KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • CMid
    • Tentang CMid
    • Keanggotaan CMid
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • BAHAN BELAJAR
    • PRINTABLES
      • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • CYB
    • DESKRIPSI CYB
    • RESELLER & DROPSHIPPER
  • ARTIKEL
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • BERITA
  • CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • CMid
    • Tentang CMid
    • Keanggotaan CMid
  • KOLOM
  • PODCAST
  • BAHAN BELAJAR
    • PRINTABLES
      • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • CYB
    • DESKRIPSI CYB
    • RESELLER & DROPSHIPPER
  • ARTIKEL
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • BERITA
April 15, 2013  |  By Ellen K In Resensi
Plug-In Drug #4: Dampak Tayangan “Edukatif” bagi Bayi-Balita
Bermanfaatkah tayangan "edukatif"? (Dok. Istimewa)
Bermanfaatkah tayangan "edukatif"? (Dok. Istimewa)
Post Views: 192

Pada mulanya, bayi dan batita dianggap belum bisa memahami tayangan TV. Meskipun tertarik pada warna-warni dan gerak-gerik di layar kaca, mereka tidak betah menonton terlalu lama. Namun, itu dulu. Ketika konten program-program TV memang hanya disiapkan bagi penonton dewasa.

Marie Winn mencatat dalam bukunya The Plug-In Drug, riwayat tayangan ‘edukatif’ bagi bayi dan batita dimulai di Jepang tahun 1980-an. Berjudul With Mother, program ini dirancang khusus bagi bayi dan batita. Ibu-ibu Jepang banyak yang dengan sengaja mengekspos bayi-bayi mereka pada program ini, karena percaya pada kandungan edukatifnya.

Alhasil, saat disurvei tahun 1986, didapati bahwa sepertiga bayi Jepang berusia 4-5 bulan terbiasa menonton TV minimal satu jam per hari. Dan setelah berusia 5 bulan, bayi-bayi ini mulai menjadi penonton TV yang intens. Saat mereka merayakan ulang tahun pertama, 63% dari bayi-bayi Jepang itu telah memapankan status sebagai penyuka TV. Menurut survei yang lain, tingginya angka bayi penonton TV di Jepang juga dipengaruhi oleh kebiasaan orangtua memasang dan menyalakan perangkat TV di kamar bayi.

Upaya Jepang menciptakan tayangan TV khusus bayi-batita ditiru oleh negara-negara lain. Marshal Haith, seorang profesor psikologi perkembangan, menjadi orang Amerika pertama yang meneliti mengenai jenis program yang bisa menarik perhatian bayi. Tahun 1990, ia memproduksi video edukatif khusus bayi dan memasarkannya lewat pos dan toko mainan. Para orangtua yang membeli produk itu mendapati bahwa bayi-batita mereka memang tertarik menontonnya. Jadilah video edukatif semacam ini suatu tren baru. Pasarnya makin berkembang.

Kasus Teletubbies

Lalu muncullah Teletubbies, program TV pertama yang khusus ditayangkan dengan anak-anak umur dua tahun ke bawah sebagai target audiensnya. Diproduksi oleh BBC, Teletubbies sukses besar di Inggris. Tahun 1997 saja, berbagai merchandise dari program ini laku keras dan menghasilkan keuntungan lebih dari 40 juta dollar (hampir 400 milyar!) bagi BBC.

Teletubbies diimpor ke Amerika dengan keriuhan promosi di koran, majalah, sampai bis kota. Stasiun PBS menggembar-gemborkan bahwa program ini akan “memupuk keterampilan berpikir anak-anak, mengajari mereka mendengar [dengan baik], membantu membangun rasa ingin tahu, mengembangkan imajinasi, dan meningkatkan rasa percaya diri mereka.”

Namun tidak semua menyambut baik Teletubbies. Profesor psikiatri dari Harvard Medical School, Alvin Poussaint, mengkritik keras klaim-klaim edukatif dari tayangan ini. “Tidak ada sama sekali bukti penelitian bahwa Teletubbies punya nilai edukatif apa pun!” tulisnya.

Fakta bahwa banyak anak terpesona dan suka pada program ini tidak membuktikan bahwa Teletubbies memang bagus atau ada nilai edukatif di dalamnya. “Anak-anak juga suka permen, bukan? Jadi, sebelum diadakan penelitian jangka panjang tentang dampak menonton TV pada bayi dan batita, kita harus mencegah orangtua mengekspos bayi-bayi ke TV,” kata Alvin.

Pendapat Alvin didukung oleh hasil studi-studi kemudian tentang dampak TV terhadap anak. Klaim PBS tentang manfaat tayangan edukatif bagi bayi dan balita itu sangat ironis, sebab ternyata kemampuan berpikir, mendengar, rasa ingin tahu, imajinasi, dan rasa percaya diri itulah yang justru didapati bakal menurun akibat terlalu banyak menonton TV.

Kasus Sesame Street

Fenomena tayangan anak lainnya adalah Sesame Street. Tidak sedikit orangtua Amerika yang sengaja atau malah mewajibkan anak mereka menonton program ini. Anak-anak mereka jadi tahu angka, tahu huruf, menirukan kata-kata karakter-karakter Sesame Street, adalah “bukti-bukti” yang membuat orangtua yakin bahwa ada konten edukatif di dalamnya. Apalagi tahun 1970-1971, Education Testing Service (ETS) merilis hasil penelitian tentang manfaat menonton Sesame Street, makin bersemangatlah para orangtua mengekspos anak pada tayangan ini.

Akan tetapi lima tahun kemudian klaim manfaat Sesame Street itu dibantah oleh penelitian Russell Sage Foundation yang lebih komprehensif. Ditemukan ada bias penelitian yang membuat simpulan tidak objektif mengenai manfaat Sesame Streetbagi para penonton kecilnya.

Ketika membandingkan kelompok-kelompok anak yang menonton Sesame Street, ternyata program ini tidak terlihat memberikan manfaat nyata apa pun dalam hal keterampilan berbahasa, berhitung, atau berpikir.

Kalau sampai orangtua beranggapan tayangan ini bermanfaat, ada beberapa alasan penyebabnya:

  • Orangtua terlalu mudah terkesan pada kemajuan perkembangan anak, sehingga sedikit saja informasi yang anak serap dari suatu tayangan akan membuat mereka menilai tayangan itu bagus.
  • Orangtua tidak sadar bahwa kemajuan anak itu juga terjadi akibat pengaruh dari lingkungannya.
  • Orangtua terburu-buru menyimpulkan (dengan keliru) bahwa sedikit pengenalan angka dan huruf yang anak peroleh dair Sesame Street berarti dalam jangka panjang anak akan jadi lebih cerdas.
  • Orangtua terpengaruh oleh testimoni para orangtua lain tentang manfaat menonton tayangan edukatif.

Dorothy Cohen, seorang profesor pendidikan, ikut angkat suara, “Betul bahwa sebagian anak sekarang masuk ke playgroup atau TK sudah kenal angka atau huruf gara-gara Sesame Street, tapi kami para guru senior ini justru mendapati menurunnya kemampuan bermain secara imajinatif dan meningkatnya perilaku agresif, ketidakmampuan berkonsentrasi. Anak-anak lebih cepat frustrasi, kurang tekun, dan bingung membedakan antara realitas dan fantasi.”

Pakar pendidikan lain, Dorothy dan Jerome Singer dari Yale University, mengkritik ritme tayangan Sesame Street yang sangat cepat. Per sekian detik, gambar-gambar berganti. Ini menyebabkan rentang perhatian anak menjadi makin pendek, kata mereka. Anak pun makin kurang mampu berpikir reflektif dan hidup dalam realitas sesungguhnya.

Tidak Terbukti Bermanfaat

Sejumlah studi lain menyingkapkan, anak-anak sebetulnya tidak menangkap banyak dari konten edukatif suatu program. Sebab, walau tampak menonton suatu tayangan dengan penuh perhatian, mereka tak benar-benar paham apa isinya.

Dari suatu eksperimen, terbukti anak tidak bisa menirukan dengan baik petunjuk menyusun blok mainan dalam film yang diputar.

Eksperimen lain – menayangkan video dongeng berdurasi 20 menit, lalu menguji tingkat pemahaman anak-anak sesudahnya – mendapati, rupanya “anak-anak pra sekolah tak mampu mengingat dengan jelas apa yang baru saja mereka tonton, juga tak bisa menafsirkan dengan tepat mengapa tokoh-tokohnya berperilaku tertentu dalam video itu.”

Kemampuan untuk mencerna konten memang meningkat seiring bertambahnya umur anak, namun anak-anak SD tingkat akhir pun hanya bisa mengingat sedikit dari apa yang pernah mereka tonton.

Sungguh mengherankan memang. Mengapa anak-anak begitu asyik, bahkan kecanduan menonton layar kaca, kalau sebetulnya mereka tidak terlalu paham isinya? Jika konten edukatif dari suatu tayangan tidak benar-benar bisa terserap, lantas kegiatan mental apa yang sebenarnya terjadi di otak anak sementara mereka menghabiskan ribuan jam setahun untuk menonton itu? (Bersambung)

 

Serial resensi The Plug-In Drug:
1. Narkotika Bernama Televisi
2. Hipnotis Layar Kaca
3. Mitos Tentang Tayangan “Ramah Anak”
4. Dampak Tayangan “Edukatif” Bagi Bayi-Balita
5. Apa yang Dirampas TV dari Anak-Anak Kita?
6. Generasi Layar Kaca yang Makin Enggan Membaca

Facebook Comments

Article by Ellen K

Ellen Kristi. Ibu tiga anak homeschooler, praktisi metode CM dan penulis buku "Cinta Yang Berpikir", berdomisili di Semarang. Dapat dihubungi lewat ellenkristi@gmail.com

Previous StoryPlug-In Drug #3: Mitos tentang Tayangan “Ramah Anak”
Next StoryHomeschooling, Apa Saya Bisa? Mulai dari Mana?

Related Articles

  • Novel "Heidi" karya Johanna Spyri.
    Heidi Menjawab Pertanyaan Azka tentang Tuhan
    View Details
  • Charlotte's Web karya EB White.
    Charlotte’s Web, Laba-laba, dan Anak Ikan
    View Details

no replies

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • DIBUKA: Pelatihan “Habit of Attention” Angkatan #5 March 15, 2023
  • DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #5 February 12, 2023
  • DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #13 January 25, 2023
  • DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #4 January 24, 2023
  • DIBUKA: Kelas Cinta yang Berpikir Angkatan #1 & #2 December 9, 2022
  • DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #3 December 9, 2022
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #11 December 5, 2022
  • DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #2 November 20, 2022
  • DIBUKA: Pelatihan “Habit of Attention” Angkatan #4 November 20, 2022
  • DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #1 October 22, 2022

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • DIBUKA: Pelatihan “Habit of Attention” Angkatan #5 196 views | 0 comments | by admin | posted on March 15, 2023
  • Rekomendasi Buku Lokal dan Terjemahan Selain AO 39 views | 0 comments | by admin | posted on November 8, 2021
  • Pengantar Rekomendasi “Living Books” Tim Kurikulum CMid 38 views | 0 comments | by admin | posted on November 10, 2021
  • Rekomendasi Buku Terjemahan AO 32 views | 0 comments | by admin | posted on November 9, 2021
  • 10 Ciri Pribadi Kekanak-kanakan dan Solusinya 26 views | 0 comments | by admin | posted on September 16, 2017

KOMENTAR TERKINI

  • Wijayanti on DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #5
  • Indrawati Widjanarko on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #13
  • Wijayanti on DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #4
  • Maria Apriliyani on DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #3
  • Christine on DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #2
  • Lailatun Nuriyah on DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #2

Visitors

Today: 263

Yesterday: 302

This Week: 11944

This Month: 50002

Total: 607027

Currently Online: 44

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.