Kita tak bisa menolak arus zaman yang makin maju dalam teknologi audio-visual. Mulai dari televisi, video games, komputer, lalu telepon pintar dan tablet, gawai demi gawai diciptakan untuk menghibur dan memudahkan kehidupan manusia. Makin mudah diakses, makin mudah digunakan, bahkan oleh anak-anak batita sekalipun.
Sejak TV ditemukan, durasi menonton tayangannya terus meningkat. Tahun 2012, Komisi Penyiaran Indonesia pernah merilis angka rata-rata anak menonton TV sekitar 4-5 jam sehari atau sekitar 1600 jam setahun. Angka jumlah jam yang dipakai orang Indonesia untuk menonton tayangan video secara online pun tergolong tertinggi sedunia.
Orangtua menanggapi fenomena ini secara beragam. Banyak kontroversi. Ada yang membiarkan, bahkan memfasilitasi anak-anak untuk mengakses berbagai piranti audio-visual ini. Ada yang membatasi, bahkan melarang sama sekali. Manakah pendekatan terbaik? Belum ada pedoman yang jelas karena penelitian jangka panjang masih terus dilakukan. Namun, setidaknya kita bisa coba menentukan sikap kita sendiri dari berbagai hasil riset yang sudah ada.
Berangkat dari Fakta
Faktanya, selama tahun-tahun pertama kehidupannya, otak anak sedang berkembang pesat. Masa balita disebut sebagai periode emas perkembangan kognitif dan bahasa. Periode emas berarti: apabila stimulasi tidak diberikan secara tepat pada periode ini, maka anak kehilangan kesempatan menjadi optimal di aspek-aspek tersebut.
Faktanya, kegiatan apa pun yang anak lakukan dalam dosis besar pasti berpengaruh pada susunan otaknya. Dahulu anak menghabiskan hari-harinya untuk main di alam, lari kejar-kejaran, petak umpet, mengobrol, dan berkegiatan tanpa gawai. Sekarang anak-anak ribuan jam setahun menonton TV dan memainkan gawai. Tentu saja konfigurasi otak anak masa lampau dan masa kini berbeda.
Dampak TV ke Akademis
Para peneliti relatif sepakat bahwa TV berdampak negatif pada kemampuan baca-tulis. Karena ada TV, anak-anak makin jarang membaca di waktu senggangnya. Ini otomatis menghambat peningkatan keterampilan membaca mereka.
Dibandingkan membaca, menonton cenderung membuat otak menjadi pasif. Anak-anak jadi tak terbiasa mengerahkan kekuatan mental. Nantinya di ruang kelas, kegigihan anak untuk memikirkan problem-problem intelektual juga menurun.
Riset mendapati, makin banyak jam menonton TV, makin turun prestasi akademis (korelasi negatif). Dampak ini tak pandang bulu latar belakang sosial atau skor IQ. Anak yang cerdas dari keluarga menengah atas pun akan mengalami dampak negatif ini jika ia menonton TV secara intens.
Bagaimana dengan video games?
Sebagian orangtua berargumen bahwa main games – daring (online) mapun luring (offline) – bermanfaat bagi anak. Mereka yakin video games bisa meningkatkan koordinasi mata dan tangan, kreativitas, dan keterampilan memecahkan masalah.
Oh ya, itu benar. Main video games memang membuat anak makin terampil dalam berbagai hal … soal video games! Hukum dasarnya: makin sering anak melakukan sesuatu, ia bakal makin terampil dalam hal itu. Kian sering membaca, kian terampil membaca. Kian sering menulis, kian terampil menulis. Begitu juga kian sering main video games, kian terampil main video games.
Pertanyaannya: betulkah yang kita harapkan adalah anak-anak yang ahli bermain video games? Karena didapati riset, keterampilan yang anak peroleh lewat bermain games ini tidak otomatis menular ke bidang-bidang lain. Anak yang jago membaca perintah dalam games, tidak otomatis jago membaca buku. Anak yang kreatif mencari cara naik level dalam games, tidak otomatis kreatif memecahkan masalah dalam hidup sehari-hari.
Ini disebut sebagai problem of transfer. Otak pada dasarnya mengalami kesulitan menerapkan keterampilan-keterampilan di satu area spesifik ke area problem yang lainnya. Setiap area khusus (membaca, menulis, berhitung, menari, olahraga, dll.) membutuhkan pelatihan khusus dan praktik spesifik yang tekun supaya anak menguasainya. Jejaring sel yang memproses masing-masing area berbeda. Terampil main video games tidak menjamin anak terampil di bidang lain.
Menurut riset, banyak main video games relatif tidak memberi nilai tambah untuk proses akademis di sekolah. Para pecandu video games ternyata kesulitan menghadapi tantangan saat berpindah dari “dunia virtual” yang bersifat mikro ke dunia nyata, termasuk ruang kelas, yang bersifat makro – yang lebih tak bisa ia kendalikan, lebih rumit, lebih “tidak menarik”.
Siasat di Balik Layar
Problem lain yang paling perlu diwaspadai dari TV dan video games tentu saja daya adiktifnya. Tayangan audio-visual, video-video itu mencandu, apalagi kalau sifatnya interaktif seperti video games. Anak bisa tak berhenti menonton atau memainkannya. Bukan karena mereka mau begitu, tapi mereka tak kuasa menolak godaannya. Otak manusia adalah mangsa empuk bagi beragam format tayangan visual yang bergerak cepat, warna-warni, dan bersuara.
Yang tak boleh lupa diingat adalah tayangan televisi dan berbagai games di gawai itu adalah produk dagangan atau alat berdagang. Ada banyak pihak yang menangguk keuntungan dari tayangan dan games populer. Pemodal, pelaku bisnis, dan pengiklan – makin sering anda dan anak-anak menonton TV atau memainkan games di gawai, mereka makin gembira.
Para pemain di balik layar ini mempelajari betul berbagai trik untuk membuat anda makin terpikat pada TV dan video games. Mereka berusaha menciptakan tayangan yang membuat anda tak bisa menoleh. Caranya adalah dengan memanipulasi otak primitif dan emosi penonton – misalnya: gambar yang mendekat dan menjauh mendadak, warna-warna mencolok, pergantian gambar yang cepat (coba amati, biasanya tak pernah lebih dari tiga detik per adegan), suara dan musik yang penuh kejutan. Semua manipulasi terencana ini “memaksa” kita memperhatikan.
Video games juga mencandu, daya sihirnya malah lebih hebat daripada TV. Kunci daya pikatnya ada pada glorifikasi pemain. Main games membuat anak merasa berkuasa dan menguasai dunianya. Para perancang permainan biasanya secara teliti menyusun level demi level permainan, kesulitannya dikalibrasi sedemikian rupa supaya pemain merasa penasaran. Hadiah-hadiah virtual diberikan untuk membombong ego si pemain. Dia dibuat ingin kembali lagi untuk naik level, lagi dan lagi, bermain terus. Mesin menjadi guru pribadinya.
Dibanding dunia nyata yang penuh ketidakpastian dalam relasi antar pribadi nan emosional, dunia games yang serba bisa dikendalikan bisa membuat anak merasa lebih nyaman. Ia bisa lebih memilih main games terus daripada menghadapi kesulitan riil dalam hidupnya. Games jadi tempat pelarian.
Otak Depan Terhambat
Saat menonton tayangan audio visual, otak depan anak boleh dibilang “menganggur”. Saat dipindai, otak anak yang sedang membaca tampak menyala di banyak area. Ini berbeda dengan kegiatan menonton yang mengaktifkan lebih sedikit area. Gelombang otak yang muncul pun berbeda. Menonton TV meningkatkan gelombang alfa yang pasif, sedang membaca meningkatkan gelombang beta. Daya perhatian pun menurun seiring intensitas menonton.
Bangunan koneksi antar syaraf di otak terjadi ketika ada kegiatan mental yang aktif. Ketika anak-anak membiasakan otak mereka untuk berjam-jam menonton secara pasif, itu dengan sendirinya melemahkan kekuatan mental mereka. Eksperimen membuktikan, anak-anak binatang yang dikurung dalam sangkar, lalu disuruh menonton teman-temannya bermain, pertumbuhan otaknya melambat – meskipun adegan-adegan yang mereka tonton sangat menarik.
Ketika tumbuh kembang otak depan terhambat, kita akan melihat gejalanya: anak tak mampu berkonsentrasi dalam jangka panjang untuk menyelesaikan tugas, anak bersikap impulsif alih-alih rasional, anak sulit mengendalikan emosi dan perilakunya sendiri. Karena banyak menonton mengurangi stimulasi ke belahan otak kiri dan koordinasi antar belahan otak, maka kita akan dapati anak-anak kesulitan membaca, mengeja, dan bernalar. Imajinasi kreatif anak, kemampuan reflektif, dan memadukan cara berpikir intuitif dan analitis – semua ini terhambat akibat terganggunya pematangan corpus callosum.
TV dan video games terus-menerus menstimulasi otak primitif dan emosi anak, tetapi memisahkan otak dari tubuhnya. Anak dibuat melotot ke layar, tapi tanpa aksi jasmani lain. Berbagai emosi dan impuls muncul tanpa tersalur. Akhirnya, pasca menonton atau main video games, kita dapati anak jadi mudah marah, heboh bergerak tapi tak ada tujuan yang jelas. Anak-anak pecandu TV dan video games mengalami “defisit sentuhan” – mereka tak lagi banyak menyentuh dan berelasi dengan material-material indrawi di sekeliling mereka. Bagi anak-anak, defisit pengalaman indrawi sangat merugikan bagi proses belajarnya.
Saran untuk Orangtua
Di dunia ini, semua hal pasti ada manfaatnya. Yang perlu orangtua pertimbangkan ialah: antara manfaat dan kerugian, mana yang lebih besar? Karena otak mengembangkan jejaring syaraf sesuai jenis kegiatan yang paling sering dilakukan, tentukanlah: “Inikah bidang keterampilan yang terbaik untuk anak kuasai?” setiap kali ia intens melakukan satu kegiatan.
Para ahli sendiri punya beberapa saran untuk kita orangtua:
Pertama, otak anak-anak yang masih muda ini butuh pengalaman yang kaya ragam. Buatlah cakrawala kehidupan mereka seluas-luasnya, jangan terlalu berlebihan membangun jalur-jalur syaraf otak hanya untuk satu area keterampilan yang spesifik. Biarkan anak bereksperimen dengan sebanyak mungkin tipe kegiatan. Batasi menonton dan main video games supaya anak punya kesempatan menjajal berbagai pengalaman baru.
Kedua, mengingat dampak negatif kebiasaan menonton pada perkembangan baca-tulis, Dr. Jerome Singer meyakini, yang paling baik adalah orangtua membatasi anak menonton TV sampai kebiasaan membaca dan menulisnya sudah mapan.
Ketiga, kalaupun anak menonton, bantulah agar otak depannya tidak tenggelam secara pasif. Temani anak, ajak berdiskusi tentang yang sedang ditonton.
Ini adalah ringkasan bab kesepuluh Endangered Minds karya klasik psikolog pendidikan Jane Healy yang oleh Ambleside Online disebut sebagai “buku yang wajib dibaca oleh setiap orangtua!”.
no replies