Apa gunanya mengenang masa kecil, masa lalu?
Pertama, itu membuat kita makin kenal diri sendiri. Saat merunut riwayat hidup, kita bisa jadi akan terkejut menyadari besarnya dampak dari figur A atau peristiwa B terhadap pertumbuhan pribadi kita.
Kedua, jika dibagikan, kenangan masa lalu itu bisa membantu orang lain lebih kenal kita dan paham suasana dan budaya di masa kita dibesarkan.
***
Ibu saya suka bercerita tentang masa lalunya. Dia menceritakan betapa dia merasakan pengalaman cinta pertama dalam relasi dengan orangtua dan kakak-adiknya.
Ternyata antara kakak dan adik tidak selalu muncul persaingan antar saudara (sibling rivalry) lho! Ibu saya tidak mengalaminya karena dulu Nenek pandai menata relasi di antara anak-anaknya sejak mereka masih bayi.
Begitulah. Ketika anak-anak merasa diterima apa adanya, menghirup atmosfer keadilan dan kekompakan dalam keluarga, mereka tidak merasa perlu bersaing. Justru Ibu bilang, banyaknya goncangan hidup dan perpisahan bisa menjadi pupuk yang membuat kasih sayang antar saudara terus bertumbuh, mendalam seiring bertambahnya usia.
***
Semasa kecil Ibu itu pemalu dan lambat bicara. Nenek menyadari bahwa Ibu butuh latihan agar terbiasa berinteraksi dengan orang banyak. Hmmm, tapi bagaimana ya caranya? Di sekitar rumah mereka tidak banyak anak sebaya dengan Ibu.
Nenek memutar otak dan lekas mencari bantuan. Beliau mendatangi kawan baiknya yang punya komunitas untuk gadis-gadis muda lintas kelas sosial. Setiap pagi ia mengantarkan Ibu untuk mengikuti kegiatan di komunitas itu. Hasilnya, bukan hanya makin pandai bergaul, di sana Ibu mendapat aneka keterampilan praktis, religiusitasnya menguat, juga belajar berorganisasi.
Begitulah. Setiap anak memiliki sifat bawaan masing-masing, tetapi sifat bawaan itu bukanlah takdir. Tugas orangtua justru mencari jalan agar jangan sampai perkembangan kepribadian anak dikungkung oleh berbagai kencenderungan alamiahnya.
***
Ibu hidup di Inggris abad ke-19. Tahun 1800-an, sikap rajin dan kerja keras adalah norma yang dipegang kuat oleh masyarakat. Kewajiban dijunjung tinggi di atas kesenangan pribadi. Sejak kecil, Ibu menyerap norma itu dari teladan Kakek dan Nenek. Sepanjang hari, beliau berdua tak pernah berpangku tangan.
Ibu ingat, dulu semasa kecil, dia diizinkan membuntuti Nenek ke mana pun, entah bekerja di dalam maupun di luar rumah. Nenek tidak pernah banyak bicara, bahkan tak pernah mengingatkan agar Ibu jangan menginterupsi pekerjaannya. Ibu seperti sudah tahu sendiri. Aturan tak terkatakan meresap begitu saja ke dalam dirinya, meski ia masih bocah.
Begitulah. Ternyata, tanpa harus diceramahi, anak bisa menurut. Lewat sikap orangtua sehari-hari, anak bisa dibuat sadar bahwa dia bukan pusat alam semesta. Seperti Ibu yang dalam usia muda sudah sadar bahwa bukan perilaku elok kalau anak menuntut orangtua secara eksklusif memperhatikan dirinya, apalagi mengganggu orangtua yang sedang bekerja.
***
Ibu ingat, ia dan adiknya dulu senang sekali waktu Kakek membuatkan bagi mereka bangku kecil. Satu anak satu. Mereka merawat bangku mereka masing-masing dengan teliti.
Mereka akan duduk di bangku itu di dekat kaki Nenek sewaktu Nenek menjahit, siap sedia menjadi asisten setiap kali Nenek minta bantuan membenangi jarum atau mengambilkan sesuatu. Bisa membantu Nenek membuat mereka sangat bangga dan gembira.
Sembari menjahit Nenek akan mendaraskan ayat kitab suci, atau mendeklamasikan puisi, atau mendongeng. Semua pesan yang Nenek sampaikan selama sesi-sesi itu menancap kuat di hati Ibu dan adiknya.
Begitulah. Kebahagiaan bagi seorang anak bisa sangat sederhana. Setiap momen kebersamaan dengan orangtua berharga baginya. Pada dasarnya anak tak butuh dibelikan banyak mainan atau barang mewah untuk merasa senang.
***
Detil-detil pengalaman masa kecil bisa terlupakan, tetapi emosi yang ditimbulkan oleh pengalaman itu terpatri kuat sampai dewasa. Seperti orang dewasa, anak juga merasakan berbagai jenis emosi, hanya saja ia belum bisa mengungkapkan itu dalam kata-kata.
Kadang anak merasakan simpati yang sangat kuat, kadang dia juga dihantam trauma karena mengalami suatu peristiwa yang menggoncangkan. Jika tidak dibantu untuk pulih, trauma terus hidup dalam diri anak (misalnya, dalam bentuk fobia) sampai ia sudah jadi nenek-nenek sekalipun.
***
Ibu cerita bahwa suatu hari pernah rumah Kakek-Nenek disatroni pria seram tak dikenal ketika Kakek sedang pergi. Nenek bergerak cepat, langsung menyembunyikan semua anaknya, tapi sikapnya tenang. Nenek bertingkah seolah-olah tidak ada apa-apa, sehingga Ibu dan saudara-saudaranya tidak panik.
Setelah anak-anaknya aman, Nenek keluar menghadapi pria itu dengan kalem tapi hati-hati. Ketika Kakek pulang, barulah anak-anak diajak berdiskusi menganalisis peristiwa itu dan menarik hikmah darinya.
Begitulah. Di dunia ini, tidak semua manusia manis dan tulus. Sangat penting orangtua belajar untuk mengendalikan emosi dan tetap berpikir dingin di segala situasi, terutama yang mengancam keselamatan anak-anaknya.
Jika orangtua tahu cara yang tepat menyikapi suatu peristiwa, alih-alih menjadi trauma, anak malah mendapat peluang belajar dari mengamati cara orangtuanya menghadapi orang-orang yang sulit atau berbahaya.
***
Saya sangat suka mendengar cerita masa muda ibu saya. Saya yakin, anak-anak mana pun umumnya sangat suka menyimak cerita masa muda orangtua mereka. Dan seperti saya, mereka akan belajar banyak dari kisah-kisah itu.
Jadi, alangkah baiknya kalau kita orangtua secara serius mengingat-ingat apa saja yang pernah kita alami lalu membagikannya pada anak-anak kita. Apalagi kalau kita bisa menuliskannya, itu bakal jadi cara yang bagus sekali untuk mewariskan hikmah kehidupan kita pada mereka.
=========
Tulisan ini disadur dari artikel “My Mother’s Memories of Her Childhood” yang ditulis oleh Anna Mary Harrison dan disunting oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891.
Sumber Foto: The British Library Board
no replies