“Andaikata tidak ada TV, apa yang menurut Anda akan dilakukan anak-anak?” Pertanyaan ini pernah diajukan kepada sejumlah besar ibu dari anak-anak kelas 1 SD dalam suatu survei tentang pengaruh TV terhadap perilaku sosial. Dan hampir 90% responden menjawab: bermain.
Apa yang lebih membahagiakan dan menyehatkan anak-anak ketimbang bermain? Secara alamiah, bisnis utama seorang anak pada tahun-tahun pertama kehidupannya adalah bermain. Demikian tulis Marie Winn dalam bukunya, The Plug-In Drug, yang membahas dampak “budaya” menonton TV bagi anak-anak.
Bermain Itu Penting
Lewat berbagai permainan, anak mengembangkan dirinya secara sosial, emosional, dan intelektual. Dalam hal ini tidak ada batas antara bermain dan belajar. Lewat bermainlah ia belajar.
Penelitian terhadap berbagai spesies binatang memberi indikasi bahwa kegiatan bermain merupakan tahap penting bagi suatu makhluk muda agar kelak bisa bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan komunitas dan dunia di luar dirinya.
Bayi-bayi memulai kegiatan bermain mereka dengan menjelajahi serta memanipulasi benda-benda. Dari sini mereka mulai merumuskan konsep tentang ‘aku’ dan ‘liyan’ (yang lain) sekaligus mengenali lingkungan sekeliling. Lewat berbagai eksperimen jasmani, mereka belajar menggunakan anggota-anggota tubuh mereka secara efektif. Misalnya lewat meraih suatu mainan, ia mengasah koordinasi tangan-mata, suatu keterampilan yang penting baginya dalam melanjutkan hidup.
Jenis permainan lain yang akan anak kerjakan sejak dini adalah meniru. Ibunya bertepuk tangan, dan dia dengan senang hati ikut bertepuk tangan. Ibunya mengucapkan kata-kata, dan dia mengoceh sampai akhirnya bisa menirukan kata-kata itu. Dengan meniru, bayi belajar berkomunikasi dan secara intelek dia mulai bertransisi dari sekedar penerima pasif menjadi partisipan aktif.
Seiring bertambahnya usia, permainan imajinatif pun berkembang. Dari sekedar ci-luk-ba sampai ibu-ibuan, polisi-penjahat, dan drama-drama khayalan lainnya. Dari yang dikerjakan sendirian sampai yang dimainkan beramai-ramai. Apa saja yang bisa mereka pelajari? Banyak sekali! Mereka belajar mengembangkan daya khayal dan kreativitas, menyusun strategi, bernegosiasi, mempengaruhi orang lain, mengelola emosi, berbagi, bekerjasama, bersikap etis, dst.
Bahayanya Kurang Bermain
Psikolog Harry Harlow pernah mengadakan eksperimen dampak kurangnya kegiatan bermain bersama-sama pada bayi-bayi monyet. Setelah dikurung selama delapan bulan tanpa sekalipun kesempatan bermain dengan sesama monyet, ternyata monyet-monyet muda ini menjadi jauh lebih agresif dibanding monyet-monyet muda lainnya yang hidup normal. Mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial masyarakat monyet, tidak punya rasa takut pada ‘norma sosial’ dan sulit mengendalikan diri dalam interaksi dengan monyet-monyet lain.
Antropolog Edward Norbeck menambahi bahwa bermain itu penting bukan sekedar sebagai sarana belajar bagi anak, tetapi juga landasan bagi hidup dewasa yang bahagia. Kita sering dengar komentar “Masa kecil kurang bahagia!” tentang orang-orang dewasa yang bersikap kekanak-kanakan. Itu bisa dianggap sebagai lelucon yang mengandung kebenaran. Anak yang kurang cukup bermain semasa kecilnya bisa menjadi orang dewasa berkepribadian labil atau membosankan di kemudian hari.
Kehadiran televisi merampas waktu bermain banyak anak dalam porsi yang signifikan. Dan apa dampaknya ketika kegiatan bermain digantikan oleh menonton TV? Ketika anak menghabiskan waktu berjam-jam di hadapan layar kaca, melongo tersihir dalam isolasi, dan terputus dari interaksi nyata dengan manusia atau kegiatan jasmaniah yang nyata – dampak apa saja yang akan ia tuai?
Kembalikan Anak ke Kodrat Bermain
Tahun 1970-an awal, Marie Winn mewawancarai banyak guru veteran yang telah berdekade-dekade mengajar di taman kanak-kanak. Mereka menjadi saksi hidup perbedaan antara generasi sebelum TV dan generasi sesudah TV. Beberapa hal yang mereka keluhkan tentang generasi penonton TV adalah:
- Cara bermain anak-anak sekarang tidak seimajinatif anak-anak dulu
- Anak-anak sekarang lebih mudah bosan/kehilangan minat
- Daya konsentrasi dan kreativitas anak menurun
- Anak-anak sekarang lebih pasif, menunggu untuk didorong-dorong, atau disuruh dibanding berinisiatif menjelajah dan mencoba sendiri
- Sekarang unsur hiburan menjadi sangat penting agar anak-anak mau memperhatikan materi pelajaran
Di sini, kita perlu menyimak suatu catatan penting yang lain: bahwa segala perubahan dan dampak tak menyenangkan ini didapati bisa diputarbalikkan dengan cara meniadakan TV dari kehidupan awal anak-anak kita.
Suatu studi psikiatris menyimpulkan, “Kami curiga, TV menghambat kapasitas imajinatif anak sebab berkurangnya waktu untuk kegiatan bermain spontan. Riset menunjukkan bahwa anak-anak yang berhenti menonton TV akan kembali bermain dengan cara-cara yang jelas-jelas melibatkan imajinasi. Jika dibiarkan kembali menonton, anak-anak juga akan kembali mengurangi kegiatan bermain imajinatif itu.”
Anak-anak kita mungkin tidak sadar bahwa banyak yang dirampas dari mereka oleh jam-jam di hadapan layar kaca itu. Kita orangtualah yang musti sadar terlebih dulu dan mencegahnya. (Bersambung)
Serial resensi The Plug-In Drug:
1. Narkotika Bernama Televisi
2. Hipnotis Layar Kaca
3. Mitos Tentang Tayangan “Ramah Anak”
4. Dampak Tayangan “Edukatif” Bagi Bayi-Balita
5. Apa yang Dirampas TV dari Anak-Anak Kita?
6. Generasi Layar Kaca yang Makin Enggan Membaca
no replies