Tepat saat sulung saya Vi berusia 6 tahun, saya mengajaknya memulai fase terstruktur Tingkat 1. Sejak hari pertama tampak Vi punya selera belajar yang baik. Dia suka latihan membaca, matematika, bahasa Inggris, dan menyimak buku-bukunya. Cuma satu yang dia benci: disuruh NARASI.
Padahal, narasi adalah inti dari metode Charlotte Mason.
Charlotte bilang, narasi itu sarana evaluasi terbaik untuk mengetahui apa dan seberapa banyak yang anak serap dari materi pelajarannya. Anak diminta menceritakan kembali dengan bahasanya sendiri segala yang ia tangkap.
Sepertinya sederhana, tetapi untuk bisa memberikan narasi yang akurat dan berbobot, seorang anak musti berlatih berkonsentrasi pada apa yang ia dengar atau baca, memahaminya baik-baik, lantas mengolahnya dalam benak supaya bisa mengungkapkan kembali poin-poin, detil-detil, dan ide-ide yang teringat olehnya.
Dan standar metode CM untuk narasi sangat tinggi, yakni membuat narasi dari hanya sekali dengar atau sekali baca (single reading). Anak ‘dipaksa’ untuk fokus sefokus-fokusnya. Saya sebagai fasilitator dilarang mengulang kembali bacaan. Mengapa? Kita sedang melatih daya perhatian, habit of attention, di sini.
Apabila anak terbiasa diijinkan minta suatu bacaan diulang-ulang, maka dia akan melonggarkan konsentrasinya. “Toh masih bisa diulang lagi kalau belum paham …” pikirnya, tanpa sadar bahwa itu akan menghambur-hamburkan waktunya. Latihan menyimak dan memahami sejak pertama kali baca atau dengar akan menajamkan pikiran dan menghemat waktunya, sehingga dia tetap punya waktu leluasa untuk mempelajari atau mengerjakan hal lain yang dia inginkan.
Dari praktik menerapkan metode CM di kampus dan meminta narasi dari para mahasiswa, respons mereka kurang lebih sama dengan Vi. Mereka bilang berlatih narasi itu sangat menantang, bikin deg-degan karena harus mengungkapkan pikiran di muka umum. Namun, kata mereka, setelah terbiasa ternyata narasi itu ya menyenangkan juga. Mereka jadi betul-betul mengerti plus awet ingat pada materi pelajaran. Mereka juga merasa terbantu untuk lebih fokus dan cepat memahami materi di kelas-kelas lain. Mereka merasa lebih berani berbicara di depan umum (public speaking).
Namun ada situasi yang berbeda antara para mahasiswa itu dan Vi. Mereka mau tak mau harus belajar teknik narasi karena butuh nilai dari saya, sementara Vi tidak. Supaya Vi mau membuat narasi, saya harus memenangkan kerjasamanya – karena Charlotte melarang kita mengancam atau membujuk anak untuk belajar dengan pemberian nilai.
Lanjut atau Tunda?
Kembali ke cerita setahun lalu. Dari hari ke hari, Vi makin frustrasi dengan latihan narasi. Dia punya kecenderungan perfeksionis, kuatir salah, sehingga awalnya dia menyuruh saya membaca satu kalimat demi satu kalimat saja supaya bisa menghafalkan isinya. Dan dia marah kalau saya tidak mau mengulang kembali bacaan ketika dia merasa tak bisa menghafalkannya setelah sekali baca.
Berulang-ulang saya berusaha menjelaskan padanya apa kegunaan narasi, mengapa narasi itu baik dan penting; berusaha meyakinkan dia bahwa “apa pun yang kamu katakan OK buat Mama”, “narasi bukan menghafal”, “omongkan saja yang kamu ingat”, tapi percuma. Gambaran “narasi itu sulit banget” melekat kuat di benaknya sampai akhirnya dia selalu menangis kalau diminta narasi.
Wah, ini sudah tidak sehat, pikir saya. Teringat pada satu program belajar menulis yang dilabeli handwriting without tears (karena sebagian anak menangis kalau disuruh latihan menulis), yang saya ingini juga narrating without tears, narasi tanpa air mata.
Puncaknya adalah pada hari kesembilan, Vi mengajukan proposal: dia mau mulai Year 1 pada umur tujuh saja – berarti setahun kemudian.
Musti menyikapi bagaimana? Apakah sebaiknya saya mengabulkan permintaan penundaan dari Vi ataukah terus mendesaknya melanjutkan Year 1 dan berlatih narasi? Saya cemas kalau-kalau setahun kemudian pun dia tetap tidak mau narasi. Tapi saya juga cemas, kalau saya memaksa, nanti dia malah trauma dengan narasi.
Curhatlah saya pada ibu-ibu praktisi senior metode CM di forum praktisi CM. Tanggapannya bervariasi, tapi hampir semua ibu senada dalam testimoni: anak tidak serta merta menyukai narasi sebab itu memang bagian tersulit dari proses belajar metode CM. Dan mayoritas menganjurkan pada saya untuk menunda.
“Dari pengalaman pribadiku,” kata Tina P, “aku berharap bahwa dulu aku mau menunggu sampai anakku umur 7. Dia sekarang sudah Year 4, umur 9. Dia baik-baik saja TAPI aku tahu dia akan mendapatkan lebih banyak manfaat dari kurikulum ini kalau saja aku menunggu setahun lagi.”
“Anak keduaku baru mulai Year 1 tahun ini, bulan depan dia umur 7. Dibandingkan saudaranya, dia anakku yang paling cerdas, dan tetap aku menahan diri untuk baru menyuruhnya mulai tahun ini. Anak sulungku sudah di Year 7, jadi aku tahu perkembangan materinya nanti dari tahun ke tahun! Lebih baik jangan mendesak anak terlalu dini dengan kurikulum ini – karena sejak pertama sudah cukup menantang,” himbau Robeliken.
“Hai Ellen, kami tinggal di Singapura selama beberapa tahun dan tekanan untuk menyuruh anak mulai sekolah pada usia muda (umur 3-4) sangat besar – aku tidak tahu apa di Indonesia juga begitu. Aku harus berjuang menghadapinya. Dua anakku akan mulai Year 1 di akhir tahun saat mereka masuk umur 7. Aku bisa melihat perbedaan mencolok antara umur 6 dan 7 dan aku senang karena sudah menunggu. Anak perempuanku tampak ‘siap’ setelah mendekati umur 7.” urun saran Melodie.
Setelah mengalemkan diri dan kontemplasi, akhirnya saya memutuskan untuk menunda Year 1 sampai Vi umur 7, dus sampai Agustus 2013.
Setahun Kemudian …
Sambil terus memantau, saya dapati ternyata memang benar: meskipun hanya terpaut satu tahun, ada perbedaan signifikan dalam kematangan mental dan intelektual Vi. Dia lebih mandiri, lebih siap menerima tantangan, lebih terampil dalam verbalisasi pikiran.
Situasi rileks selama setahun justru membuat keinginannya akan situasi belajar terstruktur muncul. Barangkali itu juga pengaruh tekanan sosial. Orang-orang kerap menanyainya: “sekarang kelas berapa?”, “sudah bisa baca belum?”, menantangnya hitung-hitungan, dsb. Dia jadi ingin menunjukkan bahwa dia juga sudah satu level dengan teman-teman seumurannya. Lucu memang, berkali-kali dia malah menuntut supaya program Year 1-nya segera dimulai, dipercepat dari rencana kami semula.
Nah, kembali ke latihan narasi. Berawal tak sengaja dari komplain saya karena Vi terlalu melekat pada laptop-nya (dia punya laptop sendiri, lungsuran dari saya). Waktu itu dia tergila-gila menonton nyanyian anak-anak generasi pertama Di Atas Rata-Rata. Pagi, siang, sore, malam, bolak-balik dia setel video mereka di laptopnya.
Saya lantas bilang pada Vi: “Kamu punya hobi itu bagus, tapi terlalu banyak menonton video membuat otakmu pasif, sekedar menerima saja.” Lantas saya ajukan syarat padanya: setiap kali mau menonton video di laptop, dia musti membuat narasi dulu dari bacaan Alkitab. Saya tetapkan bahwa cukup dua ayat saja sekali narasi. Vi setuju.
Setiap pagi, sebelum menyalakan laptopnya, dia membuka Alkitab, membaca sendiri dua ayat, lalu menarasikannya kepada saya. Bacaannya dimulai dari kisah Adam dan Hawa di Kejadian 3. Karena kesulitan menarasikan dua ayat sekaligus, dia minta narasi per satu ayat. Saya persilahkan.
Pada hari pertama, narasinya pendek sekali. Betul-betul hanya inti dari isi ayat itu. “Jadi, tuh, ular tanya ke Hawa, boleh makan semua buah tidak,” katanya menarasikan Kejadian 3:1 dengan raut wajah masih agak cemas, mungkin takut salah. Saya mengiyakan dengan anggukan dan komentar singkat, “OK.” Lalu dia melanjutkan ke ayat berikutnya. Lagi-lagi saya menerima dengan ekspresi persetujuan. Selesai.
Rupanya dari pengalaman hari pertama ini, Vi semakin percaya diri. Di hari-hari berikutnya, dia terlihat makin santai menceritakan kembali apa yang ia baca. Pernah juga dia lupa detil apa yang barusan dia baca, barangkali ayatnya terlalu panjang atau dia kurang konsentrasi. “Aduh, lupa!” bilangnya. Alih-alih menyuruh dia membaca ulang, saya yang melengkapi narasinya.
Lewat seminggu, Vi bilang tak mau lagi baca sendiri, minta dibacakan saja oleh saya baru kemudian dia membuat narasi. Dengan senang hati saya sanggupi. Untuk anak seusia Vi, memang belum ada tuntuntan dari metode CM untuk membaca sendiri materinya. Dia masih butuh dibacakan supaya bisa menyerap teladan membaca secara ekspresif.
Sebagai pembaca, saya punya keleluasaan untuk memenggal bacaan pada porsi yang saya duga Vi mampu serap dan narasikan. Jadi sekarang sudah tidak terbatas satu ayat demi satu ayat lagi. Bahkan ketika sampai di Kejadian 11 (kisah menara Babel), materi ayat 1-9 bisa dia selesaikan hanya dengan dua kali narasi: ayat 1-4 dulu, lalu ayat 5-9. Narasinya cukup lengkap.
Setiap kali sebelum pembacaan, saya selalu pastikan dulu ke Vi: “Siap?” atau “Sudah konsentrasi?” Dan saya baru mulai membaca setelah dia menjawab ya dengan postur tubuh yang baik dan tangan yang sudah tidak memegang benda lain. (NB: Vi punya kecenderungan kinestetis, tidak bisa diam, dan suka otak-atik barang apa pun yang ada di sekitarnya.)
Beberapa hari lalu di materi Kejadian 12, dia sempat kurang konsentrasi sehingga kelabakan saat harus narasi, lupa apa isi bacaannya. Saya yang mengambil alih membuatkan narasi untuk bacaan itu dengan catatan bahwa Vi harus ‘ganti rugi’, menebusnya dengan membuat narasi satu kali lagi untuk porsi bacaan selanjutnya.
Hari-hari belakangan ini Vi sudah reda kecanduannya pada video DARR. Kadang seharian dia tidak menyetel laptop sama sekali, sehingga dia tidak punya kewajiban membuat narasi. Namun mulai kemarin ketika saya minta dia untuk tetap narasi sekalipun tidak menyalakan laptop, dia mau-mau saja.
Yah, sepertinya fase kritis rasa frustrasi dan kebencian pada narasi sudah teratasi. Dengan situasi ini saya merasa optimis bahwa Year 1 yang akan kami mulai bulan Agustus depan akan berlangsung lebih mulus dari percobaan tahun lalu dan – atas izin Tuhan – tanpa air mata
no replies