Setahun berlalu sejak si sulung Vi resmi memulai fase terstruktur pendidikan CM. Satu demi satu catur wulan kami lewati. Akhirnya, Jumat kemarin (15/8), Vi resmi menyelesaikan Tingkat 1-nya, ditandai dengan tes akhir MEP Year 1 dan narasi sejumlah bacaan empat bulan terakhir.
Tulisan ini saya buat bagi teman-teman yang ingin tahu seperti apa proses belajar kami setahun belakangan, plus biar sekalian saya bisa refleksi apa yang sudah baik dan apa yang perlu diperbaiki untuk tahun ajaran mendatang.
Jam Belajar
Berhubung harus mengajar di kampus, saya sempat mengubah-ubah jam belajar agar sesuai dengan kebutuhan kami berdua – pas saya bebas dari tugas mengajar dan selagi Vi punya cukup energi dan fokus untuk menyimak bacaan, juga agar tidak bertubrukan dengan kencan playdate-nya. Kadang kelas harus dimulai pagi sekali, begitu bangun tidur. Pernah juga harus sehari dicicil dalam beberapa kali sesi: pagi, sore, malam. Tapi akhirnya mapan di jam 10.30-13.00, lalu di akhir cawu 3 saat saya sudah libur mengajar maju ke 09.30-12.00. Rata-rata kami butuh 2-3 jam sehari untuk pelaksanaan kelas. Di luar jam kelas, Vi dibebaskan mengatur waktunya sendiri untuk berkegiatan bebas sesuai minat, asal kewajiban hariannya sudah selesai.
Pustaka Hidup dan Narasi
Tak diragukan lagi, pustaka hidup (living books) memang materi belajar yang tiada duanya! Vi menikmati semua bacaannya. “Tambah lagi … plisss!” sering dia lontarkan waktu diberi tahu bahwa porsi bacaan Alkitab atau Ramayana pagi itu sudah habis, dan baru akan disambung esok harinya, padahal dia sangat penasaran tentang kelanjutan cerita. “Apa itu?” tanyanya setiap kali mendengar kata yang asing baginya – dan dengan demikian menambahkan puluhan kosakata baru dalam perbendaharaan bahasanya selama setahun ini. Diskusi antusias juga acap terjadi kalau dia merasa ingin tahu lebih jauh tentang tokoh tertentu atau peristiwa tertentu, seperti: “Ini cerita sungguhan atau karangan?” – hasrat alamiahnya untuk membedakan fiksi dari realitas. “Mengapa dia harus berbuat begitu?” – harapan untuk bisa memahami tindakan seorang tokoh dari sudut pandang si tokoh. Dan lain sebagainya.
Yang menghalangi Vi untuk bebas menikmati bacaannya, terutama di cawu pertama, adalah kewajiban memberi narasi. Meskipun sudah tidak menolak, Vi masih ogah-ogahan kalau tiba gilirannya menyimak bacaan wajib, karena tahu setelah sekali dengar, dia mesti disuruh menarasikan bacaan itu. “Matematika dulu aja!” elak Vi, kalau saya mengeluarkan bacaan wajibnya. Tapi kalau saya mengiyakan pertanyaan “Ini nggak narasi to?” – bacaan bebas – dia langsung sumringah dan siap mendengar.
Menghadapi situasi ini, saya berusaha mencacah agar porsi bacaan sekali dengarnya betul-betul pendek. Hanya 1-2 ayat Alkitab atau 1-2 alinea singkat. Sejak awal, Vi menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang narator yang detil. Dia selalu menceritakan kembali semua bacaan secara rinci, dengan pilihan diksi yang ketepatan maknanya beberapa kali mengejutkan saya.
Ada kalanya juga perkiraan saya meleset, dan porsi bacaan yang saya bacakan terlalu panjang sehingga Vi kesulitan menarasi, maka saya katakan padanya, “Ceritakan saja seingatmu!” atau saya bantu dengan pertanyaan pancingan. Tapi saya tidak pernah sekali pun membebaskan dia dari kewajiban memberi narasi, sekalipun dia bilang, “Aku nggak ingat!” (dan setelah ‘didesak’, memang akhirnya ada saja bagian yang berhasil dia ingat). Agar kondisi ini tidak sering terjadi, saya suka bertanya, “Sudah siap?” sebelum mulai membaca. Atau kalau melihat daya konsentrasinya sedang lemah, saya memperpendek bacaan. Atau saya minta persetujuannya tentang panjang bacaan yang dia inginkan, “Sampai di sini dulu atau mau ditambah lagi?”
Secara alamiah, jam terbang membuat Vi semakin lancar menarasi. Maka sedikit demi sedikit saya memperpanjang bacaan narasinya. Di akhir cawu ketiga, kemampuan narasi Vi sudah jauh meningkat. Dia bisa menarasikan secara detil satu cerita utuh yang berhalaman-halaman panjangnya dalam sekali dengar. Dan justru karena sekarang dia merasa narasi itu jauh lebih mudah dibanding materi pelajaran matematikanya, sikap Vi di cawu ketiga berkebalikan 180 derajat dibanding cawu pertama. “Matematikanya nanti saja, bacaan dulu!”
Dalam metode CM, narasi lisan adalah metode evaluasi yang paling diutamakan di semua tahun akademis. Narasi lisan melatih anak agar bisa cepat menangkap intisari bacaan dan mahir mengungkapkan opininya secara spontan. Tetapi supaya variatif, saya tidak selalu meminta narasi lisan. Ramayana Vi narasikan lewat gambar yang kemudian dia beri keterangan cerita. A Child’s History of the World dinarasikan lewat tanya jawab, seperti kuis. Pernah juga atas inisiatif sendiri, dia membuat narasi tertulis dari fabel Aesop.
Kebiasaan langsung menarasi dari sekali dengar ini berdampak signifikan terhadap habit of verbal attention, perkembangan keterampilan berbicara, retensi memori, dan kesigapan asosiasi Vi. Di mana saja, dengan cepat dia memahami topik yang sedang dibicarakan. Dia bisa menceritakan dengan lancar berita yang dia dengar, melaporkan peristiwa yang dia alami. Dia juga cepat teringat pada kisah tertentu yang pernah dia simak, lalu menghubungkan kisah itu dengan hal yang sedang dia hadapi. “Ya, ya, seperti cerita Putri Salju ya, Ma!” katanya mengomentari pesan saya supaya hati-hati membukakan pintu untuk orang tak dikenal (waktu itu barusan kejadian, ada maling berkeliaran di wilayah kampung kami).
Membaca
Belajar membaca sudah sempat saya mulai sejak Agustus 2012, saat Vi berumur 6 tahun. Saya mengikuti langkah-langkah yang disarankan Charlotte Mason: memadukan fonetik dan sight-reading dengan memakai living text. Dan hasilnya, Vi relatif mulai bisa membaca. Tapi pelajaran membaca saya hentikan dulu seiring ditundanya Tingkat 1 sampai tahun 2013. Dalam setahun, kemampuan membaca Vi agak meningkat atas upaya otodidaknya, meski belum bisa dibilang lancar. Jadi, September 2013, saya tidak perlu memulai kegiatan belajar membaca dari dasar lagi. Kami langsung memakai terjemahan naskah Hariette Taylor Treadwell sebagai materi pelajaran membaca.
Dalam pelajaran membaca tahap awal ini, yang saya prioritaskan adalah kemampuan membaca tanpa menggerakkan bibir atau menggerakkan jari di bawah teks; membaca dengan intonasi yang tepat sesuai tanda baca (titik, koma, tanda seru, dsb.); serta membaca secara teliti karena Vi punya kecenderungan untuk menebak bunyi kata yang sedang dibacanya tanpa betul-betul mengeja. Saya berusaha konsisten memastikan dia selalu membaca persis sesuai teks yang tertulis. Saya tidak pernah membiarkan Vi melewatkan begitu saja imbuhan (misalnya “memukuli” dibaca “memukul”; “mengharapkan” dibaca “mengharap”) atau melakukan kekeliruan baca sekecil apa pun. Habit of perfect execution.
Baru dua minggu, Vi mulai terlihat bosan dengan naskah Treadwell yang repetitif dan kurang menantang. Saya pun mencarikan materi lain. Pilihan saya jatuh pada buku-buku cerita tipis terbitan lama (koleksi suami semasa kecil) – cerita rakyat dari berbagai negara. Sayangnya kebanyakan buku terbitan lama itu kurang rapi formatnya: tidak jelas pembagian alineanya, pemakaian tanda baca tak karuan, dan lain-lain. Dari sudut pandang metode CM, ketidakrapian semacam itu merugikan sebab pelajaran membaca secara tidak langsung adalah juga pelajaran tata bahasa. Kalau contoh bacaannya semrawut, pemahaman anak tentang tata bahasa jadi ikut semrawut.
Buku cerita terbitan lama kami tinggalkan dan ganti dengan Kumpulan Dongeng Klasik Nusantara (Cervienna Susilo). Meskipun di toko, banyak tersedia pilihan kumpulan cerita rakyat Nusantara, sebagian besar saya dapati mutunya mengecewakan – baik dari aspek keindahan bahasa maupun ilustrasi. Saya pilih buku ini karena menurut saya paling lumayan: ukuran hurufnya agak besar sehingga nyaman dibaca untuk pembaca pemula, gaya bercerita relatif baik walau agak monoton dari cerita ke cerita, tidak terlalu menggurui, ilustrasinya digarap cukup serius. Dengan durasi sesi membaca per hari 10 menit, sehari kurang lebih 2-3 halaman, di akhir cawu pertama Vi sudah hampir selesai membaca semua cerita di buku ini.
Melihat peningkatan kemampuan membaca Vi yang cukup signifikan, saya memutuskan Kumpulan Dongeng tak perlu dilanjutkan. Sejak semula saya memang berencana menjadikan buku ini sebagai jembatan transisi ke “buku sungguhan” – novel anak yang lebih tebal dan minim ilustrasi. Begitulah, di cawu 2, materi baca Vi langsung berupa living books, yaitu terjemahan Charlotte’s Web (EB White) – yang dia selesaikan menjelang pertengahan cawu 3. Lalu dilanjutkan dengan Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela (Tetsuko Kuroyanagi). Sampai akhir cawu 3 ini, Totto-chan baru habis sepertiga dan masih akan kami teruskan untuk Tingkat 2 nanti.
Menulis
Untuk pelajaran menulis, saya tidak memakai buku pelajaran khusus. Cukup mencetak kertas bergaris dari situs Donna-Young. Latihan menulis Vi saya mulai dari kertas garis yang paling lebar, ukuran 1 inchi. Saya tuliskan contoh hurufnya dengan pensil untuk Vi tebalkan. Kalau terlihat goresannya mulai mantap, saya minta dia menulis huruf sendiri sesuai contoh dari saya. Secara bertahap saya memakai kertas bergaris yang lebih sempit, terakhir di ukuran 3/8 inchi.
Semula saya mengajarinya huruf tegak (manuscript), tapi setelah mempertimbangkan banyak referensi, akhirnya saya ubah haluan menjadi huruf miring (italics). Dalam praktek, lagi-lagi prinsipnya adalah habit of perfect execution, tidak perlu banyak-banyak, asalkan cara menulis hurufnya benar. Durasi pelajaran menulis sekitar 5-10 menit sekali sesi. Di cawu pertama rutin setiap hari, tapi di cawu dua dan tiga lebih jarang, hanya 2-3 kali seminggu.
Cawu pertama, pelajaran menulis Vi sangat sederhana: huruf-huruf lalu kata-kata sebelum lalu kalimat sederhana. Secara tidak langsung, di dalamnya ada pengetahuan tentang kapan harus memakai huruf kapital serta titik dan koma. Cawu kedua, dia mulai belajar menulis ayat-ayat Alkitab, puisi-puisi pendek, atau penggalan alinea. Terkandung di situ, tambahan pengetahuan tentang cara menuliskan tanda kutip, tanda kurung, titik dua, titik koma. Cawu ketiga, dia menulis satu cerita Aesop utuh. Di sini saya harap dia mulai menginternalisasi cara menulis judul, peletakan alinea, dan dialog yang lebih kompleks.
Alkitab dan Spiritualitas
Saya memasang target, tiap hari Vi memberikan narasi untuk dua perikop Alkitab. Di cawu pertama, perikop itu sangat pendek, hanya 1-2 ayat. Tapi masuk cawu ketiga, perikopnya sudah jauh lebih panjang, bisa belasan ayat sekali baca – tergantung panjang ayatnya juga. Saya selalu berusaha menyesuaikan panjang perikop per hari dengan kapasitas narasi Vi.
Di antara semua subjek, boleh dibilang bacaan Alkitab inilah yang paling konsisten kami kerjakan tiap hari, nyaris tak pernah absen. Hasilnya memang jadi melampaui ekspektasi. Semula saya hanya berharap bisa menyelesaikan satu kitab saja (Kejadian) di akhir Tingkat 1. Ternyata saat cawu ketiga berakhir, Vi sudah membaca enam setengah kitab (lima kitab Musa, ditambah Yosua, dan terakhir sampai pertengahan Hakim-hakim). Ini karena Vi sendiri yang juga sangat antusias menyimak kisah-kisah Alkitab – apalagi kalau ceritanya seru seperti Yusuf dibuang ke Mesir atau Simson diperdaya oleh Delila, dia bakal minta sesi Alkitabnya diperpanjang lagi dan lagi.
Untuk bacaan penunjang, kami memakai buku Wisdom and the Miller. Isinya refleksi tentang ayat-ayat nasihat di Amsal yang diilustrasikan lewat pengalaman hidup keluarga Miller. Vi suka buku ini. Kisah-kisahnya sangat mengena sekali dengan kehidupannya sebagai anak-anak. Buku ini termasuk bacaan bebas yang tidak perlu Vi narasikan. Hanya, tiap usai membaca, saya pancing Vi untuk berdiskusi soal berbagai isyu etis dari bacaan itu, seperti kemalasan, kesombongan, sikap menang-menangan, dan lain-lain. Diskusi ini biasanya tidak lama-lama, tetapi kalau Vi sedang mau bicara, banyak hal baru yang saya serap dari sudut pandangnya mengenai isyu tersebut.
Masih terkait Alkitab, Vi punya tugas resitasi: menghafalkan perikop Alkitab pilihan. Waktu untuk resitasi pendek sekali, barangkali 1-3 menit saja, tapi karena dikerjakan tiap hari, tanpa sadar banyak juga yang bisa dia hafalkan dalam setahun ini, diawali dari Doa Bapa Kami (Matius 6:9-13), Mazmur 150, Ajaran Utama (Markus 12:28-31), Ucapan Bahagia (Matius 5:3-12), Sepuluh Perintah (Keluaran 20:1-17), dan terakhir Mazmur 113.
Sastra dan Puisi
Vi sudah tuntas membaca terjemahan Ramayana karya Rajagopalachari. Target bacaan Aesop juga tercapai semua. Dongeng-dongeng Blue Fairy Book (Andrew Lang) kurang satu cerita saja yang belum terbaca, yakni kisah Alibaba. Beautiful Stories from Shakespeare (Edith Nesbit) kurang satu cerita juga, The Twelfth Night. Parables from Nature (Mrs. Gatty) baru separuh dari target. Kendala terbesarnya apa lagi kalau bukan bahasa. Cerita-cerita yang panjang ini perlu upaya ekstra untuk menerjemahkannya. Seandainya semua naskah sudah tersedia dalam bahasa Indonesia, tentu target lebih mudah tercapai. Ini harus jadi saya cermati baik-baik, sebab ke depan materi bacaan Vi yang harus saya terjemahkan tentu bukan makin pendek. Oh ya, Just So Stories (Rudyard Kipling) saya drop sama sekali dari daftar bacaan sastra kami setelah cerita ketiga, karena amat sulit memindahkan permainan bahasa Kipling ke dalam bahasa Indonesia.
Puisi juga bikin saya pusing mencari materi. Setelah menghabiskan puisi-puisi Abdurrahman Faiz di cawu satu, saya bingung puisi mana lagi yang bisa saya bacakan untuk Vi. Saya coba terjemahkan beberapa puisi Inggris ke dalam bahasa Indonesia, tapi energi yang dituntut terlalu besar. Lalu saya bacakan beberapa puisi Taufiq Ismail dari kumpulan puisi Sajak dari Ladang Jagung, yang isinya agak cocok untuk audiens anak. Setelah itu mentok. Wawasan saya tentang puisi anak Indonesia memang terbatas sekali. Saya butuh berburu lebih serius.
Sejarah
Vi sudah membaca A Child’s History of the World (V. Hillyer) sampai ke era Xerxes (abad ke-6 BC). Terakhir sampai kisah bangsa Yunani memukul mundur Xerxes, termasuk legenda Leonidas dan 300 petarungnya. Bacaan lain yang kami pakai untuk menambah wawasan Vi soal sejarah dunia kuno adalah Life in the Great Ice Age(Michael & Beverly Oard), Tut’s Mummy Lost and Found (Judy Donelly), The Trojan Horse (Emily Little), dan Usborne’s Ancient World. Yang belum kami jadi lakukan adalah membuat timeline dari peristiwa-peristiwa sejarah yang telah Vi baca itu. PR untuk Tingkat 2!
Sejarah Indonesia masih akan saya tunda sampai Tingkat 2. Ini lagi-lagi terkait sulitnya mendapat materi bacaan sejarah yang pas untuk anak-anak. Sepertinya memang saya terpaksa harus menulis sendiri materinya, dan saat ini sedang mengumpulkan materi dan mempersiapkan diri. Semoga Tuhan memampukan saya! *keder
Geografi dan Kisah Alam/Sains
Menggunakan buku Elementary Geography (Charlotte Mason) dan Home Geography(Long), Vi tidak kesulitan mengikuti petunjuk Ambleside Online di dua cawu pertama. Cawu pertama, mempelajari tentang bumi itu bulat dan bahwa posisi kanan, kiri, depan, belakang itu tergantung dari arah mana kita memandang. Cawu kedua, belajar arah mata angin utama (utara, selatan, timur, barat) dengan menjadikan matahari sebagai patokan. Tapi di cawu ketiga, pelajaran geografi tak sempat tersentuh, sehingga pelajaran selanjutnya tentang perbintangan, garis khatulistiwa, garis bujur, dan horizon mesti ditunda ke Tingkat 2.
Untuk kisah alam, Vi selesai membaca berbagai kisah binatang pasien dokter hewan James Herriot dalam bukunya Treasury for Children serta beberapa cerita ekstra dari serial Among the People.
Matematika
Target saya sejak awal adalah satu lesson plan MEP sehari, lima seminggu. Di cawu pertama, rencana itu berjalan lancar. Kemudian jadwal ini sempat sangat kacau di cawu kedua, karena berbagai alasan – ya sibuk, ya ada acara keluarga, ya malas, dan sebagainya. Namun menjadi relatif teratur lagi di cawu ketiga sampai Vi akhirnya menuntaskan lesson plan terakhir, ke-175, pada hari Kamis lalu, lalu menggarap tes IPMA-nya dengan skor 20/20 alias 100.
Pelajaran MEP bersifat teacher-intensive, butuh pendampingan konstan dari fasilitator. Apalagi soalnya berbahasa Inggris, sehingga harus saya terjemahkan untuk Vi. Di cawu pertama, ada banyak alat peraga yang harus saya siapkan sesuai lesson plan: kartu angka, gambar ilustrasi, rencana aktivitas pemanasan, dan lain-lain. Masuk ke cawu kedua dan ketiga, saya rasa semua itu sudah tak terlalu krusial karena pemahaman dasar matematika Vi sudah terbentuk dengan baik, dan kami langsung mengerjakan lembar kerjanya saja.
Problem utama Vi di sesi ini adalah fokus. Kecenderungan kinestetik membuatnya sulit diam menggarap lembar kerja, apalagi tempat belajar kesukaannya adalah kamar tidur, yang seolah selalu menggoda dia untuk jumpalitan. Sepertinya tak pernah ada satu sesi matematika pun yang lewat tanpa saya harus mengingatkannya, “Fokus!” – dan beberapa kali harus berjuang agar tidak emosi 🙂
Secara bertahap, tingkat kesulitan soal-soal lembar kerja MEP pun meningkat. Anak dituntun untuk betul-betul menguasai konsep per konsep secara total, dengan cara menyajikan konsep-konsep itu dalam berbagai variasi soal. Meski tak ada yang akhirnya tak bisa dia kerjakan setelah paham maksud soal itu, Vi juga sepertinya sadar bahwa pelajaran matematika cawu 2 dan 3 tak lagi semudah cawu 1. Matematika kini dianggapnya lebih berat dibanding narasi, sehingga dia malah seringkali meminta sesi narasi didahulukan, sementara matematika ditaruh di belakang. Kadang dia nyaris frustrasi kalau soalnya dirasa terlalu rumit. Sebagai fasilitator, saya harus berusaha agar Vi bisa melihat soal itu secara lebih sederhana, sehingga tidak patah semangat untuk menemukan jawabannya. Di akhir cawu 3, satu sesi matematika paling cepat selesai dalam waktu 20 menit, tapi lebih sering berkisar 30-40 menit.
Bahasa Asing dan Daerah
Untuk subjek bahasa Inggris, gonta-ganti cara juga terjadi. Cawu pertama, kami mengikuti poin-poin lesson plan dari situs X, tapi lalu saya merasa kurang sreg karena agak ribet prosesnya (harus mengunduh berkas-berkas, mencetak alat peraga, dsb.). Kemudian cawu kedua, saya ganti metodenya dengan model hafalan cerita yang Vi suka. Naskah hafalannya saya karang sendiri dengan kalimat-kalimat sederhana. Vi menghafalkan satu kalimat per hari. Tapi baru dua cerita – Cinderella dan Snow White – proses ini berhenti, karena saya kurang konsisten dan minat Vi juga menurun.
Di cawu tiga, saya ubah lagi caranya gara-gara membaca Endangered Minds (Jane Healy). Healy menerangkan bahwa otak anak bisa dipersiapkan agar kelak mudah belajar bahasa asing dengan cara melatihnya secara konsisten mendengar dan mengucapkan kosakata asing dengan pronunsiasi yang sebaik mungkin. Ekspos pada penutur asli akan sangat berharga. Nah, berhubung kami tak punya akses ke penutur asli, jadilah saya minta Vi untuk buka situs Starfall, mendengarkan berbagai kata dan frase diucapkan oleh suara penutur asli, lalu menirukannya, serta menghafalkannya. Cara ini ternyata nyaman buat kami berdua.
Untuk bahasa daerah, hanya sempat berjalan beberapa kali sesi di cawu pertama. Setelah itu saya merasa kehabisan energi dan tak punya sumber daya untuk mempersiapkan materinya. Semoga di tingkat 2 nanti ini bisa tergarap lebih baik.
Menyanyi dan Instrumen Musik
Vi sempat berlatih solfege dan vokal di bawah bimbingan seorang kenalan, guru musik yang mumpuni. Sayangnya lokasi guru tersebut terlalu jauh, sehingga akhirnya kursus ini hanya bertahan sekitar setengah tahun, dan sampai sekarang kami belum menemukan gantinya. Untuk latihan instrumen musik, saya masih ingin Vi kembali belajar piano. Tapi dengan berbagai kesibukan kami sepanjang tahun ini, sepertinya kami berdua sama-sama belum siap berkomitmen untuk satu tambahan kursus baru.
Studi Komposer dan Lukisan
Dua subjek ini pun masih berjalan tersendat-sendat. Sempat terlaksana pada minggu-minggu awal. Kami membaca biografi Haydn, mendengar musiknya. Mengamati serta menarasikan beberapa lukisan Renoir dan Copley. Namun, lagi-lagi sepertinya lebih karena inkonsistensi saya sebagai fasilitator, sesi musik dan lukisan lantas tak diteruskan, dan di cawu tiga sama sekali tak sempat disentuh.
Nature Walk dan Nature Study
Yang rutin dikerjakan baru nature walk, lewat partisipasi kami dalam hiking sebulan sekali dan berbagai kegiatan kopi darat yang diselenggarakan klub keluarga pecinta alam Nature PotTrack. Sementara nature study tak kunjung terlaksana karena saya terus menunda-nunda membaca buku panduannya, Handbook of Nature Study (Anna B. Comstock) yang super tebal itu. Buku itu baru saya baca di akhir cawu ketiga, terkait persiapan program nature study bersama teman-teman Nature PotTrack, yang rencananya akan mulai dijalankan akhir tahun ini.
Olahraga, Tari, dan Hasta Karya
Vi belajar berenang di cawu pertama dan kedua. Lewat latihan dua kali seminggu dengan durasi 1,5-2 jam per datang, klub renang kami membantunya berproses, mulai dari sama sekali tak bisa berenang sampai akhirnya bisa menguasai empat gaya: bebas, dada, punggung, dan kupu-kupu – dua gaya yang pertama sudah relatif mahir, dua yang terakhir setengah mahir. Akhir tahun 2013, Vi memutuskan tidak memperpanjang kursus renangnya karena merasa sudah cukup bisa. Dia tidak tertarik menjadi atlet renang dan menolak latihan yang lebih keras lagi.
Selain berenang, Vi sempat menjajagi latihan senam artistik, tetapi tempat latihan yang terlalu jauh dari rumah dan rasa tidak cocok dengan pola pelatihannya membuat kami tidak bertahan lama di sana. Saat ini, Vi sedang mulai ikut latihan aikido bersama teman-temannya. Saya lihat aikido bisa jadi kesempatan bagus untuk meningkatkan fokus, ketahanan mental, dan kelenturan fisik Vi.
Latihan tari ballet konsisten dilakukan oleh Vi karena dia memang sangat berminat. Malah dia sendiri yang usul supaya lesnya ditambah dari satu kali seminggu jadi dua kali. Sempat juga Vi mencoba latihan tari tradisional di sebuah sanggar, tapi lagi-lagi kendala teknis – jarak dan jadwal latihan yang kurang cocok – membuat Vi berhenti, walaupun dia sebetulnya cukup suka dan sudah sempat ujian dan pentas satu kali.
Soal hasta karya, saya tidak pernah membuatkan sesi khusus. Benak Vi sepertinya tak pernah kehabisan ide kreatif untuk (belajar) menciptakan sesuatu. Mulai dari menjahit bantal atau baju boneka, belajar merajut dari teman gereja, mengotak-atik berbagai prakarya kertas, sampai yang terakhir ini dia sibuk membuat – dan berjualan! – rainbow loom.
Bacaan Bebas
Sejak setahun sebelumnya, kami sudah mulai menyelesaikan hampir semua bacaan bebas yang direkomendasikan Ambleside Online: Charlotte’s Web (E.B. White), Peter Pan (James M. Barrie), Pinochhio (Carlo Collodi), St. George and the Dragon (Margaret Hodges), The Velveteen Rabbit (Margery Williams), Rumah Kecil di Rimba Besar (Laura Ingalls Wilder), Pocahontas (Ingri D’Aulaire). Dua bacaan bebas – King of the Golden River (John Ruskin) dan The Red Fairy Book (Andrew Lang) – kami kesampingkan karena tidak punya buku fisiknya, dan sejak Kindle saya hilang, saya kesulitan membacakan e-book.
Untuk tambahan, kami membaca Heidi (Johanna Spyri), yang sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia, dan separuh Mr. Popper’s Penguins (Richard Atwater) yang sudah kami miliki buku fisiknya di rumah. Kedua novel ini saya ambil dari daftar bacaan bebas untuk Tingkat 2. Ternyata Vi jatuh cinta pada novel Heidi sampai minta dibacakan ulang beberapa kali. Bacaan lain yang sangat Vi sukai di tahun ini adalah mitologi Yunani Greek Gods and Heroes (Alice Low).
Evaluasi per Catur Wulan
Kami mengikuti model tiga catur wulan (term) seperti yang direkomendasikan situs Ambleside Online. Evaluasi cawu pertama dilangsungkan Desember 2013, cawu kedua Mei 2014, dan cawu ketiga di bulan ini. Caranya sederhana saja, saya meminta dia memilih mana bacaan wajibnya yang ingin dia narasikan dari beberapa subjek: sejarah, sastra, natural history (kisah tentang binatang atau alam), dan Alkitab.
Tidak ada persiapan khusus untuk hari evaluasi. Memang di sini, evaluasi bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak isi bacaan yang berhasil mengendap di benak anak. Vi harus mengandalkan ingatannya saja saat memberikan narasi di hari evaluasi ini. Saya hanya bertanya kepadanya: “Dari antara fabel Aesop (atau dongeng atau sejarah atau kisah Alkitab) yang sudah kita baca, kamu mau menarasikan yang mana sekarang?” Vi membuat pilihan, lalu langsung mulai memberikan narasinya.
Berbeda dari narasi di hari-hari biasa, khusus untuk evaluasi cawu ini saya mencatat semua yang ia narasikan. Kami sama-sama menghadap komputer. Vi bercerita, lalu saya mengetik ceritanya itu. Setelah selesai, saya membacakan kembali narasinya tadi, supaya dia bisa menambahkan atau memperbaiki yang dia rasa perlu. Tanpa mengubah substansi narasinya, saya menunjukkan kepada Vi bagaimana menyunting naskah narasi itu – soal pemakaian huruf besar-kecil, tanda kutip, atau pemenggalan kalimat.
Contoh narasi awal Vi tentang kisah “Permata dan Kodok” (Grimm) yang saya ketik cepat-cepat sembari dia menuturkannya:
Ada satu keluarga punya anak perempuan. Ibunya mati terus ayahnya menikah dengan perempuan lain yang juga punya anak gadis. Perempuan itu tidak suka pada anak suaminya. Anak itu mengenakan baju yang lusuh dan disuruh mengambil air. Dia melihat seorang Nenek yang sebenarnya Peri lalu Nenek meminta air terus kata si gadis itu silakan kamu minum terus kata neneknya kamu sudah memberiku minum dan aku akan memberimu setiap kata yang keluar dari mulutmu akan berjatuhan permata dan berlian terus ketika dia pulang ibuny amarah-marah kenapa kau lama sekali maafkan aku bu katanya lalu keluarlah permata dan berlian dari mulutnya dari mana kau bisa seperti itu yang besar juga disuruh mengambil air kalau ada nenek yang tua harus diberi minum biar dia juga seperti yang bungsu terus yagn besar tidak mau terus dipaksa terus akhrinya dia mau terus waktu dia mengambil air dilihatnya seorang putri raja yang ternyata itu peri yagn sama seperti yang menemui adiknya terus putri raja itu minta minum tapi si anak besar tidak mau memberi minum terus yagn besar juga diberi hadiah setiap kata yang diucapkannya akan keluar kodok dan ular terus ketika dia pulang ibunya berkata gimana nak terus dia berkata ya beginilah bu keluarlah kodok dan ular dari mulutnya ibu tiri itu marah dan mengusir yagn kecil terus yagn kecil pergi ke hutan terus dia bertemu dengan seorang pangeran. Pangerannya bilang kenapa kamu di sini aku diusir dari rumah lalu keluarlah berlian dan permata dari mulutnya. Pangeran sangat terkejut melihat itu. Dia ingin menikahi gadis itu. Lalu yang besar akhirnya juga terusir dari rumah soalnya sifatnya semakin lama semakin jahat dan akhirnya ibunya mengusirnya juga dari rumah akhirnya dia mati karena kelaparan.
Kemudian setelah kami baca ulang dan sunting bersama-sama, hasilnya menjadi seperti ini:
PERMATA DAN KODOK (Grimm)
Ada satu keluarga punya anak perempuan. Ibunya mati. Ayahnya menikah dengan perempuan lain yang juga punya anak gadis. Perempuan itu tidak suka pada anak suaminya. Anak itu mengenakan baju yang lusuh dan disuruh mengambil air. Dia melihat seorang nenek yang sebenarnya Peri. Nenek meminta air.
Kata si gadis, “Silakan kamu minum.”
Kata nenek, “Kamu sudah memberiku minum dan aku akan memberimu hadiah. Setiap kata yang keluar dari mulutmu akan berjatuhan permata dan berlian.”
Ketika dia pulang ibunya marah-marah, “Kenapa kau lama sekali?”
“Maafkan aku, Bu,” katanya, lalu keluarlah permata dan berlian dari mulutnya.
“Dari mana kau bisa seperti itu?” Lalu anak yang besar juga disuruh mengambil air. “Kalau ada nenek yang tua, harus diberi minum,” biar dia juga seperti yang bungsu.
Anak yang besar tidak mau, tapi dipaksa. Akhirnya dia mau. Waktu dia mengambil air, dilihatnya seorang putri raja yang ternyata itu peri yang sama seperti yang menemui adiknya. Putri raja itu minta minum, tapi si anak besar tidak mau memberi minum. Lalu anak yang besar juga diberi hadiah: setiap kata yang diucapkannya akan keluar kodok dan ular.
Ketika dia pulang, ibunya berkata: “Bagaimana, Nak?”
Dia berkata, “Ya, beginilah, Bu.” Keluarlah kodok dan ular dari mulutnya.
Ibu tiri itu marah dan mengusir anak yang kecil.
Anak yang kecil pergi ke hutan, lalu dia bertemu dengan seorang pangeran. Pangeran bilang, “Mengapa kamu di sini?”
“Aku diusir dari rumah,” keluarlah berlian dan permata dari mulutnya.
Pangeran sangat terkejut melihat itu. Dia ingin menikahi gadis itu. Anak yang besar akhirnya juga terusir dari rumah, soalnya sifatnya semakin lama semakin jahat. Akhirnya ibunya mengusirnya juga dari rumah dan dia mati karena kelaparan.
Refleksi Akhir
Lepas dari berbagai target yang tak tercapai, saya bersyukur pada Tuhan bahwa akhirnya kami bisa melewati tahun pertama fase pendidikan terstruktur Vi. Jujur, CM education is not always fun. Ideal-idealnya setinggi bintang, prosesnya menantang dan kadang kala melelahkan, baik untuk siswa maupun fasilitator. Buat Vi, menjalani kelas saat dia sebetulnya sedang ingin bermain-main sesukanya itu butuh penyangkalan diri. Begitu pula saya, yang sering kewalahan menyiapkan materi bacaan, kejar tayang menerjemahkan teks yang masih berbahasa Inggris. Yah, kami sedang dilatih untuk mempraktekkan prinsip pendidikan karakter Charlotte Mason: ada waktu-waktu kita tetap mengerjakan sesuatu bukan karena kita menyukainya, tapi karena kita tahu itu adalah hal yang benar untuk dikerjakan.
Bukan pula berarti dalam prosesnya sama sekali tidak ada kegembiraan lho, ya! Pustaka hidup yang indah-indah bahasa maupun kontennya itu senantiasa menarik hati. Kurikulum yang kaya itu sungguh memuaskan, mendorong Vi bertumbuh kembang dalam segala aspek. Saya melihat benih-benih baik pendidikan CM itu mulai bertumbuh: kefasihan bicara dengan kosakata dan tata bahasa yang baik, tulisan yang rapi, minat membaca yang tinggi, wawasan yang luas, rasa ingin tahu tak terbatas, serta tumbuhnya kesadaran etis tentang berbagai isyu dalam diri Vi. Dan ketika suatu hari Vi menunjukkan dengan bangga dua lembar kertas yang ditulisinya bolak-balik, lalu saya baca: ternyata dia mengarang dongeng sendiri, terinspirasi oleh Blue Fairy Book-nya Andrew Lang! — itu sungguh bonus kejutan yang sangat istimewa bagi perjalanan Tingkat 1 kami.
no replies