Dengan apakah pengalaman menonton televisi bisa disamakan? Marie Winn dalam buku The Plug-In Drug menjawab: dengan situasi terhipnotis atau trance. Tidak percaya? “Perhatikan saja ekspresi anak-anak ketika mereka sedang terserap betul oleh tontonannya,” tulisnya.
Mata anak akan menatap ke depan seolah hampa, abai terhadap suara dan situasi di sekitarnya, rahang rileks dan sedikit menggantung, lidah beristirahat di gigi depan (kalau sudah punya gigi), membuat mulut tampak agak terbuka.
Apakah Anda masih percaya klaim kepala divisi riset Sesame Street Dr. Edward Palmer bahwa saat menonton layar kaca, anak secara mental aktif dan siaga? [Palmer pernah berpendapat: “sementara menonton, anak-anak sedang membuat hipotesis, mengantisipasi, menggeneralisasi, mengingat, dan giat mengaitkan apa yang mereka lihat dengan hidup nyata mereka”.]?
Atau yang benar adalah pendapat Dr. T. Berry Brazelton – “televisi menciptakan suasana yang menyerbu dan membanjiri anak [dengan stimuli berlebihan] sehingga ia hanya bisa mengatasinya dengan mekanisme mematikan kesiagaan (shutdown) dan menjadi lebih pasif”?
Memundurkan Perkembangan
Mari jujur saja, melihat anak pasif di depan TV sebetulnya mendatangkan kegelisahan di sanubari terdalam orangtua. Bagi Winn, kegelisahan itu merupakan bagian dari insting orangtua.
Sebagai pihak yang mendampingi mereka sejak lahir, kita menyaksikan bagaimana anak-anak bertumbuh kembang, dari situasi bayi yang total pasif menjadi bocah yang aktif dan terampil berpartisipasi dalam kehidupan.
Dalam tiga tahun pertama, anak-anak melesat pesat dari kondisi tak berdayanya semasa bayi. Koordinasi mata-tangan-ototnya telah berkembang. Mereka merangkak, berjalan, berlari, melompat, bermain, mencari tahu apa saja tentang dunianya. Dari sekedar menangis, tersenyum, dan merengek, kini mereka bisa bicara dan bercakap.
Namun, televisi mengembalikan anak-anak aktif itu kembali ke modus pasif mereka seperti kala bayi dulu, duduk diam selama berjam-jam, minim gerak dan kontak sosial, minim inisiatif. Bahkan seolah mereka memasuki ‘dunia’ atau tataran kesadaran (state of consciousness) yang lain, yang setelah tersadar darinya anak-anak justru menjadi mudah meledak dan lebih hiperaktif. Sudah sepatutnya orangtua menjadi kuatir.
Bagai Hanyut dalam Mimpi
Mengapa begitu sulit bagi anak untuk berhenti menonton televisi? Winn menjawab: karena ada kenikmatan audio-visual tingkat tinggi dari imaji yang bersinar dan berubah cepat (yang membuat rentang perhatian anak lebih pendek, komentar Dr. Matthew Dummon), diiringi beragam efek suara dan musik, pengulangan gambar ditingkahi kejutan mengagetkan, diperkuat lagi oleh sosok manusia dan bahasa yang bisa mempesona anak secara kognitif.
Kalau semua sensasi ini digabung menjadi satu, kekuatannya bisa menyetarai bahkan mengalahkan kenikmatan primitif seperti makan atau kontak kulit. Anak bisa lebih memilih terus menonton sekalipun perutnya lapar, atau sudah waktunya tidur dikeloni oleh ayah-ibu.
Situasi seolah terhipnotis atau trance Win duga berasal dari cara mata menangani bombardir imaji elektronik dari TV. Mekanisme fungsi penglihatan itu rumit. Intinya, imaji-imaji dalam layar yang bergerak cepat membuat seorang penonton kesulitan memecah perhatiannya untuk hal lain, selain menghasilkan sensasi seperti bermimpi yang menghanyutkan.
Munculnya Efek Sakaw
Makin tajam kualitas gambar televisi (high definition), makin kuat daya candunya. Program Sesame Street yang sukses besar itu dihasilkan dari penelitian intensif tentang ini, bagaimana memastikan anak terus terpikat dari awal sampai akhir, oleh perpaduan antara gambar-gambar yang bergonta-ganti dengan kecepatan tinggi dan efek-efek ‘pengejut’ lainnya.
Tak heran jika makin banyak orangtua melaporkan bahwa anak mereka kecanduan TV, bahkan sakaw gara-gara tidak menonton TV. “Pernah TV di rumah kami rusak selama sekitar dua minggu,” kisah seorang ibu, “dan anak saya Jerry jadi begitu kacau, gelisah, gugup, berkeliaran di sekitar rumah tanpa tujuan. Dia tidak tahu apa yang musti dia kerjakan dan situasinya makin hari makin parah. Akhirnya saya minta tolong keluarga teman supaya Jerry boleh menonton kartun di rumah mereka.”
Ibu lain menggambarkan anaknya berperilaku seperti alkoholik, memelas-melas berjanji menuruti apa saja perintah ibunya asal diizinkan menonton TV lebih lama lagi. “Sungguh menyedihkan, membuat saya takut sendiri,” katanya. Daya candu ini, Winn mengamati, memang sekarang telah membuat televisi menjadi salah satu sarana disiplin orangtua. Kalau kamu manis, kamu boleh nonton TV. Kalau kamu nakal, jam menonton TV-mu dipotong.
Para Pakar Bersuara
Meski agak terlambat, para pakar kesehatan mulai angkat bicara soal bahaya televisi. Pakar yang disegani di Amerika, Dr. Benjamin Spock, yang semula menganggap acara TV yang edukatif baik bagi anak dan menyarankan agar anak disediakan TV di kamar masing-masing, akhirnya mengakui bahwa tidak punya TV sama sekali adalah solusi yang terbaik untuk mencegah anak kecanduan TV.
Diskusi yang semula didominasi oleh perdebatan mengenai konten apa yang boleh atau tidak boleh anak tonton bergeser ke arah kesadaran pada hakikat kegiatan menonton TV itu sendiri.
Berbagai risiko/dampak negatif ditengarai terjadi akibat kecanduan TV seperti obesitas, diabetes, menurunnya kesehatan jasmani secara umum gara-gara kurang gerak, gangguan tidur, dan sakit punggung bagian bawah.
Setelah setengah dekade sebelumnya hanya menyarankan pembatasan jam menonton, pada tahun 1999 Asosasi Dokter Anak Amerika (AAP) memutuskan untuk dengan tegas merekomendasikan agar “semua dokter anak seyogyanya mendesak orangtua agar menghindarkan anak berusia di bawah dua tahun dari kegiatan menonton televisi”. [Bersambung]
Serial resensi The Plug-In Drug:
1. Narkotika Bernama Televisi
2. Hipnotis Layar Kaca
3. Mitos Tentang Tayangan “Ramah Anak”
4. Dampak Tayangan “Edukatif” Bagi Bayi-Balita
5. Apa yang Dirampas TV dari Anak-Anak Kita?
6. Generasi Layar Kaca yang Makin Enggan Membaca
no replies