Pagi ini saya berkesempatan menyimak riset pemerhati sastra anak Indonesia, Riris K. Toha Sarumpaet. Beliau meneliti 40 buku anak terbitan 1991-1993. Simpulannya dipublikasikan dalam buku Pedoman Penelitian Sastra Anak. Berikut temuan riset tersebut.
1. Semua buku yang diperiksa menggunakan alur tunggal dan linear, tanpa kejutan dan tegangan, sehingga mudah ditebak akhir kisahnya, dan mudah pula diketahui apa yang dikatakannya [pesan yang hendak disampaikan penulis].
2. Semua buku yang diteliti menggunakan latar tempatan realis, tempat tinggal seperti rumah, kamar, sekolah, dan rumah sakit. Pohon, bunga, hutan, danau, dan sungai menambah kesan realisme karya serta memastikan bahwa karya dan manusia di dalamnya adalah manusia yang mirip dengan pembaca.
3. Seperti tampak dari semua judul buku yang diteliti, tema yang disampaikan adalah tema yang ada hubungannya secara langsung dengan pengembangan anak-anak. Supaya mereka kreatif, supaya gigih, supaya tabah, supaya mau meneladani yang baik, dan supaya sopan.
4. Untuk menyampaikan pesan atau tema yang sangat mendidik itu, pengarang pada semua buku menggunakan penokohan analitik, penokohan yang menjelaskan dan mendeskripsikan. Karena bahasa yang kurang lancar dan terlalu sederhana, maka buku yang diperiksa ini semuanya menderita monotoni, lambat, dan tidak menarik.
5. Karena tuntutan menyampaikan pesan yang demikian besar, maka para pengarang buku tidak mengembangkan tokoh-tokohnya. Yang lebih utama adalah pesan yang harus disampaikan sehingga para tokoh hanyalah alat untuk menyampaikan pesan, dan bukan manusia yang berkonflik dalam sebuah kehidupan. Sehingga gaya atau penyampaian dalam buku yang diteliti adalah penyampaian yang tidak menghargai tokoh apalagi pembacanya.
6. Tokoh utama yang menonjol adalah tokoh ayah, yang kuat pencari nafkah, dan sangat bijaksana. Ibu hanyakah pelengkap, menemani keluarga, dan lemah lembut mengurusi rumah tangga, tanpa peran signifikan. Anak, laki dan perempuan, dalam cerita anak yang diteliti ini, justru bukan pemeran utama, tetapi hanya objek, yang disertakan dalam kisah sebagai pelengkap, dan sebagai orang-orang yang diberi peran mendengarkan petuah orangtua, supaya mereka menjadi orang yang baik, sopan, dan kreatif.
7. Karena semua kisah lebih mementingkan pesan, maka para tokoh tidak dikembangkan, tidak ada kehendak, sehingga tidak ada peluang untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya, bahkan perannya pun – walaupun tradisional – tidak sepenuhnya jelas. Anak-anak dalam kisah hanyalah objek, tempat pelampiasan kebutuhan bertutur orangtua.
8. Akhirnya, bacaan anak yang diteliti memberi peran tradisional pada para tokohnya, yaitu ayah sebagai pemimpin keluarga, ibu sebagai pembantunya, dan anak-anak pelengkap. Tokoh-tokoh itu dimanfaatkan sebagai penyampai pesan pengarang, dalam cerita yang sangat sederhana, bahasa sederhana, dan penggambaran yang sederhana pula. Karena tokoh-tokohnya tidak berkembang dalam alur kisah yang sangat sederhana dan tema sederhana pula, maka kesan menggurui tak dapat dielakkan. Tokoh-tokoh datar yang disampaikan secara analitis itu hanya dihidupkan demi menyampaikan pesan orangtua kepada pembacanya. (dari bab 5.1 Tokoh dalam Bacaan Anak Indonesia, Pedoman Penelitian Sastra Anak: Edisi Revisi, hh.76-78, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2010.)
***
Yang langsung terpikir oleh saya adalah ini: anak-anak yang semasa kecilnya dibesarkan dengan membaca (syukur-syukur masih suka membaca) buku-buku cerita macam mutu di atas, kalau kelak mereka jadi penulis cerita anak, karya-karyanya bisakah lebih baik dari itu? Bukankah para penulis cerita yang diteliti oleh Bu Riris itu adalah hasil dari proses internalisasi mutu bacaan sastra mereka dulu?
Charlotte Mason menekankan, air di hilir tak akan pernah lebih tinggi dari hulunya. Jika tidak ada sumber ide yang membawa pikiran anak melesat tinggi, secara otomatis ia akan merunduk turun, dan makin lama makin rendah, sampai datang ide-ide baru yang mengajaknya terbang ke atas. Itu sebabnya sekali lagi saya ingin kutipkan kata-kata ini, “Anak-anak harus memperoleh buku-buku, buku-buku berkualitas pustaka hidup (living books); buku-buku yang terbaik pun tidak pernah terlalu baik bagi mereka; apa pun yang kurang dari yang terbaik tidaklah cukup baik.” (Parents and Children, hlm. 279)
Dumbed-down books, watered-down books, buku yang isinya dimanis-maniskan, ‘direndahkan’ kandungan idenya begitu rupa adalah cerminan betapa penulisnya menganggap remeh kapasitas benak anak untuk mencerna ide-ide besar. Gaya menggurui, menceramahi, menarikkan kesimpulan, menjelas-jelaskan pesan moral, adalah bukti bahwa kita menganggap anak kita bodoh, sampai-sampai kita tak percaya ia bisa memahaminya sendiri.
***
Charlotte mengingatkan kita untuk selalu seksama memilih bacaan terbaik, cerita yang menarik dan inspiratif dengan ilustrasi-ilustrasi hebat. Ingatlah, kita sedang memupuk selera baca anak dari buku-buku yang kita sajikan baginya, jadi janganlah berpuas diri dengan alur-alur cerita picisan yang sudah diencerkan (watered-down), seolah anak-anak kita terlalu dungu untuk memahami kalimat-kalimat sastrawi yang berbobot.
Jika sejak awal selera anak telah terbentuk oleh citarasa pustaka hidup, tidakkah dia akan meneruskan pula selera itu pada anaknya, terus sampai ke anak-anak dari anaknya? Mungkin saja akan lahir generasi masa depan anak Indonesia yang suka membaca, membaca karya-karya sastra bermutu tinggi, dan bisa jadi juga menuliskan karya-karya sastra baru dengan standar selera yang makin tinggi dan makin tinggi. Semua bisa dimulai dari pilihan buku-buku keluarga kita hari ini.
no replies