Zaman SMA dulu, saya pernah belajar bahasa Inggris bersama seorang guru asal Australia. Rambutnya gondrong, dikepang kecil-kecil, sering awut-awutan. Kalau jalan seperti sempoyongan. Kalau bicara suka tidak jelas, seolah bicara pada diri sendiri, dan pandangan matanya kadang kosong.
Entah kenapa, benak memang suka menyambung-nyambungkan satu gagasan dengan gagasan lain, tuturan guru Aussie saya itu yang langsung muncul saat saya mencoba menarasikan karya Marie Winn, The Plug-In Drug: Television, Computers, and Family Life. Barangkali karena kata “narkoba” di judul buku itu.
Guru Aussie itu adalah pecandu narkoba pertama yang saya kenal. Dia mengisahkan riwayat hidupnya detil di suatu sesi. “Semua jenis narkoba sudah pernah saya coba,” akunya, “mulai dari mariyuana sampai kokain.” Setelah menjajal berbagai jenis narkoba, menurutnya yang paling mencandu dan sulit dilepaskan adalah rokok! Itu sebabnya, sekalipun sudah ‘bersih’ alias tidak pakai narkoba apa pun selama bertahun-tahun terakhir, dia masih tetap belum bisa berhenti merokok.
Sepertinya ada pesan yang sama antara guru Aussie saya dan Marie Winn: Jangan pikir efek adiktif-merusak itu hanya melekat pada zat-zat yang disebutkan Undang-Undang Narkotika. Sesuatu yang kelihatan sepele, umum, banyak pelakunya, ada di mana-mana, mudah didapat, mudah diakses, resmi alias tidak dilarang negara, bahkan sepintas memang tak muncul dampak berbahaya yang signifikan, bisa punya dampak narkotik yang sama, atau justru lebih mencengkeram. Misalnya? Kata guru Aussie saya, rokok. Kata Marie Winn, televisi (TV).
Berapa Jam Sehari Anak Menonton TV?
Winn adalah seorang jurnalis sekaligus pengamat burung dan alam liar. Dia menulis buku The Plug-In Drug tahun 1977 setelah melakukan riset wawancara dengan sejumlah besar orangtua, anak-anak, guru, kepala sekolah, pekerja sosial, eksekutif industri TV, psikolog dan psikiater tentang TV – benda yang masih relatif baru masa itu. Buku ini lalu diperbaharui lagi tahun 1985 dan 2002.
Selama dua puluh lima tahun sejak edisi perdana, Winn melihat situasi sosial masyarakat Amerika banyak berubah, namun dalam hal dampak TV terhadap anak-anak dan keluarga rupanya problem-problem yang dulu dia cermati relatif masih tetap sama.
Banyak orangtua, kata Marie Winn, masih salah sasaran ketika menganalisis problem dampak TV. Mereka ribut soal konten. Mereka berjuang menuntut para stasiun dan produsen membuat dan menayangkan program-program TV ramah anak. Jauhkan unsur kekerasan. Jauhkan seksualitas. Buatlah tayangan yang bernilai edukatif. Tapi sungguhkah itu strategi yang tepat untuk menangani dampak negatif TV terhadap anak-anak?
Winn beranggapan strategi yang demikian bukannya mengatasi, tapi justru memperparah persoalan. Bukankah jika semakin banyak acara ‘edukatif’ maka anak akan lebih betah menonton TV dan orangtua lebih punya alasan untuk membiarkannya? Jadi, bukannya mengurangi, perjuangan para orangtua ‘meramahkan’ tayangan TV malah akan menambah jam yang dihabiskan anak di depan layar.
Peningkatan jam menonton TV sudah jadi fenomena global dan sebagian pecandu TV paling ‘akut’ adalah anak-anak. Winn mengutip hasil riset Nielsen terakhir (sebelum tahun 2002) bahwa di Amerika, anak-anak kategori usia 2-5 tahun rata-rata menonton TV 21,8 jam per pekan; kategori 6-11 tahun 18,3 jam. Persentase anak usia 9 tahun yang menonton TV 3-5 jam per hari naik signifikan dari 39% tahun 1982 menjadi 47% tahun 1999. [Di Indonesia, menurut rilis data dari Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Azimah Subagijo, intensitas anak Indonesia menonton TV juga meningkat dari 22-26 jam/pekan tahun 1997 menjadi 35 jam/pekan tahun 2011.]
Begitu besar porsi waktu yang ‘diinvestasikan’ anak untuk menonton TV! Bagi Winn fakta ini membuat debat ribut tentang konten tayangan makin tak penting. Entah yang sedang ditayangkan program bagus atau jelek, edukatif atau penuh kekerasan, nonton TV tetaplah nonton TV. “Terjadi mekanisme fisiologis tertentu pada mata, telinga, dan otak untuk merespon rangsangan yang memancar dari layar TV, lepas dari isi kognitif programnya”.
Tak ada pengalaman lain dalam hidup anak yang transaksinya begitu satu arah – begitu banyak input masuk dengan begitu sedikit upaya dan karya yang diminta. Jika anak menghabiskan berjam-jam untuk aktivitas yang satu ini, bukankah pasti ada dampak nyata?
Daya Sihir Televisi
Banyak pertanyaan, yang lebih krusial dibanding ramah tidaknya tayangan TV, yang musti orangtua ajukan dan selidiki – efeknya terhadap tumbuh kembang, imajinasi, kreativitas, persepsi anak tentang realitas, kesehatan anak, pola relasi dan komunikasi keluarga, dan seterusnya.
Memang kita tidak bisa pukul rata bahwa TV selalu membuat semua anak kecanduan. Tiap anak punya respons berbeda terhadap pengalaman menonton TV. Ada yang tidak mudah kecanduan, tapi ada juga yang amat-sangat mudah kecanduan.
Khususnya pada anak-anak ‘rawan TV’ (TV-susceptible) ini, seedukatif apa pun programnya tetap bakal jadi masalah. Ketika hidup di dunia nyata menjadi kalah menarik dibandingkan realitas virtual dalam TV, “Jika berjalan-jalan di antara pepohonan mulai terasa membosankan dibandingkan pengalaman menonton singa-singa mengejar zebra di Dataran Serengeti”, tak ada gunanya berkeras tentang nilai edukatif dari program itu.
Problem utama dari kebiasaan menonton TV pada anak-anak bukanlah apa yang terjadi selama anak menonton, tapi apa yang tidak terjadi selama anak menonton. Sosiolog Urie Bronfenbrenner secara dramatis berkomentar, “Seperti penyihir dunia kuno, televisi mengucapkan mantera kutukannya, menghentikan kata-kata dan tindakan, mengubah makhluk hidup menjadi patung-patung membisu selama mantera itu berkuasa.”
Memang ada bahaya pengaruh konten tayangan terhadap perilaku anak, tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah monotonnya kegiatan anak. Televisi mencegah anak terlibat dalam percakapan, permainan, acara-acara bersama dan tukar ide dalam keluarga yang bakal jadi faktor paling menentukan dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakternya. “Menyalakan perangkat televisi bisa mematikan proses yang mentransformasi anak-anak menjadi orang dewasa,” tambah Urie.
Studi Desa Notel
Ada studi menarik tentang warga Desa Notel di kawasan Kanada. Para peneliti mempelajari gaya hidup anak-anak dan keluarga di sana sebelum siaran TV masuk, kebetulan desa ini tak terjangkau oleh stasiun-stasiun TV karena alasan geografis.
Riset lantas membandingkan anak-anak Desa Notel dengan dua populasi desa lain yang secara demografis mirip: satu desa hanya punya satu saluran TV selama satu dekade, satu populasi lagi sudah terlayani banyak saluran TV.
Hasil riset sungguh mengherankan. Sebelum ada TV, anak-anak Notel menunjukkan hasil tes yang jauh lebih tinggi dibandingkan anak-anak dua desa lainnya dalam berbagai uji keterampilan, termasuk kreativitas dan kompetensi membaca. Ketika dites satu tahun kemudian, setelah TV masuk desa, skor anak-anak Notel sudah turun ke tingkat yang sama dengan anak-anak dua desa lain.
Menurut para peneliti, bukan kegiatan menonton TV yang menurunkan skor itu, tapi hilangnya kegiatan-kegiatan berharga lama, seperti membaca, bermain bebas, mengerjakan hobi, atau sosialisasi dengan orang dewasa – semua tergusur oleh kebiasaan baru menonton TV. Sayang sekali sulit memverifikasi hasil riset ini karena sekarang tak ada lagi masyarakat yang belum kenal TV.
Kebutuhan Anak vs. Kebutuhan Orangtua
Kalau paham betul tentang proses tumbuh kembang anak, orangtua mau tak mau akan mengakui bahwa tak ada acara TV yang betul-betul ramah anak, betul-betul edukatif. Sesuatu yang ‘ramah-anak’ mengandaikannya sedang memenuhi kebutuhan esensial anak. Dan apa yang anak, khususnya usia dini, butuhkan?
Pertama, anak-anak butuh belajar mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar berkomunikasi, membaca, menulis, mengungkapkan diri secara luwes dan jelas. TV tak bisa memenuhinya karena anak diposisikan sebagai penerima pasif, bukan partisipan.
Kedua, daya intelektual anak-anak butuh dirangsang oleh pengalaman aktif, mengotak-atik, menyentuh, menggarap, bergerak. TV membuat mereka duduk sepanjang waktu.
Ketiga, daya imajinasi dan kreativitas anak mekar lebih baik jika mereka menciptakan khayalan dan permainan mereka sendiri. TV membombardir benak mereka dengan fantasi-fantasi versi orang dewasa.
Keempat, anak-anak butuh belajar keterampilan-keterampilan mengelola rumah dan keluarga supaya kelak siap saat menjadi ayah dan ibu juga. TV justru mengganggu keintiman keluarga, mengurangi kekayaan dimensi dan ragam-ragam kegiatan keluarga.
Kelima, anak-anak perlu belajar hidup di dunia nyata, bersosialisasi, bereksperimen, membuat pilihan, memikul tanggung jawab. Lebih banyak menonton TV tidak akan memberi pengalaman otentik yang mereka butuhkan.
Sering kita mendengar orangtua bercerita geli atau bangga tentang anaknya, “Si A lucu sekali! Kemarin dia bisa menirukan kata-kata iklan anu!” atau “Lihat tuh, dia bergaya seperti idola cilik X!” dan sejenisnya. Itukah yang kita maksud pengalaman edukatif dari TV? Jangan bayangkan anak mengalami konten edukatif dari TV sama seperti orang dewasa melihatnya.
Pada orang dewasa, tabungan pengalaman membuat persepsi mereka yang menentukan makna acara TV. Tapi pada anak-anak usia dini yang baru saja melewati tahap bayi mereka, acara TV itulah yang menjadi tabungan pengalaman untuk memaknai realitas. Apa yang kita anggap lucu itu barangkali adalah gejala awal pembentukan identitas diri dan cara memandang realitas dalam benak anak-anak kita, dalam versi yang sama sekali didikte oleh TV-nya.
Tapi apa daya? Barangkali upaya memperjuangkan konten yang ‘lebih edukatif’ merupakan cara kita menenangkan nurani. Sebab meski samar-samar sadar ada yang salah jika anak kebanyakan menonton TV, tapi banyak orangtua yang merasa terlalu sulit menolak sihir kotak kaca ini.
Mungkin kita sendiri suka menonton TV, mungkin kita butuh ada ‘baby-sitter’ yang bisa membuat anak-anak tenang sementara kita bekerja atau beristirahat, atau sekedar supaya mereka mau duduk manis disuapi makan? Itukah yang membuat kita berdiam diri melihat anak-anak kita terpaku di depan layar, terbius oleh ‘narkotika’ bernama TV? (Bersambung)
Serial resensi The Plug-In Drug:
1. Narkotika Bernama Televisi
2. Hipnotis Layar Kaca
3. Mitos Tentang Tayangan “Ramah Anak”
4. Dampak Tayangan “Edukatif” Bagi Bayi-Balita
5. Apa yang Dirampas TV dari Anak-Anak Kita?
6. Generasi Layar Kaca yang Makin Enggan Membaca
no replies