Mari renungkan asal-usul dan jatidiri makhluk-makhluk kecil yang dipercayakan ke dalam pengasuhan ayah-ibu manusia ini. Kertas kosong untuk ditulisi? Ranting untuk dibengkak-bengkokkan? Lilin untuk dicetak? Sangat bisa dianggap begitu; tapi seorang anak lebih daripada itu – sosok milik Dia yang berkedudukan jauh lebih tinggi daripada kita, bagaikan pangeran yang dititipkan ke dalam pengasuhan petani jelata. (Home Education, hlm. 11)
Saat masih SMA, saya suka memikirkan betapa singkatnya hidup manusia. Dalam Alkitab ada tertulis, batas usia manusia 70 tahun, atau 80 tahun jika kuat. Siklus manusia umumnya lahir, dewasa, menikah, memiliki anak, tua, lalu mati. Lalu setelah itu apa? Akan lenyapkah begitu saja? Bukankah sia-sia jika hidup yang begitu singkat tidak dipersembahkan pada Tuhan – dipergunakan untuk menaburkan kebaikan, membawa faedah bagi sesama?
Berangkat dari idealisme itu, saya bercita-cita menjadi biarawati pertapa, tidak menikah selamanya, mengisi hidup dengan doa. Namun sebelum mengucilkan diri dalam klausura, saya ingin lebih dulu bepergian ke banyak tempat, melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan bagi sesama. Jadilah saya mengisi masa kuliah dengan aktif melakukan kegiatan sosial. Pergi menjadi relawan di Madura, mendampingi para pemulung. Lepas kuliah berangkat ke Kalimantan, mengajar anak-anak di pedalaman. Kembali dari Kalimantan, jadi relawan lagi di Aceh.
***
Tapi ternyata sekarang saya ada di Malang sini! Berstatus stay-at-home-mom dengan dua anak, hampir seluruh waktu saya habiskan hanya untuk mengurus rumah tangga dan mendampingi anak-anak. Apakah saya menyesalinya? Ternyata tidak. Rancangan Sang Ilahi jauh lebih indah daripada yang saya rencanakan.
Menjadi ibu membuat saya kembali belajar di sekolah kehidupan, menggembleng saya dalam cara yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dulu saya berpikir menjadi ibu rumah tangga itu tidak heroik sama sekali. Tetapi kini setelah menjalaninya sendiri, pikiran saya pun terbuka. Menjadi ibu adalah profesi mulia yang memikul tanggungjawab besar.
Anak-anak ini bukanlah milik kita sendiri, mereka adalah titipan: titipan dari Tuhan dan titipan masyarakat, bangsa dan negara. Jika kita berhasil membesarkan mereka menjadi insan-insan kamil, mereka akan menjadi berkat, bukan hanya bagi orangtua tapi juga masyarakat di sekitarnya. Sebaliknya, gagal mendidik mereka akan membawa kepedihan, bukan hanya bagi orangtua tapi juga masyarakat. Bukan main-main tanggungjawab saya sebagai ibu, sebagai orangtua! Sanggupkah saya?
***
Ketika bersama suami memutuskan tidak menyekolahkan anak-anak (homeschooling), saya menyadari konsekuensinya. Saya harus memiliki komitmen untuk terus berproses bersama anak-anak mengejar pengetahuan. Namun setelah kemudian mengikuti metode Charlotte Mason (CM), saya disadarkan bahwa ternyata komitmen tadi belum cukup. Urusan saya bukan hanya soal memfasilitasi proses akademis anak. Saya juga dituntut untuk serius menjalani proses pendewasaan saya sendiri!
“Pendidikan adalah atmosfer” merupakan pilar pertama dalam pendidikan CM. Setiap hari anak-anak menghirup nilai-nilai, komitmen, prioritas yang saya pancarkan sebagai orangtua, seperti halnya mereka menghirup udara. Yang mereka lihat, yang mereka dengar, semua teladan saya akan menjadi inspirasi sebagai titik tolak dalam tumbuh kembang mereka.
Seringkali terjadi, tantangan tersulit bukanlah anak-anak, tapi diri kita sendiri. Diri saya yang sekarang ini terbentuk dari aneka pengalaman hidup. Sebagai pribadi, tentu saya tak lepas dari kekurangan, cacat cela, luka-luka batin yang ditorehkan oleh masa lalu. Dan masa lalu bukanlah sesuatu yang bisa diubah. Lalu bagaimana dengan semua kekurangan ini saya diharapkan untuk selalu menjadi inspirator bagi anak-anak?
Di hadapan tetangga, saya masih bisa menyembunyikan kebiasaan buruk saya. Namun mustahil terus menerus memakai topeng di hadapan anak-anak. Selalu akan ada saat-saat berbagai kelemahan diri saya terpampang di hadapan mereka. “Oh, betapa menakjubkan sekaligus menakutkan kehadiran seorang bocah cilik di tengah-tengah kita!” tulis CM.
Belum pernah dalam hidup, saya seserius ini menjalani proses pendewasaan diri seperti setelah saya memiliki anak. Agar bisa mengasuh mereka sebaik-baiknya, saya perlu sembuh dari luka-luka yang mengakar dalam batin. Alih-alih meratapi masa lalu, saya harus mengampuni dan berdamai dengannya. Alih-alih hanya menyesalinya, saya harus bangkit, mengembangkan apa yang positif dalam diri, terus belajar menjadi pribadi yang makin berkualitas dari hari ke hari. Dan dalam segenap proses ini, saya harus belajar berwelas asih pada diri sendiri.
***
“Ibu yang mau bersusah payah memberkati anaknya dengan kebiasaan-kebiasaan baik akan menjamin bagi dirinya sendiri hari-hari yang mulus dan menyenangkan; sementara ibu yang membiarkan kebiasaan-kebiasaan tumbuh liar akan memperoleh hari-hari melelahkan tanpa akhir dengan anak-anaknya. Sepanjang hari ia berteriak-teriak, “Lakukan ini!” dan mereka tidak melakukannya; “Lakukan itu!” dan mereka melakukan yang sebaliknya.” (Home Education, hlm. 136)
Pemikiran Charlotte Mason di atas saya baca pertama kali dari buku Cinta Yang Berpikir beberapa tahun lalu, kutipan yang begitu menyentuh hati saya. Di satu pihak saya merasa disapa secara pribadi oleh Charlotte. Di pihak lain, dia seperti mengingatkan kembali tugas dan tanggung jawab saya sebagai seorang ibu untuk konsisten dalam habit training. Saya tercerahkan sekaligus gentar!
Habit training bukan cuma berlaku bagi anak-anak. Saya pun perlu disiplin, terus menerus melatih diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, terus belajar menjadi ibu yang lebih baik. “Anak-anakku, sekolah kepribadianku.” Benarlah apa yang dikatakan Naomi Aldort, mendidik anak-anak berarti mendidik diri sendiri.
Sebagai orangtua yang jauh dari sempurna, saya dituntut untuk terus bertransformasi dari hari ke hari. Mengoptimalkan apa yang menjadi potensi diri dan terus memperbaiki kelemahan-kelemahan. Jatuh, bangun. Jatuh lagi? Ya bangun lagi! Biarlah anak-anak menghirup atmosfer kesungguhan ini sebagai inspirasi bagi kehidupannya.
***
Membuat hidup yang sekali ini jadi berguna, berbakti bagi Tuhan dan sesama, rupanya tak perlu selalu dengan jadi relawan ke berbagai pelosok Nusantara. Berada di rumah, membesarkan sebaik-baiknya anak-anak yang dititipkan kepada saya, ini pun suatu pengabdian luar biasa. Tak perlu mengejar bahagia ke mana-mana lagi. Bukankah tak ada kebahagiaan yang sebanding dengan keberhasilan membesarkan anak-anak yang terbukti menjadi berkat untuk dunia?
“Wahai para ayah dan ibu, inilah pekerjaanmu, dan hanya kalianlah yang dapat menunaikannya. Semuanya bergantung pada kalian, wahai orangtua dari kanak-kanak belia, untuk menjadi juruselamat-juruselamat masyarakat sampai seribu generasi ke depan. Tak ada hal lain yang lebih penting. Segala macam kesibukan yang untuknya orang-orang berjerih lelah ibarat permainan sepele dibandingkan dengan urusan serius yang satu ini: membesarkan anak-anak kita agar menjadi lebih baik daripada kita sendiri.” (Parents and Children, hlm. 3)
Maka kini jika ada orang bertanya, “Apa panggilan Tuhan bagi hidupmu?”, saya akan menjawab tanpa sedikit pun keraguan, “Panggilanku adalah menjadi seorang ibu.” Saya bersyukur: Tuhan yang Mahamurah telah berkenan menitipkan dua jiwa ke dalam tangan saya yang penuh cacat cela. Betapa baiknya Tuhan yang menganugerahkan putri dan pangeran kecil itu untuk membentuk diri petani jelata yang bernama “Maria” ini!
no replies