KAPAN hari seorang karib beserta keluarga bertandang ke rumah, dan memprihatini saya karena terlampau berakrab dengan pemikiran Charlotte Mason. Semula saya maklumi karena latar “islamisnya”. Namun, lama-lama saya tak tahan ketika dia mulai berpetuah yang aneh-aneh.
Lantas saya bilang padanya dengan sedikit mangkel, bahwa justru dulu umat Islam mengalami kejayaan itu karena bersifat terbuka. Munculnya Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, dan yang lainnya itu lantaran membuka diri dengan pemikiran Yunani. Mereka tidak canggung untuk meminjam logika Yunani dalam rangka mengonstruksikan filsafat Islam.
Islam itu terbuka. Termasuk hari-hari ini banyak kawan muda Nahdliyin merumuskan gerakan pembelaan terhadap kaum mustadh’afin dengan merujuk falsafah Marxis. It’s okay.
Pun saya, mantap dengan filosofi Charlotte tak lain karena paradigma atau akidah Islam yang saya pahami. Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia, sabda Nabi saw.
Nah, kemudian Charlotte merumuskan prinsip moralitas itu, dengan pertama-tama bahwa anak mesti mengenali kodrat, potensi, dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Ada “pengenalan diri” sekaligus “pengaturan diri”, yang kemudian berpuncak pada kesanggupan manusia untuk mencerminkan sifat Tuhan dalam kehidupan.
Singkatnya, norma agama (seperti birul walidain, berbakti pada orangtua) saya menemu landasan filosofi hingga juklak dan juknis ketika menyuntuki gagasan Charlotte Mason, sehingga pertanyaan how to do it atas postulat normatif agama terjawab dengan meyakinkan. Benar-benar saya merasakan di sini bukan sekadar slogan atau dogma lagi, bahwa tujuan hidup atau pendidikan itu adalah pemuliaan karakter.
Membumi
Di luar sana, tahulah bahwa orientasi belajar tidak jauh-jauh dari urusan materi. Bahwa bersekolah tak lebih dari persoalan untuk mengisi pundi-pundi, menjadi seorang profesional, ahli sains, atlit, dan seterusnya.
Charlotte Mason sebaliknya, bahwa yang mesti diseriusi adalah pemuliaan watak: magnanimity. Magnanimity adalah kesanggupan untuk berpikir tinggi, sekaligus hidup membumi.
Saya memahami “berpikir tinggi” ini gerak transendensi: gerak mengarungi waktu, menggapai ketakterbandingan Tuhan. Transendensi adalah konsep penghambaan. Transendensi adalah upaya meraih kesadaran ketuhanan.
Sementara “hidup membumi” adalah sebagai gerak transformasi: kesediaan kita mengukur ruang, melayani umat. Transformasi adalah kesadaran kemanusiaan. Transformasi adalah kesediaan bergulat dengan kerja-kerja sosial, atau pekerjaan sehari-hari yang paling kasar, sehingga selaras dengan desain terciptanya manusia yang serupa Tuhan, tercipta sebagai wakil-Nya.
Teladan
Kemudian, Charlotte mengetengahkan tiga prinsip pendidikan, yang bikin saya makin tertarik menyelaminya. Pertama, education is an atmosphere. Tersebut bahwa di tengah keluargalah, anak menghirup atmosfer nilai, keyakinan, hingga persoalan gaya bicara, berpakaian, ketika marah, bercanda, menyapu lantai, atau mencuci piring, dan seterusnya, dan sebagainya.
Keseharian keluarga adalah sehari-hari yang apa adanya. Nyata, tanpa desakan rekayasa, tanpa topeng. Itu berbeda dengan sekolah. Para guru akan selalu berusaha tampil sempurna di hadapan peserta didik. Mereka (seolah) tidak selayaknya tampil bodoh. Tampil tak mengerti materi ajar. Mesti berwibawa. Artinya, guru tidak tampil sebagai diri yang apa adanya. Tidak tampil wajar.
Pendidikan adalah atmosfer mengisyaratkan orangtua mesti serius menggarap diri. Bersungguh-sungguh mendewasa. Yang mengerti visi hidup. Yang memahami psikologi perkembangan anak. Dan yang (sekaligus) tidak menjadi benalu di tengah lingkung sosial. Singkatnya: pantang lelah memproses diri.
Itulah. Betapa tak sederhana mengayuh biduk keluarga. Betapa, sebagai orangtua, mesti bersiap menjadi inspirator terlebih dahulu sebelum menuntut ketaatan anak-anak. Menjadi orangtua, mesti memandang anak sebagai titipan Tuhan dan umat manusia sekaligus.
Anak merupakan aset Tuhan dan (sekaligus) aset masyarakat. Anak adalah hamba Tuhan, sekaligus calon duta Tuhan. Maka, mendidik anak itu sama sekali bukan untuk kepentingan kita, bukan demi kapitalisasi “supaya kelak ketika kita tua gantian dirawat anak.” Bukan begitu!
Kebiasaan
Mandek semata inspirator, jelas tak mencukupi. Seusai menggarap diri, setelah menekuni atmosfer inspirasi, kita berlanjut ke prinsip kedua, education is a discipline. Pendidikan adalah formasi kebiasaan-kebiasaan. Ada pembiasaan, juga simulasi, terjadwal. Sehingga orangtua-anak terlibat dalam kerjasama: menyeharikan kebiasaan-kebiasaan baik. Mempraktikkan hal baik dengan konsisten.
Charlotte Mason merekomendasikan dua kebiasaan yang wajib dilatihkan: kebiasaan memperhatikan dan kebiasaan taat. Kemudian disusul kebiasaan-kebiasaan lain: kejujuran, mengerjakan sesuatu secara sempurna (tidak setengah-setengah, apalagi asal jalan), pengendalian diri, dan seterusnya.
Gagasan
Ketiga, education is a life. Prinsip ini menandaskan bahwa anak terlahir sebagai pribadi utuh. Pribadi yang tak hanya kebutuhan raga yang mesti kita perhatikan, tetapi juga kebutuhan jiwa.
Kita memang harus memenuhi kebutuhan raga anak. Karena itu yang menopang kelangsungan hidupnya. Namun, persis yang ditekankan Charlotte, itu tak akan memadai tanpa menengok kebutuhan jiwanya. Spiritualnya juga butuh asupan untuk bertumbuh. Bahkan dalam tradisi tasawuf, pemenuhan gizi spiritual ini merupakan pokok ajaran.
Apa itu makananan jiwa? Apa asupan spiritual? Ide atau gagasan besar itulah makanan spiritual. Dengan gagasan besar, anak akan siap terjun ke kancah kehidupan sebagai pribadi yang berkarakter: cerdas sekaligus bermoral. Dan pendidikan seyogianya bisa menghidangkan itu. Pendidikan, selain sebagai formasi kebiasaan-kebiasaan baik, adalah sebagai perjumpaan gagasan-gagasan besar. Gagasan yang terhebat, termulia, terbaik.
Dari mana gagasan atau ide itu kita peroleh? Jelas bisa dari mana saja, apa saja, dan dari siapa saja. Namun demi kebutuhan praktis, bisa kita peroleh dari buku-buku, baik fiksi maupun nonfiksi yang bercita rasa sastrawi dari para penulis yang berdedikasi tinggi. Charlotte menyebutnya living books.
Walhasil, menjalani pendidikan sama artinya juga dengan kegairahan untuk mengoleksi buku-buku berkualitas, buku-buku inspiratif, buku-buku yang menggerakkan anak untuk mengingat dan merenung. Adakah? Jelas ada, meski tak sebanyak buku non-living books.
Tulisan ini sudah pernah dimuat di barisan.co dengan judul yang sama. Dimuat kembali di sini dengan sedikit suntingan tanpa mengubah maksud penulis.
no replies