Jika anda adalah guru, bagaimana anda berharap bisa mendidik anak yang impulsif dan tidak respek pada anda? Ketika anda menyuruhnya mengerjakan tugas, ia menolak. Ketika anda menegurnya, ia balas memaki dengan kata-kata kasar. Ketika anda ingin mendisiplinnya, ia malah memukul sekuat tenaga sampai anda tersungkur.
Jika anda adalah guru honorer kesenian di Sampang bernama Ahmad Budi Cahyono, anda tidak akan sempat lagi mendidiknya. Hari Kamis (1/2) malam, Pak Guru Budi meninggal karena mati batang otak setelah kepalanya dihantam oleh HI, muridnya yang berusia 17 tahun. Bukan hanya sang istri yang tengah mengandung anak pertama mereka, dunia pendidikan se-Indonesia dibuat berduka karena kepergian Pak Guru Budi.
Dari kacamata filosofi Charlotte Mason, seorang pendidik ada dalam masalah besar jika siswa-siswanya tidak punya habit of obedience. Dalam relasi sosial mana pun, harus ada yang namanya otoritas di satu pihak dan ketaatan di pihak lain. Harus ada aturan-aturan yang dihormati bersama. Harus ada pihak-pihak penegak aturan yang diterima wewenangnya. Di kelas pun demikian. Jika murid masuk ke kelas dalam kondisi tidak mau diarahkan oleh guru, itu akan merugikan bagi semua pihak – ya dia sendiri, ya gurunya, juga teman-temannya. Tanpa habit of obedience, instruksi akan selalu menabrak tembok psikologis, proses belajar tak akan pernah berhasil.
Situasi makin berbahaya jika para siswa itu sangat impulsif, apalagi kalau badannya sudah besar-besar, jago silat pula. Anak yang impulsif tidak bisa berpikir panjang. Senggol bacok. Ukuran benar-salah buatnya adalah perasaannya, suka atau tidak suka, bukan moralitas atau hukum negara. Hantam dulu, urusan belakangan. Segala macam ceramah tentang kebaikan tak akan mengubah perilakunya, karena prefrontal cortex-nya tidak bekerja dengan baik. Yang terus aktif menyala adalah otak belakangnya yang emosional dan egois.
***
Mengapa anak menjadi impulsif? Bicara dari ilmu tentang otak, semua anak terlahir impulsif. Mana ada bayi atau batita yang tidak menangis kalau keinginannya tidak dituruti? “Pokoknya kemauanku harus dipenuhi! Sekarang!”. “Aku tidak suka kewajiban itu, jangan nyuruh-nyuruh terus dong!”. “Eh, berani mengganggu ya? Kupukul kamu biar tahu rasa!”. Seperti itulah cara kerja otak anak kecil, dan tetap akan seperti itu, sampai datang orang-orang dewasa yang bisa mengajarinya mengendalikan diri dan menjunjung moralitas.
Siapakah yang bertugas melatih anak-anak ini agar bisa terampil mengendalikan diri? Tentu saja pertama-tama: orangtua. “Ayah-ibu tidak bisa melarikan diri, mereka mau tidak mau harus menjadi inspirator bagi anak-anak” (Parents and Children, hlm. 36). Di keluargalah fondasi watak anak diletakkan.
Dari kacamata filosofi pendidikan Charlotte Mason, guru-guru di sekolah ada dalam masalah besar kalau orangtua tidak serius mengawal perkembangan karakter anak-anak mereka di rumah. Sekolah sebetulnya hanya menerima dampak lanjutan saja dari pendidikan keluarga. Kalau orangtua serius mengajarkan anak kebiasaan respek pada otoritas dan aturan (habit of obedience), kebiasaan serius memperhatikan (habit of attention), dan berbagai kebiasaan baik lainnya, tentu saja guru-guru di sekolah akan terberkati.
Sebaliknya, ketika orangtua terlalu sibuk sampai tidak punya waktu untuk mengawal pendidikan karakter anak-anak; atau ketika orangtua terlalu memanjakan anak dan selalu membelanya walaupun anak itu berbuat keliru – sehingga anak merasa dia adalah pusat dunia, boleh berbuat semaunya, tak pernah salah – maka, para guru pula yang merasakan akibatnya, dalam skala ringan sampai ekstrem.
***
Mengapa orangtua tidak mengawal perkembangan karakter anak-anak secara serius? Sebab mereka teryakinkan bahwa memang itu tak penting. Bukan hanya orangtua, semua orang dewasa di dunia sekarang ini dikondisikan untuk menganggap bahwa pengembangan karakter luhur bukan prioritas utama dalam hidup ini. Pemerintah, masyarakat, dan media massa tidak ada yang menganggap pendidikan karakter itu urusan serius!
Pemerintah sibuk mengejar indikator pertumbuhan ekonomi. Masyarakat “pra-sejahtera” sibuk membuat asap dapur tetap mengepul. Masyarakat menengah atas sibuk dengan pencitraan siapa lebih keren apanya di media sosial dan klub masing-masing. Media massa sibuk meningkatkan oplah atau jumlah klik untuk mengisi pundi-pundi perusahaan. Mengawal perkembangan karakter anak, memangnya menghasilkan uang? Kalau tidak menghasilkan uang, berarti tidak penting.
Etika yang kita junjung bersifat kapitalistik – urusan terpenting dalam kehidupan adalah bekerja keras mencari uang dan menghabiskan uang. Ukuran sukses kita bersifat materialistik: kekayaan, popularitas, kekuasaan, kesenangan indrawi. Dengan uang kita bisa membeli benda-benda yang kita senangi. Dengan uang kita bisa membeli teman. Dengan uang kita bisa membayar orang lain melayani kita. Dengan uang kita bahkan bisa membeli nyawa orang lain. Uang bisa membereskan segala masalah. Uang adalah segalanya.
Dan bagaimana dengan sekolah? Tentu saja terpengaruh. Di dunia kapitalistik, sekolah dituntut mengikuti selera pasar. Kata David Hicks dalam Norms and Nobility, saat ini sekolah harus mendengar maunya orangtua, bukan memberitahu orangtua ideal-ideal yang harusnya mereka kehendaki. Selera pasar berkuasa. Tak heran, sistem pendidikan secara umum bercorak utilitarian: tujuan bersekolah adalah agar anak bisa mendapat pekerjaan yang prestisius dan bergaji tinggi. Dalam pendidikan utilitarian, moralitas bukan prioritas.
Dari kacamata filosofi Charlotte Mason, guru ada dalam masalah besar jika seluruh sistem sosial bersifat materialistik dan sistem pendidikan bercorak utilitarian. “Baik guru maupun siswa akan menderita,” katanya, “apabila hakikat manusia sebagai makhluk spiritual diabaikan.”
Pendidikan utilitarian akan sangat kompetitif. Target-target capaian akademis dipatok tinggi-tinggi. Sekolah-sekolah menjadi “pabrik pengetahuan”. Para siswa dibuat sibuk selama bertahun-tahun dengan segala macam drilling untuk lulus dari berbagai ujian kompetensi, sebab tujuan tertinggi sekolah adalah memberi rasa aman pada orangtua dan pemerintah bahwa anak-anak ini siap terjun ke dunia kerja.
Ketika guru dikejar-kejar oleh target kurikulum dengan sedikit sekali ruang untuk bisa memodifikasinya (plus gaji yang tak memadai sehingga harus sibuk memikirkan tambahan penghasilan), sementara para siswa datang ke sekolah tanpa meminati pelajaran-pelajarannya (plus kondisi karakter amburadul karena tak dilatih di rumah) – bagaimana mungkin proses belajar bisa efektif? Semua pihak bakal stres dan frustrasi. Sekolah hanya bisa jadi tempat belajar yang menyenangkan ketika guru dan siswa menjadi sahabat seperjalanan dalam petualangan belajar.
***
Saya membaca postingan Setiawan Agung Wibowo di grup fb Ikatan Guru Indonesia, tak seberapa lama pasca wafatnya Pak Guru Budi. Saya sunting sedikit kisah nyata ini agar lebih nyaman dibaca:
Kepala Sekolah (Kepsek): Anda yakin mau ngajar di sini?
Pelamar: Yakin, Pak.
Kepsek: OK! Tapi siswa di sini begini … begini … (penjelasan panjang lebar)
Pelamar: Ya, Pak. Saya coba.
Kepsek: Baik. Nanti ke Tata Usaha untuk administrasinya.
– 3 bulan kemudian –
Guru Baru (GB): Saya nyerah, Pak.
Kepsek: Kenapa?
GB: Sudah, Pak. Saya nggak lanjut, Pak. Saya nggak dianggap manusia di kelas itu. Capek saya, Pak.
Kepsek: Tapi saya lihat anak-anak tidak masalah, masuk tiap hari?
GB: Masuk sih masuk, Pak. Tapi … stres saya, Pak. Tugas nggak pernah dikerjakan. Berantem terus. Saya dicuekin. Gitu terus.
Kepsek: Kan dulu sudah saya jelaskan kondisinya.
GB: Tapi saya tidak mengira kelasnya sebrutal itu.
Kepsek: Nggak mau mencoba lagi? Menghabiskan satu semester?
GB: Maaf, Pak. Cukup, Pak. Saya mau jualan cireng saja.
…
(Beberapa sekolah memang bukan buat guru yang biasa saja.)
***
Cerita di atas seolah-olah lucu, tapi sebetulnya memprihatinkan. Kalau betul itu mencerminkan isi hati kebanyakan guru, berarti memang bangsa ini punya masalah besar. Ketika orang-orang yang sebetulnya punya jiwa mengabdi akhirnya memilih jualan cireng daripada menjadi guru, masa depan apa yang kita harapkan? Guru adalah faktor kunci keberhasilan reformasi pendidikan. Kurikulum secanggih apa pun, fasilitas sekolah sebagus apa pun, tak akan mengubah banyak hasil pendidikan jika guru-gurunya tak terurus.
Saya yakin banyak guru yang sebetulnya percaya anak berperilaku sulit pun bisa berubah. Saya yakin banyak pula guru yang dengan senang hati mau membantu anak-anak sembuh dari perilaku sulit. Masalahnya, mendampingi proses perubahan satu anak saja butuh upaya besar. Anak itu pribadi hidup, bukan mesin yang tinggal dibongkar dan diganti suku cadang lantas bisa beres. Ia harus dilimpahi kasih sayang, dimotivasi, digembleng secara personal. Dan karena pikiran manusia itu misterius, kita tak pernah bisa memastikan kapan persisnya dia akan mendapat hidayah dan tercerahkan.
Apakah guru punya (baca: dilengkapi) cukup sumber daya – baik pengetahuan dan keterampilan praktis (misalnya, ilmu psikologi anak dan keterampilan konseling), waktu, energi, juga dukungan dari orangtua serta masyarakat – untuk mendampingi para siswa yang berperilaku sulit, sementara mereka juga harus jungkir balik oleh tuntutan memenuhi target kurikulum dan menjaga asap dapur tetap mengebul?
***
Kematian Pak Guru Budi memancing respons keras para guru. Di media sosial, para guru meluapkan amarah – bahkan sebagian mengeluarkan kata-kata impulsif juga. Namun, akankah reaksi emosional itu akan memperbaiki nasib guru dalam jangka panjang? Akankah ada perubahan fundamental pada keseluruhan sistem sosial dan pendidikan yang memungkinkan tragedi itu terjadi? Ataukah momentum emosional ini pada akhirnya akan surut, ingatan akan kasus ini menguap, Pak Guru Budi lambat laun akan dilupakan, digantikan oleh hiruk pikuk kasus-kasus baru?
HI sudah ditangkap polisi, sudah diproses dengan pasal penganiayaan yang mengakibatkan kematian dengan ancaman pidana maksimal 7 tahun penjara. Apakah kemudian kesibukan akan kembali berjalan seperti sediakala, business as usual, yang artinya guru-guru kembali pada situasi kerja yang tetap membuat stres dan frustrasi? Akankah sepuluh tahun lagi, siswa-siswa tetap saja impulsif, sulit ditangani, dan tak mencintai proses belajar?
Tidakkah mungkin ini waktunya para guru berani berkata kepada seluruh pengelola sekolah, “Mari kesampingkan dulu urusan nilai matematika, bahasa Inggris, IPA, IPS, dan lain-lain akademis itu! Kita perlu memprioritaskan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan baik dalam diri anak-anak bermasalah ini. Kita perlu lebih bersungguh-sungguh mempraktikkan jargon pendidikan karakter. Kalau masuk pagi tanpa terlambat saja belum bisa, berbicara sopan pada yang lebih tua saja menolak, sikap jujur dan tekun masih acakadul, apa gunanya nilai rapor yang tinggi-tinggi?”
Tidakkah mungkin ini waktunya para guru bersatu, mengorganisir diri, untuk memperbaiki situasi? Ada banyak problem dalam praktik persekolahan yang harus diinventarisir dan dikaji secara kritis akar-akar masalahnya, ada banyak kebijakan yang harus dirombak, ada banyak pihak yang harus digandeng, ada banyak kerja penting yang harus digarap agar tragedi tidak berulang lagi. Seperti seruan yang dituliskan oleh Gene Netto: “Berapa banyak anak dan guru lagi harus tewas sebelum kita bertindak? Mau diam terus?”
no replies