Kekuatiran terbesar orangtua, pemerintah, dan badan sensor adalah soal pengaruh konten tayangan televisi pada perilaku anak. Kekerasan menjadi isu besar di sini, karena hampir semua orang yakin bahwa menonton kekerasan di layar kaca akan menularkan perilaku kekerasan dalam kehidupan nyata.
Itu sebabnya, semua stasiun televisi diatur ketat, hanya boleh menayangkan program-program bernuansa kekerasan di jam-jam ketika anak (diperkirakan) sudah tidur – biasanya menjelang tengah malam. Sementara, di jam-jam ketika anak biasanya masih melek, yang mustinya ditayangkan adalah program-program ‘ramah anak’.
Namun benarkah opini awam ini: bahwa makin banyak menonton program bernuansa kekerasan akan berbanding lurus dengan perilaku kekerasan anak di dunia nyata? Dan benarkah ada tayangan yang “ramah anak”? Marie Winn membantah “mitos” itu dalam bukunya, The Plug-In Drug.
Menonton Apa Saja
Sejak medio 1990-an sampai saat ia menulis bukunya The Plug-In Drug tercatat lebih dari 1000 penelitian yang mengkaji dampak menonton televisi. Tidak pernah, tegas Winn, tidak pernah ada yang bisa membuktikan bahwa ada hubungan sebab akibat secara langsung antara pengalaman menonton tayangan berisi kekerasan dengan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat.
Menonton Crime Stories atau Miami Vice tidak serta merta kelak menjadikan anak seorang kriminal. Dan meskipun sebagian besar anak Amerika terekspos pada program-program kekerasan seperti itu, hanya sejumlah kecil saja yang betul-betul akhirnya terlibat kejahatan serius.
Lantas, apakah berarti menonton program kekerasan tidak berbahaya? Bukan itu poinnya, sergah Winn. Secara nyata memang ada korelasi antara pengalaman menonton TV dengan meningkatnya perilaku agresif – tapi faktornya bukan terutama soal konten, melainkan intensitas.
Berbagai studi menunjukkan, semakin lama anak menonton TV setiap hari, semakin meningkat perilaku agresifnya entah apa pun konten dari program yang ia tonton. Misalnya, penelitian Victor Cline (1970).
Dalam studi ini, peneliti membandingkan respon dari dua grup anak lelaki. Satu grup jarang atau sama sekali tidak menonton TV dalam dua tahun terakhir, sementara grup yang lain menonton sekitar 42 jam seminggu dalam jangka waktu yang sama.
Hasilnya, grup yang kedua didapati secara signifikan lebih tidak terusik oleh fenomena kekerasan dibandingkan grup yang pertama. Cline sendiri memakai data ini untuk menyimpulkan bahwa tontonan kekerasan akan menumpulkan kepekaan emosional anak.
Namun bagi Winn, studi ini harus dimaknai secara berbeda: menonton TV 42 jam seminggu alias 6 jam sehari bisa membuat mental anak kehilangan arah, sulit membedakan antara realitas dan yang bukan realitas. Biarpun program-program yang ia tonton ‘ramah anak’ dan tak mengandung kekerasan, efek penumpulan emosionalnya bisa tetap sama.
Studi lain dari Stanford University juga memperoleh data serupa. Para peneliti mengambil sampel 192 anak SD kelas 3 dan 4 yang kurang lebih karakteristiknya serupa dari dua sekolah.
Pada titik awal, mereka mengamati setiap anak dan mewawancarai orangtua dan teman-teman si anak, lalu memberi skor “seberapa agresif” dia. Lalu peneliti meminta sekolah yang pertama untuk menerapkan program menarik yang bisa memotivasi anak-anak mengurangi jam menonton TV atau video dan bermain video games. Jadi, anak-anak di sekolah pertama mengurangi konsumsi TV dan video games sampai sepertiga dari porsi sebelumnya. Sementara, di sekolah kedua, anak-anak dibiarkan mengkonsumsi TV dan video games seperti biasa.
Hasilnya: enam bulan kemudian saat diukur kembali, anak-anak yang mengurangi jam menonton TV dan bermain video games menjadi kurang agresif, sementara di sekolah satunya, tingkat agresivitas anak-anak tetap seperti semula.
Rasa Aman Palsu
Mengapa mengurangi jam menonton TV dan bermain video games dalam enam bulan bisa menurunkan tingkat agresivitas anak? Ada dua kemungkinan, menurut Winn.
Pertama, ketika anak lebih jarang menonton TV dan bermain games, dia akan lebih banyak bermain secara fisik – dan menurut berbagai penelitian lain, penambahan jam bermain ‘sungguhan’ memang bisa menurunkan perilaku agresif.
Kedua, berkurangnya jam untuk TV dan video games pasti ada pengaruhnya terhadap pola relasi antara orangtua dan anak di rumah. Barangkali orangtua menjadi lebih banyak bersama-sama dengan anak.
Winn berharap para orangtua berhati-hati dengan memitoskan konten sebagai penyebab perilaku. Nalar gampangnya begini saja: jika konten kekerasan memicu anak berperilaku agresif, berarti konten kebaikan memicu anak berperilaku baik. Kalau begitu, suruh saja anak-anak menonton sebanyak-banyaknya tentang orang-orang kudus supaya mereka juga menjadi orang kudus!
Mempercayai mitos ini bisa membuat kita terlena dalam rasa aman palsu (“Tidak apa-apa dia menonton TV sepuasnya, asal tayangannya ramah anak dan edukatif, bukan tayangan yang mengandung kekerasan …”).
Dalam skala besar, mitos ini menyesatkan arah perjuangan publik dan upaya pemerintah. Kita akan lebih sibuk menyensor konten tayangan, membuat undang-undang tentang alokasi jam tayang, memasang alat penyaring program di TV, memproduksi lebih banyak tayangan ramah anak, dan seterusnya – padahal bukan itu problem yang sejati.
Berupaya memagari konten tayangan yang boleh ditonton anak memang lebih mudah ketimbang mencari solusi untuk mengurangi jam anak menonton tayangan (apa pun!), termasuk untuk meniadakan TV sama sekali ketika usia anak masih sangat muda. Berapa banyak orangtua yang siap menghadapi prospek menjalani kehidupan tanpa/minim TV di rumah mereka? (Bersambung)
Serial resensi The Plug-In Drug:
1. Narkotika Bernama Televisi
2. Hipnotis Layar Kaca
3. Mitos Tentang Tayangan “Ramah Anak”
4. Dampak Tayangan “Edukatif” Bagi Bayi-Balita
5. Apa yang Dirampas TV dari Anak-Anak Kita?
6. Generasi Layar Kaca yang Makin Enggan Membaca
no replies