Dari dulu anak saya Azka (7 tahun) punya pertanyaan tentang Tuhan yang mengganggu pikirannya. “Kok doa Azka nggak dikabulkan Allah? Kapan doa Azka dikabulkan?” atau “Allah sayang nggak sih sama Azka? Kalau sayang kok Azka minta nggak dikasih-kasih?” kerap dia lontarkan.
Saya sudah berusaha menjawabnya, bahwa Allah akan menjawab pada waktu yang tepat. Saya menjawab seperti itu berkali-kali, tapi Azka masih belum puas.
“Waktu yang tepat itu maksudnya apa? Kok harus waktu yang tepat?” tanyanya lagi. Tampaknya, frase “waktu yang tepat” masih abstrak baginya.
Namun, situasi berubah sejak Azka membaca “Heidi” karya Johanna Spyri, pengarang asal Swiss. Kami membaca novel anak yang termasuk living book rekomendasi para praktisi CM ini dalam versi terjemahan Djokolelono. Buku kami terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 1995, tebalnya 303 halaman.
Setelah mendengarkan kisah Heidi, seketika Azka paham maksud jawaban saya selama ini. Barulah ia mendapat jawaban utuh atas pertanyaannya tentang “waktu yang tepat” itu.
Novel ini kami tamatkan bulan April 2020 lalu. Namun, bahkan sebelum novel ini tamat dia baca, Azka sudah tidak pernah protes lagi ke Tuhan kalau doanya tidak langsung terkabul.
***
Novel klasik “Heidi” bercerita tentang seorang anak perempuan yatim piatu yang dirawat oleh adik ibunya yang bernama Dete.
Suatu hari, Dete sang bibi mendapat pekerjaan baru yang tidak memungkinkannya membawa serta Heidi. Si kecil Heidi lalu dititipkan pada kakeknya, yakni ayah dari ayah Heidi. Sang kakek tinggal di pegunungan Alm, mengucilkan diri dari masyarakat yang tinggal di kaki pegunungan.
Hampir semua orang kasihan karena mengira Heidi akan menderita kalau tinggal bersama kakeknya. Bukan hanya pemarah dan pemurung, kakek Heidi juga dinilai orang sekitar sebagai manusia yang tidak beriman karena tak pernah ke gereja. Kakek Heidi memang punya sakit hati pada Tuhan, sehingga dia tak mau ke gereja lagi.
Ternyata, Heidi bahagia. Pemandangan di Alm sungguh indah. Udaranya segar, sinar mataharinya hangat, penuh bunyi-bunyian merdu. Lagipula, sang kakek sungguh sayang pada Heidi.
Selama di Alm, Heidi bersahabat dengan Peter si penggembala kambing. Heidi kerap ikut Peter ke puncak gunung untuk menggembala kambing. Heidi juga kerap mengunjungi nenek Peter yang buta. Nenek Peter menjadi orang yang sangat Heidi sayangi selain kakeknya.
Ketika semua sudah merasa bahagia di Alm, tiba-tiba Bibi Dete kembali untuk membawa pergi Heidi. Bibi Dete ingin Heidi bekerja pada keluarga kaya di Frankfurt. Keluarga kaya itu punya anak perempuan bernama Clara.
Sejak kecil Clara sakit-sakitan. Dia nyaris tidak pernah keluar rumah, sehingga tak punya teman. Badannya begitu lemah, harus dibantu kursi roda untuk bergerak ke sana ke mari. Bibi Dete beranggapan Heidi cocok menjadi teman Clara.
Bibi Dete dan tetangga-tetangganya mengira Heidi pasti bahagia di tempat tinggal barunya. Akan tetapi, meskipun tinggal di rumah megah, tidur di kasur empuk, makan enak, segala kebutuhannya tercukupi, dan diperlakukan dengan baik oleh keluarga Clara, Heidi tetap tidak betah. Dia kangen pada kakeknya, pada pegunungan Alm, pada nenek Peter.
Heidi berdoa agar dapat segera pulang ke Alm. Dia menanti-nanti jawaban Tuhan, tapi doanya tak kunjung terkabul. Heidi kecewa. Ia berhenti berdoa. Ia tak mau lagi berdoa hingga suatu kali dia bertemu dengan Oma-nya Clara.
Oma memberinya pengertian, Tuhan tahu kapan waktu terbaik untuk menjawab doa kita. Dia mendorong Heidi kembali berdoa. Heidi menuruti saran Oma, berdoa dan menunggu. Heidi mengisi masa penantian itu dengan belajar membaca.
Lewat cara yang tak terpikirkan, akhirnya doa Heidi terkabul. Ia dapat kembali ke Alm. Luar biasa gembiranya hati Heidi saat menginjak lagi pegunungan dan bertemu kakeknya dan Peter!
Heidi bergegas mengunjungi nenek Peter. Karena sudah pandai membaca, maka Heidi mulai membacakan untuk Nenek syair-syair dari buku pujian milik beliau. Selama ini buku itu hanya tergeletak saja karena seluruh keluarga Peter buta huruf.
Melihat raut bahagia dari wajah nenek saat dibacakan syair-syair itu, Heidi juga merasa bahagia. Pada saat itulah Heidi terhenyak. Dia berpikir, “Kalau saja Tuhan mengabulkan doaku, memulangkan aku ke Alm saat aku belum bisa membaca, tentu aku tak bisa membacakan buku untuk Nenek seperti sekarang ini!”
Kebahagiaan Heidi bertambah ketika Clara, yang menyusul ke Alm, juga akhirnya menjadi sehat, bisa berjalan tanpa kursi roda. Heidi pun tersadar. Ternyata Tuhan menangguhkan doanya sampai “waktu yang tepat” untuk sesuatu yang membuat nenek, dia, dan semua bahagia.
***
Kegalauan atas pertanyaan “Kok doaku nggak dikabulkan?” tampaknya sepele. Kendati demikian, pada orang dewasa sekalipun, kegalauan ini kalau tak terjawab dapat meruntuhkan keyakinan pada Tuhan. Karena kecewa pada-Nya, seseorang lama-lama bisa jadi enggan berdoa, seperti kakek Heidi.
“Kalau doa Azka belum juga dikabulkan Allah, gimana?” Kini, kerap saya bertanya begitu ia selesai berdoa.
“Ya, nggak apa-apa. Berarti menurut Allah sekarang bukan waktu yang tepat. Kan Allah yang tahu kapan waktu yang tepat doa kita dikabulkan,” jawab Azka dengan lancar, ringan, dan mantap.
Aaaahh suka banget artikel ini, brb cari bukunya
Sangat menginspirasi.. makasih mom