Kenangan masa sekolah saya lebih banyak stresnya daripada bahagianya. Seumur hidup saya bersekolah di sekolah keagamaan yang terkenal disiplin. Saya acap merasa tertekan setiap menghadapi ulangan. Ada PR setiap hari. Pulang sekolah selalu ada tugas, tidak pernah tidak.
Lalu kapan saya bisa menikmati hidup? Sulit, karena memang tidak ada pilihan. Saya tidak bisa berkeluh kesah pada orangtua, karena orangtua saya berpedoman: sekolah nomor satu. Mereka mengasuh anak sebatas mengikuti pola turun temurun saja, tanpa banyak bertanya, tanpa berpikir itu benar atau salah. Tidak pernah mereka belajar ilmu parenting, karena memang dulu belum marak pengetahuan parenting seperti sekarang.
Sekolah saya dulu bangga bila mendapat peringkat teratas di rayon atau saat siswanya lulus 100%. Sekolah sangat fokus menggembleng siswa agar nilainya bagus. Anehnya, walaupun sering masuk peringkat 10 besar, saya tidak merasa pintar. Saya terbiasa belajar demi nilai, bukan senang belajar demi pengetahuan itu sendiri.
Saya tidak menyalahkan guru-guru saya. Banyak guru yang kehadirannya membekas dalam kehidupan saya, mereka guru-guru yang penuh perhatian pada anak. Namun budaya kejar nilai sudah mengakar kuat. Alhasil banyak siswa sangat cemas menghadapi ujian akhir. Sebagian akhirnya menjadi pencontek kawakan demi tidak dipermalukan, apalagi sampai berperingkat juru kunci. Nilai jelek menjadi momok.
Berkenalan dengan Metode CM
Setelah menikah dan punya anak, saya ingin anak saya kelak bisa belajar dengan cara yang lebih menyenangkan, tidak stres, waktu dan energinya tidak tersia-sia menghafal pelajaran yang dilupakan setelah ujian.
Awalnya saya mencari-cari sekolah yang tanpa PR. Setelah survei sana sini, saya dapati memang ada sekolah yang tidak memberikan PR. Lokasinya tidak terlalu jauh. Sayang, harga SPP-nya mahal dan untuk masuk pun harus berebut slot. Susah ya cari sekolah ideal!
Karena pekerjaan saya adalah workshop organizer, saya banyak mengadakan kelas parenting dan pendidikan anak. Aneka metode lalu lalang di jadwal kelas saya. Nah, tahun 2018, saya berpapasan dengan metode pendidikan Charlotte Mason (CM). Jadilah saya berkenalan dengan para praktisinya.
Kelas demi kelas metode CM saya selenggarakan. Sebagai penyelenggara, saya mesti duduk menyimak sepanjang paparan narasumber. Benar adanya tulisan Miss Mason, ketika pikiran bertemu pikiran, pikiran akan makin berpikir. Belajar dari para praktisi CM ini membuat saya banyak berpikir.
Yang membuat saya tertarik pada metode CM adalah konsep-konsepnya mengenai living books, durasi belajar yang singkat (short lessons), anak-anak diekspos pada puisi, musik, lukisan dan banyak subjek lain (generous curriculum), dan tentu saja – yang saya cari-cari sejak semula – tanpa PR (free afternoon). Intinya, metode CM menawarkan pendidikan yang dulu tidak saya dapatkan di sekolah.
Menimbang Homeschooling
Saat mulai belajar metode CM itu, putri saya Ayi berusia 3 tahun. Dia sudah saya masukkan ke TK pilihan saya. Lokasi TK ini jauh, kurang lebih 18 kilometer perjalanan. Namun, saat itu kami sreg dengan metode pendidikannya yang inklusif. TK tersebut menerima murid berkebutuhan khusus, sehingga anak saya bisa belajar berempati, memahami perbedaan, dan bersosialisasi dengan anak-anak lain dengan memahami bahwa tiap anak itu unik.
Setelah mengenal metode CM, saya berencana Ayi tetap sekolah, tapi di rumah saya dan suami akan menerapkan prinsip-prinsip CM dalam pengasuhan anak. Di rumah, kami rutin membacakan living books. Kami juga mengikuti study group, belajar mendalami tulisan asli Charlotte Mason.
Tak dinyana tahun 2020 mulai merebak pandemi COVID 19, sekolah merumahkan para siswanya. Setelah saya observasi, ternyata kemajuan Ayi cukup pesat saat di rumah saja. Jam tidur siang yang panjang membuat tubuhnya lebih sehat. Saya dan suami juga jadi lebih tenang dan eling dalam berkegiatan, tidak merasa seperti dikejar-kejar waktu.
Perkembangan ini membuat kami tertarik untuk sepenuhnya homeschooling dengan metode CM. Hanya saja kami masih punya dua kekhawatiran terbesar.
Kekhawatiran tentang Sosialisasi
Seingat saya, dulu saya senang bersekolah karena ingin ketemu teman-teman. Jadi saya berpikir, kalau kami homeschooling, bagaimana sosialisasi anak saya ya? Takutnya anak jadi kuper, kudet, tidak punya teman, jadi egois karena tidak terbiasa berbagi.
Dari para homeschooler, saya mendapat penjelasan bahwa anak tetap bisa bersosialisasi tanpa sekolah. Keluarga homeschooler bisa ikut komunitas. Anak bisa bergaul dengan tetangga. Anak bisa ikut kegiatan ini itu. Pandemi ini juga memberi kenyataan lain: keluarga harus berdaya mencarikan kesempatan bersosialisasi bagi anak, saat tidak ada sekolah yang bisa menyediakannya.
Untuk memantapkan diri, saya dan suami berkonsultasi dengan psikolog anak. Banyak saran yang diberikan terlebih mengenai sosialisasi anak dan tumbuh kembangnya. Kami juga meninjau ulang pengalaman perkawanan kami di sekolah. Ternyata kami sama-sama merasa tidak banyak teman-teman sekolah dulu yang masih kontak akrab sampai sekarang. Kebanyakan relasi pertemanan kami di sekolah berlalu setelah lulus.
Kami jadi melihat bahwa teman-teman dekat kami sekarang kebanyakan bukan teman sekolah, melainkan teman yang dulu erat saat kuliah, bekerja, juga teman-teman dari gereja. Setelah melakukan evaluasi ini, kami berkesimpulan bahwa sosialisasi memang tidak mesti dari pertemanan di sekolah. Kekhawatiran kami tentang teman sekolah menjadi minimal.
Kekhawatiran tentang Kompetensi Orangtua
Saya mempertanyakan sanggup atau tidaknya saya mengajar anak. Saya tidak merasa percaya diri, apalagi untuk mengajar ilmu eksakta. Saat sekolah, matematika dan IPA bukan pelajaran favorit saya, saya benar-benar tidak paham dua pelajaran itu.
Kekhawatiran ini baru mereda setelah saya belajar lebih mendalam tentang pemikiran CM. Konsep anak adalah pembelajar mandiri mencerahkan hati saya. Tidak perlu kita bersusah payah menjejalkan ajaran ke benak anak. Tugas kita orangtua adalah menyediakan banyak variasi bacaan bermutu. Dari bacaan itu, anak bertemu dengan ide-ide besar yang akan menginspirasi benaknya. Anak belajar dengan sendirinya, sesuai kebutuhannya saat itu, memilih sendiri apa yang diserapnya.
Dalam metode CM, pendidikan adalah proses terbentuknya relasi anak dengan pengetahuan. Jika anak berelasi dengan pengetahuan, maka tidak akan anak mudah melupakannya. Bukan seperti saya dulu yang belajar demi ujian, lalu keesokannya sudah lupa, demi mengosongkan memori untuk mengejar target materi ujian selanjutnya.
Saya juga bertekad akan banyak bertanya dan bertukar pikir dengan orang-orang lain yang lebih berpengalaman tentang mendidik anak – para ibu homeschooler kenalan, praktisi CM senior, juga psikolog anak.
Saya berkomitmen untuk berusaha punya perspektif yang lebih luas dibanding hanya dari kacamata saya. Sesuai kata Miss Mason mengenai Hukum Nalar (way of reason), jangan bergantung pada penalaran sendiri, karena nalar pribadi kita bisa saja bias, tercampur dengan emosi dan keinginan pribadi sehingga tidak benar-benar objektif.
Memutuskan Homeschooling dengan Metode CM
Setelah menimbang baik dan buruk, capai dan senangnya, dapat dilakukan atau mustahil, akhirnya keluarga kami memantapkan diri homeschooling dengan metode Charlotte Mason.
Saya gembira memikirkan Ayi akan menjalani pendidikan yang ramah, tanpa PR, jam belajar singkat, tapi visinya tinggi. Dia akan belajar makin bernas makin merunduk, setia melakukan kehendak Tuhan, melayani sesama dan mencintai alam. Inilah pendidikan yang saya damba-dambakan!
Kalimat inspiratif yang menguatkan saya memilih homeschooling adalah:
“Adalah tanggung jawab orang tua untuk membesarkan anak yang menjadi berkat untuk masyarakat.” (Charlotte Mason, Home Education, hlm. 16).
Keputusan homeschooling dengan metode CM kami mantapkan dengan bergabung ke komunitas Charlotte Mason Jakarta di akhir 2020. Memang bisa saja seseorang menjalankan metode CM single fighter tanpa komunitas, tetapi komunitas membantu kita tak hilang arah. Di komunitas, ada teman-teman sefrekuensi tempat bertanya, bertumbuh bersama dan tentu saja anak akan memiliki teman-teman seperjuangan dan dapat bersosialisasi.
Mempersiapkan Sesi Akademis
Di saat Ayi sudah berusia 5 tahun, saya mulai bergerak menyiapkan fase akademisnya. Setelah lumayan tahu tentang teknis metode ini, saya “berburu” buku-buku year 1. Saat membaca buku-buku itu, saya merasa, “Wow! Metode CM anak belajarnya seperti baca buku cerita, enak banget! Iustrasinya juga bagus-bagus.”
Saya coba-coba merancang kurikulum dengan mencontek agenda belajar di kurikulum CM luar negeri dan praktisi CM dalam negeri. Apa yang terjadi? Saya pusing saudara-saudara!
Bukan hanya pusing mencari buku-bukunya, tapi juga bingung buku mana dipakai untuk pelajaran mana dan dan seabrek ini itu lain tentang how to-nya. Kalau semua jadwal di kurikulum contekan itu dipakai persis plek, saya malah merasa kok ini jadi tidak gentle art of learning lagi.
Saya sadar, pusing ini adalah isyarat agar saya aware bahwa ada pemahaman saya yang masih salah. Jadi saya evaluasi dan refleksi lagi. Akhirnya saya temukan bahwa problemnya adalah saya belum benar-benar mengerti prinsip pendidikan CM. Tujuan pendidikan di kepala saya masih ikut sana sini.
Kalau dari sharing para senior, sebagai praktisi CM kita harus rajin berpikir, memeriksa sudahkah yang kita lakukan sesuai dengan prinsip CM. Kalau paham prinsipnya, sebenarnya saat praktik semua menjadi lebih santai, fleksibel, dan mudah.
Misalnya, kita tidak berhasil menemukan living books A, pakai saja living books B yang dapat kita temukan. Istilah living books itu sendiri tidak kaku hanya judul-judul yang ada di daftar website saja. Bukan berarti semua buku yang tidak ada di daftar itu adalah buku tidak bermutu (twaddle). Membedakan living books dan twaddle tidak bisa hitam putih, ini spektrum.
Contoh lain, saat bernarasi. Tidak ada narasi yang benar-benar jelek atau narasi yang salah. Semua tergantung pemahaman anak, jangan dikritik dan jangan takut bernarasi karena tidak ada yang seharusnya menghakimi narasi. Pendidikan CM tujuannya bukan mengejar nilai, tapi membangun karakter anak.
Tips Memperdalam Pemahaman tentang Metode CM
Tentu saja memahami filosofi CM ini bukanlah hal yang mudah, apalagi bahan bacaannya berbahasa Inggris. Awal-awal saya merasa kesulitan memahami istilah-istilahnya: magnanimous-lah, utilitarian-lah, education is discipline, dan banyak lainnya. Haduh, apa lagi itu! Saya “gerilya” sampai sekarang, belajar dari berbagai sumber, sampai mulai mendapatkan pengertiannya sendiri.
Buat teman-teman yang seperti saya, belajar CM dari nol, berikut ini cara belajar yang saya anggap efektif dan rekomendasikan.
Pertama, membaca artikel-artikel di website Charlotte Mason Indonesia.
Berawal dari saran seorang praktisi senior, saya mulai serius membaca satu per satu artikel di website ini. Saya terhenyak. Sekian lama saya bingung ini-itu, ternyata sebenarnya jawabannya terhampar di sini. Banyak sekali artikel yang membantu menyibak gundah gulana. Saya mulai mengerti lebih baik 20 prinsip pendidikan Charlotte Mason.
Sejumlah artikel yang paling mencerahkan buat saya adalah:
1. Bahayanya Membandingkan Diri dengan Praktisi CM Senior (Noor Aini Prasetyawati)
2. Babak Formal CM Kami: Caturwulan Pertama (Maria Sugiyo Pranoto)
3. Kurikulum dan Keseharian Homeschooling ala Metode Charlotte Mason (Ayu Primadini)
4. Menyelesaikan Year 1 (Ellen Kristi)
5. Narasi Tanpa Air Mata (Ellen Kristi)
6. Langkah Penting Memulai Homeschooling dan Menjadi Praktisi CM (Ratna Hayati)
7. Homeschooling, Metode Charlotte Mason, dan Perjalanan Spiritual Saya (Ayu Primadini)
Kedua, mendengarkan podcast CMid.
Cobalah luangkan waktu untuk mendengar satu demi satu podcast di kanal Charlotte Mason Indonesia dengan sungguh, sebisa mungkin jangan disambi dengan pekerjaan lain, lalu buatlah narasi atau sekadar obrolkan kembali ke suami, maka kita akan lebih paham. Seperti kata Miss Mason, pengetahuan bukanlah milikmu sampai engkau mengungkapkannya dalam bahasamu sendiri.
Ketiga, ikuti kelas-kelas praktisi senior.
Belajarlah dari mereka yang sudah memulai lebih dulu. Saya belajar banyak dari mbak Lyly Freshty mengenai nature study, lalu dari mbak Ayu Primadini mengenai narasi, dari mbak Maria Sugiyo tentang fase akademis, dan dari mbak Ellen Kristi tentang habit training.
Di kelas-kelas mereka, kita dapat bertanya tentang apa saja. Kita bisa menimba ilmu dari pengalaman mereka, dan mendapatkan kristalisasi ide dari mereka yang telah menjalaninya selama bertahun-tahun. Semoga makin banyak senior yang membuka kelas-kelas baru di kemudian hari.
Terakhir, baca tulisan Charlotte Mason langsung.
Jangan mentok hanya sampai membaca buku Cinta Yang Berpikir, tapi gali pemikiran Miss Mason dari buku-buku yang ditulisnya. Banyak sekali kearifan tak terduga yang menohok saya di sana mulai dari hal praktis (misalnya: memastikan anak mendapat udara bersih dan segar dan kamarnya terventilasi dengan baik) sampai yang prinsip (misalnya: menjadi agamis saja tidak cukup, orang yang sekuler tapi menaati hukum alam akan hidup lebih baik daripada mereka yang agamis tapi memakai kacamata kuda).
Memulai Fase Akademis
Sesuai saran Miss Mason, saya dan suami tidak mau buru-buru memangkas waktu anak untuk bermain. Kami ingin Ayi bebas dulu bereksplorasi selama masa kanak-kanaknya. Baru setelah dia menginjak usia enam tahun, kami memulai sesi akademis, itu pun baru “pemanasan”.
Maksudnya “pemanasan” adalah kami baru menjadwalkan beberapa subjek saja. Sesi belajarnya pendek, dan belum setiap hari. Sedikit-sedikit dulu, yang penting kami mulai terbiasa dengan sesi akademis. Subjek yang saat ini kami prioritaskan di tiap sesi adalah agama, puisi, menulis, dan sejarah.
Pelajaran agama kami isi dengan membacakan Alkitab, sementara pelajaran sejarah dengan membacakan buku biografi tokoh dunia. Ayi mendengarkan bacaan, lalu menarasikan dalam sekali dengar.
Membaca dan menarasikan buku biasanya hanya 15 menit saja, yang seru adalah diskusi setelah itu. Tak jarang hanya dari dua paragraf bacaan saja, kami jadi membuka atlas, lalu mengulik deskripsi, menemukan hal-hal baru yang menarik. Setiap sesi memberi kami kesempatan membuka tingkap-tingkap pengetahuan. Bukan anak saja yang belajar, orangtuanya juga.
Karena anak sudah mulai bisa membaca, untuk puisi, awalnya kami menggunakan buku sajak anak-anak, kemudian setelah mapan, beralih ke puisi-puisi karya pujangga tertentu. Kami pilih satu pujangga, lalu kami baca puisinya satu per satu tiap hari.
Syair puisi harian itu kadang saya yang membacakan, kadang Ayi yang membaca lantang. Ini sekaligus melatih keterampilan membacanya. Biasanya Ayi dengan senang melantunkan syair dengan nadanya sendiri. Dia jadi sangat suka puisi, bahkan terdorong menulis puisi-puisinya sendiri. Berikut ini salah satu contoh puisi yang Ayi tulis.
Ayi belajar menulis satu huruf per hari, huruf kapital dan huruf biasa. Dalam 26 hari, dia telah belajar semua alfabet. Kami memakai kertas latihan menulis dengan garis-garis bantu (bisa teman teman unduh di laman Printables situs ini).
Hanya satu huruf, ditulis beberapa menit saja setiap hari – ternyata sangat efektif! Ini lebih efektif daripada dalam satu hari belajar menulis banyak huruf, berhalaman-halaman, tapi belepotan. Dengan durasi belajar pendek (short lessons) tapi dikerjakan dengan sempurna (habit of perfect execution), anak bisa menulis dengan baik, tidak asal-asalan.
Setelah Ayi lancar menulis semua huruf, latihan menulisnya adalah menyalin peribahasa dan ayat-ayat Alkitab yang bagus. Dengan cara ini, dia belajar untuk menulis kalimat yang bermakna.
Dalam urutan pelajaran, biasanya saya selang- selingkan sesuai keadaan anak. Kalau saya lihat Ayi sudah mulai kelelahan dengan pelajaran yang mengerahkan nalar, maka kami pindah ke kegiatan belajar yang lebih bersifat kreatif dan artistik.
Coba dan Ralat Terus
Tentu saja kami juga menemukan kendala-kendala dalam sesi akademis. Misalnya, saat sesi belajar dilakukan setelah makan siang, program bakal bubar jalan karena kami mengantuk. Atau saat kami tidak konsisten dengan jam belajarnya, jam belajar akan terlewat dan kami malas memulai.
Perlu coba dan ralat untuk menemukan formula sesi akademis yang tepat. Kadang kami memakai buku yang belum cocok dengan kapasitas anak, sehingga anak tidak mengerti isinya. Kami harus ganti dengan buku yang lebih sesuai.
Ada kalanya juga saya dilanda kebingungan dan merasa kewalahan (overwhelmed). Misalnya, waktu membuat kurikulum, rasanya semua buku bacaan yang ada di daftar mau saya masukkan ke materi belajar. Bagus-bagus semua! Tapi apakah itu betul? Saya berefleksi lagi tentang prinsip short lessons, bahwa homeschooling bukan memindahkan sekolah ke rumah, dlsb. Start small, lakukan sedikit demi sedikit dulu.
Homeschooling Sambil Bekerja
Saya juga ibu bekerja, dan tidak punya asisten rumah tangga. Awalnya saya prioritaskan pekerjaan saya selesai dulu baru melakukan sesi akademis dengan anak. Namun, seringkali saya bekerja sampai larut dan sesi dengan anak jadi terkesampingkan. Saya jadi teringat kata Miss Mason, “anak berhak atas sisi terbaik dari ibunya, waktu tersegar dan terprimanya” (Home Education, hlm. 25).
Sudah lama saya selesai membaca buku The 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey. Jadi secara teoritis saya sudah tahu, hidup seharusnya fokus pada prinsip. Namun, baru setelah menjalani sesi akademis dengan anak ini saya tersadar ternyata selama ini hidup saya bukan fokus pada prinsip, tapi pada pekerjaan.
Waduh, saya baru menemukan prinsip hidup di umur 38 tahun! Tapi tenang, tidak ada kata terlambat. Otak manusia itu plastis dan dapat berubah sesuai niatnya. Selalu evaluasi, refleksi dan perbaiki. Akhirnya, saya tata ulang kembali prioritas hidup saya. Saya prioritaskan sesi bersama anak dulu, baru menyelesaikan pekerjaan.
Ada kalanya tak bisa dihindarkan penat menjelma dengan penuhnya aktivitas ini itu yang harus saya lakukan, rasanya selalu kehabisan waktu, membaca buku untuk diri sendiri saja tidak sempat. Saya ingat-ingat lagi bahwa ibu pun perlu merawat diri dan terus bertumbuh. Sebisa mungkin saya usahakan ada waktu membaca sebelum tidur, meski hanya lima menit.
Berjalan dengan Iman
Kepada teman-teman yang juga masih menimbang mau pakai metode CM atau tidak, mau sekolah atau homeschooling, atau baru mau memulai sesi akademis CM, saya ingin menyampaikan bahwa punya keraguan itu wajar. Sama seperti saya yang di awal merasa ragu saya nanti mampu mengajar anak atau tidak, sanggup mengelola waktu atau tidak, bisa atau tidak menyusun kurikulumnya, dlsb.
Tidak usah terburu-buru. Tidak usah serta merta menjatuhkan pilihan. Lakukan riset dahulu saja sampai yakin benar bahwa metode ini baik untuk anak kalian. Namun, pelajari bukan hanya teknisnya, tapi juga konsep-konsep Charlotte Mason yang mendasarinya.
Teman teman, pendidikan adalah iman. Sama seperti kita percaya Tuhan itu ada walau kita tak pernah melihat sosok-Nya, tak pernah mendengar suara-Nya, begitu juga dnegan mendidik anak. Saat ini kita belum melihat seperti apa hasilnya, tapi kita beriman bahwa jika kita menabur hal-hal baik, tumbuhnya juga akan baik.
“Karena iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibrani 11:1)
Semoga Tuhan menolong kita untuk lebih beriman.
no replies