Makin rajin menonton, makin malas membaca. Itulah fakta tentang anak-anak pasca keberadaan TV: mereka membaca lebih sedikit buku dibanding sebelumnya. Kalau sedang merasa jenuh atau “tak punya kerjaan”, TV (atau gadget) jadi pilihan pertama, buku menjadi opsi terakhir atau tidak sama sekali.
Marie Winn mengumpulkan berbagai fakta itu dalam bukunya, The Plug-In Drugs. Survei Departemen Pendidikan California, misalnya, mendapati hampir 70% dari 233,000 siswa kelas 6 SD yang diteliti oleh Departemen Pendidikan California jarang membaca sebagai hobi, tapi biasa menonton TV empat jam atau lebih sehari.
Survei lain terhadap 500 siswa kelas 4 dan 5 SD menyingkapkan bahwa semua anak (100%!) lebih suka menonton dibanding membaca buku, apa pun jenis bacaannya. Ada juga riset yang mendapati sepertiga siswa sekolah tidak pernah membaca di waktu senggang mereka dan sepertiga siswa SMP-SMA membaca kurang dari lima halaman sehari – itu pun semata untuk kepentingan sekolah atau mengerjakan PR. Mengapa bisa begitu?
Membaca vs. Menonton
Seorang siswi berusia 12 tahun menjawab, “TV itu nggak mbosenin dan kita nggak harus mikir, tinggal nonton aja. Membaca itu butuh mikir, dan itu nggak asyik. Kalau bukunya bagus sih bisa asyik juga, cuma mana kita tahu sebelumnya buku itu bagus atau tidak? Eh, tapi walaupun bukunya bagus, aku tetap lebih suka nonton TV.”
Anak ini tidak salah. Otak perlu ‘mikir’ supaya bisa mengubah simbol-simbol abstrak alfabet dan tanda baca menjadi bunyi, lalu mengubah lagi bunyi itu menjadi kata, kalimat, alinea, dan seterusnya. Saat membaca otak perlu ‘mikir’, memunculkan imaji-imaji mental bagi setiap kata agar kata-kata itu menjadi bermakna. Tanpa kemampuan memvisualisasikan kata-kata menjadi imaji mental, bacaan hanya sekedar kumpulan bunyi tanpa arti. Anak mungkin bisa menyuarakan bunyi kalimatnya, tapi tak paham maksudnya.
Sama-sama berurusan dengan imaji-imaji mental, namun jelas sekali bahwa antara membaca dan menonton berbeda jauh prosesnya. Membaca menuntut kita menciptakan sendiri imaji-imaji mental itu sejauh rentang pengalaman dan imajinasi kita. Seolah benak kita memutar film buatannya sendiri tentang bacaan itu. Tayangan TV tak butuh penafsiran simbolik yang sekompleks membaca.
Benak anak tak perlu memecahkan kode dan menciptakan imaji sendiri karena TV sudah menyediakannya. Hasilnya, menonton TV lebih memikat ketimbang membaca. Namun, di sisi lain, minimnya upaya yang perlu dikerahkan otak justru menjadikan kenikmatan menonton TV tak akan sememuaskan kenikmatan membaca. (Biasanya kita merasa kecewa ketika suatu novel diangkat jadi film karena menganggap versi tulisnya lebih kaya, bukan?)
Saat membaca, benak anaklah sang pengendali. Ia bebas membayangkan tokoh-tokoh dari bukunya semau dia. Ia juga bisa mengontrol seberapa cepat atau lambat ia hendak membaca. Kalau ada yang tak ia pahami, ia mungkin berhenti lalu membaca ulang. Kalau ada yang menggugah emosi, ia bisa mengambil jeda untuk menyerap perasaan itu sepenuhnya.
Tapi TV? Kesan imaji TV sangat dominan. Sekali kita melihat bagaimana suatu tokoh digambarkan, dia akan tetap seperti itu selamanya. Khayalan yang kita ciptakan saat membaca (sebelum menonton versi filmnya) tergusur. Benak juga tak bisa mengendalikan laju tayangan, dipaksa terus mengikutinya entah sudah paham atau belum.
Orang cenderung lebih sulit berhenti menonton TV ketimbang berhenti membaca – ada efek hipnotis yang lebih besar di situ, juga rasa kehilangan apabila kita tak bisa memutar ulang tayangan. Sementara buku selalu bisa dibaca ulang kapan pun kita mau. Anaklah yang mengendalikan buku, sedangkan TV mengendalikan anak.
Generasi Pasca TV
Ketika dibiasakan menonton TV sebelum mahir membaca, kemampuan seorang anak untuk memvisualisasi konsep dan simbol-simbol abstrak sedikit banyak akan berkurang. Inilah yang dikeluhkan para guru.
Generasi anak-anak penonton TV kesulitan memahami cerita jika tak ada gambar-gambar yang disediakan. Perhatian mereka mudah goyah. Konsentrasi mereka pecah dan pikiran mereka pun melayang ke sana kemari. “Padahal sebelum adanya TV, anak-anak sepertinya tak pernah kesulitan untuk memvisualisasi cerita,” tutur seorang guru veteran.
Bukan cuma melemahkan minat dan keterampilan membaca, cara membaca dan jenis buku yang disukai oleh anak-anak generasi TV pun berubah. Para spesialis membaca menamai mereka “pembaca yang malas” (lazy readers). Anak-anak ini lancar membaca namun tak terlalu peduli untuk memahami sepenuhnya bacaan itu. Tingkat keterlibatan emosi dan konsentrasi membaca mereka rendah.
Selera generasi pasca TV kini bergeser pada buku-buku instan. Jenis buku masa lampau yang tebal, dengan cerita atau argumen utuh-kompleks, yang musti dibaca dari awal sampai akhir, tak mereka sukai. Mereka lebih suka bacaan yang isinya sepotong ini sepotong itu, informasinya bisa dibaca sekilas pindai dengan cepat, tak terlalu menuntut konsentrasi, menghibur, dan memuat ilustrasi cerah warna-warni. Makin lama generasi ini makin tak tahu nikmatnya membaca buku ‘sungguhan’.
Jam Menonton Naik, Prestasi Akademis Turun
Bagi Marie Winn: membaca adalah faktor yang paling penting dalam pendidikan. Lewat membaca benak anak dilatih berkonsentrasi, mengembangkan daya imajinasi dan visualisasi mental, mengasah keterampilan berpikir verbal, sehingga melahirkan pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu ide, meletakkan fondasi bagi keterampilan intelektual lebih lanjut.
Bukti-bukti makin menumpuk bahwa makin banyak anak menonton TV, makin buruk prestasi akademis mereka. Anak-anak yang diizinkan menonton TV berjam-jam sehari di usia prasekolah memperoleh skor lebih rendah dalam tes membaca dan bahasa di akhir kelas 1 SD dibandingkan anak-anak yang sedikit saja menonton TV sebelum masuk SD.
Di tingkat SMP, anak-anak SMP yang jarang menonton TV lebih tinggi skor tes membacanya dibanding yang hobi menonton, meskipun IQ mereka sama-sama tinggi.
Survei terhadap ratusan ribu siswa SMA menunjukkan bahwa TV tetap berpengaruh negatif pada prestasi sekolah, lepas dari perbedaan tingkat inteligensi siswa, status ekonomi keluarga, atau kualitas sistem pendidikan sekolah. (Survei terbaru menunjukkan pengaruh negatif itu bukan melulu dari TV, tapi juga video, video games, dan kegiatan berbasis layar lainnya.)
Masih perlukah orangtua menyelamatkan minat baca anak? Cukup berhargakah belajar mengatakan ‘tidak!’ kepada TV demi memupuk kecintaan anak pada buku-buku? Data sudah banyak tersedia. Keputusan ada di tangan ayah-bunda. (Bersambung)
Serial resensi The Plug-In Drug:
1. Narkotika Bernama Televisi
2. Hipnotis Layar Kaca
3. Mitos Tentang Tayangan “Ramah Anak”
4. Dampak Tayangan “Edukatif” Bagi Bayi-Balita
5. Apa yang Dirampas TV dari Anak-Anak Kita?
6. Generasi Layar Kaca yang Makin Enggan Membaca
no replies