“Romantis yang ini bagus, ya! Nggak seperti romantisnya Romeo dan Juliet,” komentar Rayya sebelum mulai menarasikan sepenggal bacaan biografi Anna Comstock dari buku berjudul ‘Gadis yang Mengamati Bawah Batuan’.
Di kalangan praktisi CM, Anna Botsford Comstock sangat tersohor sebagai penulis buku Handbook of Nature Study. Ia salah satu pelopor penyelidik alam yang mendedikasikan hidupnya untuk menjalin relasi dengan alam. Dari tulisan-tulisan detil Anna, kita yang ada di masa sekarang jadi terbantu dalam mempelajari alam.
Metode CM menganjurkan orangtua untuk mengekspos anak pada ide-ide hidup melalui buku-buku bermutu, bukan hanya tentang subjek tertentu, tapi juga tentang sosok-sosok inspiratif di subjek atau bidang itu. Menurutku, biografi Anna Comstock bisa menjadi sumber ide hidup agar anak makin paham seluk-beluk pengamatan alam.
Nah, aku sama sekali tak menyangka yang Rayya soroti justru sisi percintaan Anna dalam biografi itu. Anak umur tujuh tahun ini tampak agak malu-malu, mungkin merasa berbicara soal cinta-cintaan adalah urusan orang dewasa. Aku sendiri tak tahan mendapati ekspresinya itu. Tawa kami berdua pecah seketika.
Dalam hati, aku sungguh terheran-heran dia memilih kata “romantis” untuk melabeli relasi antara Anna dan Profesor Comstock. Aku tak tahu: bagian bacaan manakah yang tadi memantik akal budinya untuk membandingkan kisah Anna-Profesor Comstock dengan Romeo-Juliet?
Belum lagi aku kelar mereka-reka, Rayya sudah lanjut bicara lagi tentang persahabatan Anna dan Profesor Comstock yang akhirnya berubah menjadi jalinan cinta. Dari ekspresinya, terasa akal budinya antusias pada bagian itu. Dia terkesan oleh adegan keduanya pergi mengamati kunang-kunang bersama.
Rayya berpendapat, kisah cinta Anna bertolak belakang betul dengan Romeo dan Juliet. “Romeo dan Juliet itu cintanya terlalu berlebihan menurutku,” urainya berapi-api. “Masa sampai si Romeo minum racun supaya bisa ikut mati bersama Juliet? Memangnya kalau mati masih bisa cinta-cintaan terus?”
“Julietnya juga sama, berlebihan!” lanjutnya lagi. “Melihat Romeo mati di sampingnya, dia langsung mencabut pedang Romeo dan menusukkannya ke dada sendiri. Sama-sama mati deh, konyol, ya! Cintanya diam-diam, karena takut diketahui orangtua mereka yang musuhan. Aku kalau jadi Juliet …”
***
Aku biarkan Rayya terus berceloteh. Aku tahu, pada titik ini, peranku adalah menjadi pendengar yang baik. Akal budi Rayya sedang aktif berbincang-bincang dengan ide-ide dari kisah Anna Comstock, juga dari cerita tragedi Romeo dan Juliet karya Shakespeare yang telah dia baca sejak beberapa bulan lalu. Akal budi Rayya sedang bekerja menghubung-hubungkan dan membanding-bandingkan ide yang satu dengan ide lainnya. Dari proses itu muncullah sebentuk pemikirannya sendiri.
Di saat seperti ini, aku tak perlu menyelanya, mendikte arah pikirnya. Aku tak perlu menjejalinya dengan pandangan pribadiku tentang seperti apa percintaan yang patut. Tugasku mendampingi, tapi jangan sampai menjadi penghalang dalam pertemuan spiritual antara akal budi Rayya dengan akal budi para penulis buku.
Oh ya, bisa saja aku mencemooh pemikirannya, “Kamu tahu apa? Anak umur tujuh tahun ngomong tentang romantisisme!” Bisa saja aku menyensornya dan membungkamnya, dengan alasan dia belum pantas terpapar kisah percintaan, menyuruhnya untuk narasi singkat tentang bagian ini saja, lalu melompat ke bagian selanjutnya.
Atau bisa saja aku mencelanya, merasa kecewa sebab dia malah antusias mengurusi percintaan alih-alih terpantik soal pengamatan alam. Bisa saja aku membelokkan obrolan ke teknis tentang pengamatan alam dan membuat jurnal alam atau menceramahinya supaya menjadi ilmuwan keren seperti Anna.
Dan, bisa saja aku melarang Rayya berpanjang-panjang bicara, lalu langsung mengajaknya mengerjakan berbagai aktivitas berbasis kisah Anna, seperti yang biasa dikerjakan program belajar anak-anak umumnya.
Bisa saja, dengan alasan agar Rayya lebih paham isi buku, aku bilang ke dia bahwa selama sekian waktu ke depan kami akan praktik mengamati serangga seperti Anna. Lalu aku atur jadwalnya: hari Senin, kegiatannya menempelkan gambar aneka jenis serangga di buku dan menuliskan nama masing-masingnya di bawah gambar; hari Selasa, menggambar serangga dan mewarnainya; hari Rabu, melihat video berbagai macam serangga; hari Kamis, membuat poster atau alat peraga serangga; hari Jumat, mengadakan permainan seru terkait serangga; hari Sabtu field trip ke peternakan lebah atau penangkaran kupu-kupu; hari Minggu, membaca ayat kitab suci atau puisi yang menyebut tentang serangga; dan lain-lain kegiatan bertema serangga yang bisa kupikirkan. Ya, aku bisa mendiktenya untuk memahami serangga dengan caraku, karena aku tidak yakin dia bisa berelasi sendiri dengan ide tentang serangga.
Atau, kalau bukan tentang serangga, aku bisa juga mendesak Rayya mendalami soal Anna atau pengamatan alam. Aku bisa menjadwalkan agar dia menonton berbagai video tentang kehidupan Anna atau tentang pengamatan alam. Aku bisa menyuruh dia melakukan “kegiatan belajar” yang menurutku akan membuat dia makin paham isi bacaan, tanpa peduli dia tertarik pada materi itu atau tidak.
Atau, karena mendapati dia sedang tertarik soal romantisisme, aku bisa buru-buru mengumpulkan segala jenis bacaan terkait. Aku kunyahkan semua informasi itu untuknya termasuk melolohkan pendapat pribadiku yang paling ideal terkait romantisisme dengan cara menjelas-jelaskan bagaikan kuliah berjilid; atau aku minta dia membaca buku-buku tentang romantisisme, dan lain sebagainya.
Betapa besarnya kekuasaanku, kekuasaan kita, atas anak! Kita sebagai otoritas dapat melakukan seratus satu cara mengelola proses belajar anak. Namun, jika tidak hati-hati, aku bisa terjebak dalam sikap meremehkan kodratnya sebagai pribadi utuh.
Berimankah kita bahwa anak mampu mencerna pengetahuan sesuai kebutuhan akal budinya sendiri? Berimankah kita bahwa proses mencerna pengetahuan tersebut merupakan kerja internal anak? Jika tidak beriman, kita bisa jadi akan mendistraksi anak dari prosesnya menjalin relasi dengan pengetahuan secara mandiri.
***
Charlotte Mason mengamati, seringkali orang tua punya anggapan bahwa pengetahuan adalah properti materiil. Mereka mengukur kepandaian dari apa yang tampak oleh mata. Anak dianggap sudah belajar hanya ketika dia terlihat mengerjakan sesuatu, menghasilkan sesuatu, dan membuktikannya dari keahlian konkrit. Proses anak merenung-renungkan dan menghubung-hubungkan ide dalam benaknya, ini acap tidak dipandang sebagai bagian dari berpengetahuan.
Anggapan ini, menurut Charlotte, datang dari ketidakpahaman orangtua bahwa akal budi itu bersifat spiritual alias tidak kasat mata. Karena itu, pengetahuan – sebagai makanan akal budi – sifatnya juga spiritual.
Anak boleh jadi hafal nama Latin berbagai macam jenis serangga, mengenali anatominya dengan tepat melalui alat peraga atau poster, mengetahui makanan dan ciri-ciri hidupnya melalui permainan, bisa membeda-bedakan jenis serangga satu dengan lainnya dari kartu bergambar, atau mampu menjawab soal-soal terkait serangga dalam lembar aktivitas, dsb. Namun apakah itu berarti anak sudah berpengetahuan?
Bagi Charlotte, anak belum bisa disebut berpengetahuan apabila semua sajian fakta itu belum diolah secara mandiri oleh akal budinya, dan belum berdampak pada pertumbuhan pribadinya sebagai manusia. Tidak cukup anak hanya hafal nama Latin serangga, tapi sudahkah dia tertarik dan makin akrab dengan keberadaan serangga di alam? Pedulikah dia pada kelestarian serangga yang terus mengalami kepunahan di era perubahan iklim ini?
Proses berpengetahuan ini sesungguhnya proses yang terjadi terus menerus seiring dengan akal budi yang terus bekerja menjalin ide-ide dari beragam pengetahuan yang masuk ke dalam benak anak. Proses belajar bukan semata perkara mengerjakan satu dua aktivitas atau sekali dua kali sesi belajar.
Satu lagi catatan penting dari Charlotte Mason: “Pikiran menyerap pengetahuan, bukan dalam rangka mengetahui, melainkan supaya bisa bertumbuh, menjadi lebih luas dan lebih mendalam, bertumbuh dalam kemampuan menilai dengan tepat dan menjadi mulia. Namun untuk bertumbuh itu, akal budi harus menambah pengetahuan.” (CM, A Philosophy of Education, hal. 237)
Lagi-lagi Charlotte mengingatkan bahwa dalam pendidikan CM, tujuan belajar akademis bukan sebatas supaya anak kelihatan tambah pandai subjek ini-itu, tapi untuk mengasup makanan bagi akal budi anak agar bertumbuh menjadi pribadi yang berpikir dan berwawasan luas – ditandai dengan relasinya yang kaya, mendalam, dan terus bertumbuh sepanjang hayat dengan berbagai ragam pengetahuan: Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Seorang anak bertumbuh dari dalam, bukan dari pernak-pernik informasi atau kegiatan yang coba dijejalkan dari luar. Orangtua mendukung pertumbuhan akal budi anaknya dengan cara menghormatinya sebagai pribadi utuh yang memiliki pemikirannya sendiri. Beri anak ide-ide besar terkait kehidupan ini lalu beri dia ruang untuk menggumuli proses berpikirnya sendiri.
***
Kembali ke Rayya dan keromantisannya. Aku tak melarang Rayya membicarakan itu hanya karena dia masih kanak-kanak. Dari segi usia, dia boleh baru berumur tujuh tahun, tetapi sebagai manusia, akal budinya sama hidup, aktif, dan kompeten dengan orang dewasa untuk memiliki sudut pandang dan membicarakannya.
Aku tidak perlu protes mengapa Rayya tidak mengasosiasikan kisah Anna dengan pengalaman nature study kami ketika berjumpa secara langsung dengan macam-macam serangga atau mengaitkannya dengan kehidupan lebah pekerja dari salah satu kisah Parables of Nature yang juga sedang kami baca.
Aku juga tidak perlu kecewa karena kesan Rayya tentang Romeo-Juliet adalah bahwa cerita itu konyol. Mengapa dia tidak ingat pada bagian ketika Keluarga Capulet dari pihak Juliet dan Keluarga Montague dari pihak Romeo akhirnya menyudahi perseteruan turun-temurun mereka pasca kematian duo sejoli itu? Mengapa pula dia tidak terpantik membandingkan romantika tragis yang dialami oleh Romeo-Juliet dengan romansa berakhir bahagia Si Cantik dan Si Buruk Rupa yang juga sedang kami baca?
Realitasnya, pada momen narasi itu, bukan ide-ide lain itu yang menarik bagi akal budi Rayya. Setelah aku ingat-ingat lagi, memang beberapa waktu belakangan ini, pada beberapa kesempatan, Rayya suka “menginterogasi” aku dan suami. Dia minta kami bercerita bagaimana bisa kami bertemu, saling jatuh cinta, dan akhirnya menikah. Sungguh akal budinya sedang penasaran luar biasa tentang perihal cinta dan romansanya.
Berpikir menyoal percintaan sesungguhnya hal yang manusiawi, bukan hanya perkara orang dewasa. Tidak apa-apa, akal budi anak terpantik berpikir dari urusan percintaan, sebab hal ini merupakan bagian dari kehidupan manusia yang kompleks.
Beragam ide/pengetahuan tentang percintaan bisa mampir ke dalam akal budi anak. Setelah dia mencernanya, entah menolak atau menerima ide yang satu dan yang lainnya, proses itu akan memperluas wawasannya dan memperkaya pribadinya.
Kalaupun saat ini Rayya tidak membicarakan hal-hal terkait kecintaan Anna dalam pengamatan alam atau perdamaian keluarga Capulet-Montague, bukan berarti ide-ide itu tidak ada dalam perbendaharaan mentalnya; bukan berarti selamanya dia tidak akan berelasi dengan ide-ide itu.
Ide hidup itu laksana kuman spiritual yang mengeram di benak anak. Dalam akal budi yang hidup dan aktif, cepat atau lambat ide yang satu akan berkembang biak membentuk jejaring dengan ide-ide lain yang menggugah.
Jejaring ide tertentu yang belum terjadi saat ini, bisa jadi akan muncul entah sekian hari, minggu, bulan, atau tahun dari sejak anak menerima ide itu. Kadang malah “aha moment” itu bisa baru terjadi menjelang akhir hidupnya. Sebabnya, akal budi itu spiritual dengan proses kerja yang tidak tampak dan tidak linear yang terjadi secara misterius di dalam diri.
***
Pendidikan adalah perjalanan panjang proses anak membangun jejaring relasi antar ide di dalam akal budinya. Proses merelasikan ide dengan ide ini tak henti-henti berlangsung, seiring makin beragamnya ide yang datang menghidupkan akal budi itu.
Tumbuh kembang pribadi anak tergantung pada aktivitas akal budinya. Jika akal budi anak secara teratur memakan ide-ide hidup yang berharga, pribadinya turut tumbuh menjadi seseorang berpikiran mulia dan luhur.
Sebagai orangtua, kita tinggal menghargai kesakralan pribadi anak, mengagumi akal budinya yang telah Tuhan ciptakan secara utuh dan sempurna, sebagai modal dia bertumbuh sebagai manusia. Kita tinggal memastikan tersedia ide-ide hidup untuk makanan akal budinya, mengimani dia mampu mencerna aneka pengetahuan tersebut, dan mendukungnya dalam proses merelasikan semua itu dengan hal apa saja di sekelilingnya, semampu dan sebutuh dia.
no replies