang dibesarkannya berbeda-beda, bukankah itu berarti didikan orangtua tidak punya pengaruh sangat besar bagi hidup anak?
Nah, aku melihat di dalam pemikiran yang seperti itu ada dua asumsi yang perlu dikenali dan diperiksa.
***
Yang pertama, ada asumsi bahwa orangtua itu selalu konstan. Seperti yang tercermin dari pilihan kata “cara didik yang persis sama”. Justru itu yang perlu lebih dulu dipertanyakan: mungkinkah orangtua mendidik dengan cara yang persis sama sepanjang waktu? Atau hanya terkesan sama tapi sebetulnya perlakuan partikular ke tiap anak berbeda-beda? Apakah anak perempuan diperlakukan sama seperti anak lelaki? Apakah anak sulung diperlakukan sama dengan anak bungsu?
Di sini relevan kalau kita mengingat doktrin Heraklitus “panta rhei” – segala sesuatu di dunia ini berubah dan tidak ada yang tinggal tetap. Filsuf Yunani Kuno itu berkata, kita bahkan tidak bisa menginjak sungai yang sama dua kali, sebab baik sungai itu maupun kita sendiri selalu berubah.
Memang sungainya kelihatan sungai yang sama, tapi air yang mengalir di situ sudah tidak sama. Begitu pula kita rasanya masih orang yang sama, tapi kita yang menginjak sungai kedua kali sudah tidak lagi sama persis dengan kita dulu waktu pertama kali menginjak sungai ini.
Aku beri contoh di keluargaku sendiri. Aku anak kedua dari empat bersaudara. Tiga anak pertama lahir saat orangtua kami masih usia dua puluhan dan secara ekonomi masih berjuang, adik bungsu lahir saat ayah-ibu sudah berusia tengah baya dan secara ekonomi lebih mapan. Yang aku lihat cara ayah-ibuku memperlakukan adik bungsu ini beda sekali dengan cara beliau berdua mendidik kami dulu, cenderung lebih memanjakan.
***
Yang kedua, katakanlah cara didik orangtua sama, apakah anak akan menyerapnya dengan cara yang sama? Apakah semua anak ketika ditegur orangtua dengan cara yang sama akan menafsirkan teguran itu secara sama? Apakah semua anak ketika dibacakan cerita yang sama akan memahami secara sama cerita itu?
Penerimaan yang persis sama di semua anak hanya mungkin jika anak tidak punya kepribadian. Kalau anak bukan pribadi yang unik, setiap anak akan bisa dicetak persis seperti maunya orangtua, tidak punya kuasa untuk menyeleksi ajaran orangtua.
Secara filosofis, asumsi ini berakar pada teori John Locke tentang tabula rasa, manusia terlahir seperti kertas kosong yang menunggu ditulisi. Charlotte Mason menolak konsep tabula rasa sebab ia meyakini bahwa setiap anak terlahir sebagai pribadi.
Dan bukan hanya anak yang unik, ayah dan ibu sendiri juga pribadi yang unik. Ketika berinteraksi pribadi-pribadi unik ini akan menciptakan relasi yang dinamis. Rudolf Dreikurs banyak membahas betapa rumitnya relasi dalam konstelasi keluarga ini. Sikap orangtua dan anak terus berubah-ubah dari waktu ke waktu seiring perkembangan konstelasi ini.
Kembali ke contoh keluargaku. Konstelasi keluarga kami berubah-ubah. Saat kakak lahir, perhatian orangtua bisa penuh tercurah pada kakak seorang. Saat aku lahir dua tahun kemudian, perhatian harus dibagi. Saat adik ketiga lahir jarak dua tahun dari aku, bagi-bagi perhatiannya makin sulit lagi – sering terjadi sibling rivalry. Tapi saat anak keempat lahir, dia kembali jadi pusat perhatian karena tiga kakaknya sudah besar-besar semua.
Jadi, anak-anak bisa saja terlahir di keluarga yang sama, dibesarkan oleh orangtua yang sama, tapi setiap anak tetap punya kecenderungan unik masing-masing. Mereka juga akan membangun cerita mental masing-masing, kadang tafsir yang sama sekali berbeda untuk peristiwa yang sama, yang dipengaruhi oleh posisi mereka dalam konstelasi keluarga.
***
Kalau demikian berarti seberapa berpengaruhkah pengasuhan orangtua terhadap jalan pikiran, watak, dan nasib anak kelak? Charlotte Mason berpendapat instrumen atmosfer menyumbang sepertiga hasil pendidikan. Dengan kata lain: ini faktor yang penting, tapi bukan satu-satunya.
Kalau kita cermati riset-riset ilmiah terkini, khususnya di ranah psikologi dan neurologi, hasilnya mengkonfirmasi pentingnya peran pengasuhan orangtua itu. Teladan dan cara didik orangtua sangat mewarnai tumbuh kembang pribadi anak, cara pandangnya tentang dunia, pola-pola kebiasaannya.
Tentu saja sebagai makhluk berotak plastis, selalu ada kemungkinan anak merevisi peta yang diberikan oleh orangtua di masa kecilnya. Sebagai pribadi, setiap anak punya kebebasan membuat keputusan (free will) hidupnya mau diapakan. Di sinilah terbuka peluang kakak beradik membuat pilihan jalan hidup dan nasib yang berbeda-beda satu sama lain, bahkan bisa bertolak belakang dari tradisi orangtuanya.
Setiap anak bisa memilih jalan hidup tertentu karena orangtua dulu mendidiknya dengan cara tertentu, tapi ia bisa juga juga memilih jalan hidup yang berbeda meskipun orangtua dulu mendidiknya dengan cara tertentu. Dalam kedua kasus itu, cara didik orangtua di masa kecil tetaplah memainkan peran besar dalam nasib anak.
Semoga menjawab ya. Salam hangat.
Ellen Kristi
no replies