Dalam proses kita mendampingi anak-anak berelasi dengan alam, selalu saja ada hal tak terduga. Saya ingat pernah terkejut saat saat mengajak anak kedua saya, Rayya, melakukan evaluasi tentang subjek sains dan studi alamnya. Waktu itu, saya menanyakan dua hal padanya. Pertanyaan pertama adalah: “Nature walk mana yang paling berkesan bagimu selama catur wulan ini?”
Spontan Rayya bercerita, dia paling terkesan ketika kami jalan-jalan berkeliling komplek perumahan, kemudian menemukan satu kantung telur belalang sembah. Kantung itu menempel pada dinding air mancur taman.
Saya cukup kaget mendengar jawaban itu karena menyangka ia bakal menyebut nature walk di lokasi lain yang lebih alami. Ternyata, kata Rayya, dia takjub karena kantung telur belalang sembah itu masih bisa aman, rapi, dan bagus padahal menempel pada dinding batu semen dengan posisi yang gampang terlihat oleh manusia.
“Bukankah banyak orang yang mungkin tidak mengenali itu sebagai kantung telur, lalu menganggapnya gumpalan kotoran belaka, lalu membersihkan atau menyingkirkannya?” katanya heran. Rayya bilang, dia beberapa kali melihat ada anak-anak yang usil mengganggu hewan-hewan di taman, sekadar jadi bahan mainan dan kesenangan.
Oh … saya ingat kantung telur yang Rayya maksud. Saya pun teringat, sejak penemuan itu, dia jadi bolak-balik ke taman – jaraknya tidak sampai 10 meter dari rumah kami – untuk memastikan kantung itu aman. Rupanya dia cemas anak-anak lain menemukannya!
Pantas saja kemudian Rayya minta izin merawat kantung itu di rumah. Dia ingin merawat si kantung hingga belalangnya menetas lalu mengembalikannya ke alam. Setelah saya izinkan, dia melepas kantung dengan hati-hati dari dinding batu, lalu membawanya pulang.
(NB: Saya memang sudah pernah menunjukkan pada anak-anak cara melepas kantung telur dari tempatnya menempel lalu merawatnya di rumah, karena saya ingin mereka bisa memperhatikan langsung proses menetasnya bayi-bayi belalang sembah dari kantung telurnya.)
Mendengar cerita Rayya ini, saya tuliskan dalam catatan evaluasi bahwa kebiasaan bersikap welas asih pada alam sekitar sedang tumbuh baik dalam dirinya, pun kepekaan spiritualnya. Saya merasa ini patut disyukuri, jauh melebihi segudang pengetahuan alam yang diperolehnya selama proses nature study ini.
***
Setelah itu, saya mengajukan pertanyaan kedua. “Seperti apa gambaran proses hidup seekor kupu-kupu?” (NB: Kami sering merawat telur dan ulat aneka jenis kupu-kupu di rumah.)
Rayya pun mulai menuturkan proses hidup kupu-kupu. Yang tak saya sangka, dia langsung teringat pada salah satu kisah di buku Parables from Nature (Margaret Gatty). “Memang mama kupu-kupu tidak merawat anaknya secara langsung,” katanya merujuk ke kisah tentang induk kupu-kupu yang mati setelah bertelur itu.
“Tapi mama kupu-kupu tidak akan bertelur di sembarang daun. Mama kupu-kupu akan meletakkan telurnya di pucuk daun, supaya setelah menetas, ulat yang masih bayi bisa makan sendiri daun-daun muda itu.” lanjutnya.
Lalu Rayya bercerita betapa susahnya ulat berganti kulit ketika hendak bertumbuh besar. “Ganti kulit itu harus terjadi beberapa kali supaya bisa menjadi kupu-kupu. Tak hanya badannya yang bertambah besar tapi pupnya juga.”
Dia masih terus bercerita tentang ulat yang bisa mengerti mana daun segar dan tidak segar. Ulat akan pilih makan daun yang lebih segar supaya cepat besar. Dia bisa menjelaskan alasan ulat bergantung dan berhenti makan ketika hendak mengepompong, mengapa ulat hanya bisa pasrah saat diserang parasit.
Terasa ada kekaguman saat Rayya bercerita betapa ajaib ulat yang masuk kepompong dengan badan besar juga tanpa sayap, lalu keluar dengan badan yang lebih kecil dengan sayap-sayap indah. “Tuhan membuatkan sayap itu untuk kupu-kupu di dalam kepompong sana, kita tak bisa melihatnya walau kita penasaran sekali,” katanya.
Lalu Rayya berpikir-pikir, mengapa Tuhan tidak mengizinkan kita melihat pembuatan sayap kupu-kupu di dalam kepompong. Aha, dia berpendapat, “Kalau kita tahu semuanya, bisa-bisa kita tidak penasaran lagi, jadi Tuhan sengaja menyisakan hal yang kita tidak pahami, supaya kita tetap punya rasa kagum saat menyaksikan ulat keluar sebagai kupu-kupu, jadi kita bisa menghargai kehebatan Tuhan itu.”
Saya betul-betul terpana mendengar cara penyampaian narasi Rayya. Ia mencurahkan jawaban dengan segenap akal budinya, melebihi pengetahuan alam yang sifatnya faktual semata.
Saya ingat saat sekolah dulu, ketika diberi pertanyaan daur hidup kupu-kupu, saya selalu memberi jawaban standar saja, hafalan mati buku teks pelajaran: “Telur, jadi ulat, lalu jadi kepompong, lalu jadi imago, dan akhirnya jadi kupu-kupu.” Datar dan tanpa ekspresi. Tak setitik pun terbersit rasa takjub pribadi di hati saya saat menjawabnya. Saya sebatas menghafal fakta ilmiah saja agar mendapat nilai bagus di ujian.
Saya mengenang dulu saya hanya memandang kupu-kupu secara tak peduli, tak ada rasa ingin tahu perkara keberadaan dan ketiadaan mereka. Bisa dibilang relasi pribadi saya dengan kehidupan kupu-kupu kala itu nol besar. Bisa ditebak, saya dulu juga tak memusingkan andai kupu-kupu punah dari muka bumi ini. Beda jauh dengan antusiasme Rayya sekarang terhadap kehidupan kupu-kupu dan alam sekitarnya.
***
Narasi Rayya di sesi evaluasi itu mengingatkan saya pada tulisan Charlotte Mason di volume enam, Towards A Philosophy of Education, halaman 317. Intinya, dampak akhir dari pendidikan yang kita upayakan bagi anak-anak, termasuk pembelajaran sains, mestinya melampaui pertimbangan utilitarian semata.
Ketika kita mengajak anak-anak nature walk dan nature study, motivasi kita jangan sekadar agar anak dapat nilai bagus di ujian, atau kelihatan pintar, tapi harus lebih tinggi lagi. Kita mendekatkan mereka ke alam demi menumbuhkan spiritualitas, dan memelihara rasa kagum dan kepedulian mendalam mereka pada semesta dan Penciptanya.
Kuncinya adalah rasa takjub. “Tanpa rasa takjub, sains memang bermanfaat, tapi nilai tertingginya bukanlah spiritual, melainkan utilitarian,” tulis Ibu Mason. Ranah kehidupan intelektual lantas menjadi steril, kering, dan kehilangan daya hidupnya, terputus dari sejarah, puisi, sastra, dan agama.
Kalau aktivitas pembelajaran sains terlalu terpaku pada hal teknis, akan terjadi penyekatan kehidupan intelektual dengan spiritual. Ketika nature study jadi urusan bagus-bagusan jurnal alam, rasa takjub anak pada alam dan Penciptanya malah tidak bertumbuh. Jurnal alamnya mungkin bagus, tapi bisa jadi prosesnya baru sebatas utilitarian, jauh dari cita-cita pendidikan spiritualitas dan karakter yang diharapkan Charlotte Mason.
“Nature study menyiapkan hati anakmu untuk menyembah Tuhan. Dari bunga di rekahan tembok hingga cakrawala megah mempesona tinggi di sana, semua penghuni Alam menyiarkan tanpa henti: Hebat dan menakjubkan segala karya-Mu, ya Tuhan Semesta Alam Yang Maha Besar.” (Charlotte Mason, Vol. 4, hlm. 100)
***
Mengapa harus ada rasa takjub? Menurut saya, rasa takjub itu adalah karunia bawaan dari Tuhan. Kita terlahir dengan rasa takjub tersemat dalam akal budi kita. Pemberian ilahi ini merupakan bekal untuk mengenal-Nya dan mengapresiasi ciptaan-Nya, yakni sesama dan alam semesta. Dari rasa takjub, kita terpantik, tergugah, berpikir, merasa, mempertanyakan, berefleksi, beraksi, menggali lebih dalam, mencari tahu, bersyukur, menjadi rendah hati.
Pentingnya rasa takjub ini selalu saya tekankan setiap kali berbagi tentang aktivitas nature study dan pembelajaran sains dalam bingkai filosofi dan metode CM. Nature study mesti menjadi jalan spiritual ketika kita berhadapan dengan pemikiran Tuhan.
Untuk itu, dalam praktik nature study metode CM, selalu syarat pertama dan utamanya adalah bersentuhan langsung dengan alam dan adanya kesadaran diri untuk memperhatikannya. Berinteraksilah dengan alam sampai terbangkitkan rasa takjub. Nature study sudah tepat kalau kita sudah muncul rasa terkagum-kagum pada alam dan Sang Pencipta Alam.
Sekali sudah tergugah, maka akan mudah untuk antusias mengamati alam. Semakin dekat kita dengan alam, semakin sadar kita bahwa banyak yang kita tak pahami, semakin kita terkagum-kagum, penasaran, dan tersadar misteri Tuhan tak terbatas, sementara pengetahuan kita selalu terasa terbatas. Kita jadi merasa kecil sekali di tengah luasnya semesta dan di hadapan Kekuatan Besar yang memeliharanya.
Di sesi berbagi tentang nature study, saya sering mengajak peserta untuk simulasi merasakan takjub saat berhadapan dengan alam. Saya minta mereka membayangkan sedang nature walk lalu menemukan ada bunga tumbuh pada rekahan tembok. Para peserta melakukan visualisasi, lalu terlontarlah komentar-komentar antusias:
- “Kok bisa bunga itu tumbuh di tempat yang tidak biasa?”
- “Kok ada bunga hidup di tempat yang seolah tidak ada kehidupan!”
- “Siapa yang memberi bunga itu kehidupan?”
- “Bunga itu mendapat perlindungan dari siapa?”
- “Betapa tangguhnya bunga itu. Pertumbuhannya jelas menyiratkan bahwa Tuhan telah turut serta memberinya kekuatan!”
Rasa takjub mereka bisa muncul, padahal itu baru diminta membayangkan. Kalau melihat sungguhan di alam, bukankah lebih takjub lagi? Itulah yang dirasakan oleh anak terkecil saya yang masih batita, Lazma. Saat bertemu bunga di rekahan tembok, dia bertanya, “Ada tanah di balik semen tembok itu [sehingga bunga bisa tumbuh], Bun?”
***
Masyarakat kita sekarang didominasi oleh spirit utilitarian. Manusia mendekati alam untuk mendapatkan faedah konkret, seperti menjadi sehat, bahagia, terampil, pintar, kaya, dan lain sebagainya. Sains membantu manusia mengekpsloitasi manfaat dari alam. Dalam pendidikan pun, alam dicari manfaatnya, mulai dari menstimulasi motorik dan koordinasi mata-tangan, mengasah kreativitas, mendapatkan pengetahuan, dan tujuan praktis lainnya.
Tentu saja tak salah menerima manfaat dari alam. Yang menjadi masalah adalah kalau merasa tak mendapat manfaat, atau tak butuh manfaat, maka kita jadi malas terhubung dengan alam. Maka, pertanyaan-pertanyaan kritisnya adalah:
- Apa iya kalau sedang tidak punya alasan kesenangan dan kepentingan pribadi apa lantas tak perlu bersinggungan dengan alam?
- Kalau tak ada manfaat konkret apa iya kita berhenti pergi berhadapan dengan alam?
- Kalau tak minat pada alam, tak ingin jadi ahli sains, atau tak punya urusan pribadi yang mengharuskan untuk secara langsung bersentuhan dengan alam, lantas tak apakah putus hubungan dengan alam?
- Apa penjagaan alam ini hanya urusan pemerintah dan aktivis lingkungan saja?
Pandangan utilitarian menjebak kita menjadikan alam sebagai objek pemuas kesenangan dan kepentingan pribadi semata. Kita tak ingat lagi bahwa alam ini entitas hidup yang diciptakan Tuhan bukan sekadar pemuas kesenangan ego manusia, melainkan perwujudan atau hadirat Sang Ilahi sendiri.
Alam ini dikaruniakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, tapi sekaligus amanah Tuhan yang harus dijaga kelestariannya. Yang membutuhkan alam itu bukan cuma kita di generasi sekarang. Memanfaatkan alam itu harus selalu dalam koridor tanggung jawab moral pada Tuhan, pada alam itu sendiri, dan pada sesama manusia hingga bergenerasi-generasi ke depan. Tak bisa tidak!
Karena itu, filosofi CM menekankan agar semangat nature study dan belajar sains jangan sampai serendah motivasi utilitarian saja. Menjalin relasi yang akrab dengan alam mesti dipandang sebagai laku spiritual. Kita nature study untuk memenuhi kebutuhan kodrati kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Anak-anak nature study agar teraktualisasi potensi akal budi yang luar biasa sekaligus menjadi pribadi luhur, manusia yang sebaik-baiknya manusia yang tak hanya tahu memanfaatkan alam tetapi juga mempunyai rasa penjagaan pada alam. Mereka mengenal Tuhan melalui mengenal alam, tersadar bahwa mereka mengemban misi rahmatan lil alamin, menjadi berkat bagi sesama dan semesta.
Sebagai laku spiritual, nature study adalah suatu perjalanan, sikap, pendidikan sepanjang hayat untuk senantiasa belajar caranya hidup sebagai manusia seutuhnya di tengah alam semesta dan di hadapan Tuhan. Menjadi pribadi insan kamil yang berkeilmuan tinggi dibarengi kerendahan hati, itulah cita-cita kita untuk kita maupun anak-anak. Hanya jika sisi spiritualitas kita turut tersentuh maka bisa meraih cita-cita tersebut.
Bagi sebagian orang, istilah insan kamil itu mungkin terdengar klise dan terkesan muluk-muluk. Memang menjadi manusia yang rendah hati dan mampu bersyukur, juga dapat hidup selaras dengan alam memang tampak bukan perkara mudah. Prosesnya pasti tidak instan. Namun, memang untuk itulah kita manusia ada di dunia ini. Agama kita telah memberikan petunjuknya, metode pendidikan CM memberi tambahan petunjuk cara-cara konkret mewujudkannya.
Tinggal sekarang kita berkomitmen untuk menghidupkan dan menghidupinya bersama anak-anak kita. Mari terus semangat menjalani laku spiritual berelasi dengan alam. Semoga hari-hari kita makin penuh rasa takjub pada alam dan Sang Pencipta!
no replies