Saya mulai tergugah memikirkan soal pendidikan anak saat menjadi guru preschool di masa senggang selama menanti sidang skripsi. Sejak dulu saya memang suka sekali bermain dengan anak-anak, menjaga para ponakan; maka, ketika ditawari mengajar di sekolah milik kakak seorang kawan, dengan berbahagia saya menerimanya.
Setelah menghadapi anak bukan lagi sekadar teman bermain, tiba-tiba saya menyadari beratnya menjadi pendidik. Melatihkan kebiasaan baik, mengubah perilaku buruk, mengajarkan kemampuan dasar, meredakan tangis dan amarah, tugas-tugas ini terlalu sulit untuk saya yang nyaris tidak tahu apa-apa. Saya merasa butuh amunisi ilmu.
Mulailah saya berburu buku-buku pendidikan dan berdiskusi dengan rekan yang lebih ahli. Saya mendapat pencerahan, tips, dan trik menghadapi anak. Namun, tak jarang saya dapati teori dan kenyataan berbeda. Laksana tumpukan tisyu, yang kalau kita ambil satu di bawahnya ada lagi, masalah terus bermunculan silih berganti. Ini salah satunya:
Trouble Monday
Di suatu waktu, saya mengajar kelas yang berisi lima anak laki-laki superaktif. Awalnya saya pikir mereka selalu sulit diatur. Namun, setelah saya observasi dengan seksama, intensitas “keliaran” mereka paling tinggi di hari Senin; sebaliknya, mereka paling tenang di hari Jumat. Mengapa bisa begitu ya?
Usut punya usut, setelah mewawancara anak-anak itu dan para pengasuh mereka, ternyata di akhir pekan, anak-anak ini dimanjakan habis-habisan oleh orangtua mereka. Sepertinya karena merasa sibuk bekerja dari Senin sampai Jumat, orangtua beranggapan akhir pekan adalah saatnya memanjakan anak. Mereka lantas menuruti apa pun permintaan anak dan tidak mengawal latihan kebiasaan baiknya.
Jadi, kalau selama hari kerja, anak-anak sudah dibiasakan membereskan mainan usai bermain di sekolah, nanti pada hari Senin mereka bakal lupa. Tadinya mereka sudah bisa pakai sepatu sendiri, hari Senin mereka menangis lagi minta dipakaikan sepatu. Tadinya mereka sudah bisa duduk cukup anteng, hari Senin mereka sudah jungkir balik lagi. Satu hari Senin bagi saya rasanya seperti satu tahun.
Trouble Monday membuat saya tersadar bahwa orangtua memegang peran paling penting dalam pendidikan anak. Sebagus apa pun sekolah mengajar, itu bisa jadi percuma kalau keluarga berbeda arah. Intensitas pertemuan guru dan murid hanya beberapa jam sehari, jadi sekolah bukan penuntas masalah perilaku anak seperti yang kita harapkan.
Paradigma Baru
Dari menjadi guru, saya melihat langsung betapa anak-anak sangat butuh perhatian, kasih sayang, dan ajaran untuk hidup baik di tengah masyarakat – bukan nilai-nilai akademis. Saya jadi bertekad, kelak setelah punya anak, saya tidak akan sibuk mengejar karir, tapi fokus pada proses pendidikan anak-anak saya. Saya ingin mendidik sendiri anak-anak saya di usia prasekolah mereka.
Setelah menikah, saya mengungkapkan keinginan ini ke suami. Ternyata suami sangat setuju. Jadilah sejak hamil anak pertama, kami sudah sibuk mencari berbagai macam informasi mengenai homeschooling.
Awalnya, saya ibu yang sangat ambisius. Saya ingin anak saya berprestasi di usia muda! Ketika hamil anak pertama, saya sudah siapkan bahan untuk mengajari dia membaca sejak bayi. Rasanya pasti bangga sekali kalau anak saya mampu melakukan sesuatu yang anak-anak lain seusianya belum mampu, orang-orang pasti tercengang!
Pemahaman saya perlahan-lahan bergeser setelah bertemu para orangtua homeschooler. Materi dan cara belajar yang diceritakan para homeschooler sangat berbeda dari sekolah. Ada beragam kurikulum dan metode homeschooling yang bisa dipilih, mulai dari metode klasik yang sangat terstruktur sampai unschooling yang tidak terstruktur sama sekali. Namun, tujuan semua keluarga itu kurang lebih sama: mereka ingin anak-anak menikmati proses belajar. Orangtua tidak berperan sebagai guru, tapi teman belajar.
Benak saya terkenang masa lalu. Saya dulu ke sekolah karena suka bertemu teman-teman, bukan karena menikmati pelajarannya. Saya lalu berandai-andai. Seandainya dulu saya belajar dengan cara yang memerdekakan, belajar bukan demi lulus ujian, belajar karena tahu alasan belajar, tentu saya akan belajar dengan senang hati dan lebih menyukai proses belajar.
Saya dan suami akhirnya paham bahwa homeschooling bukan sekadar memindahkan sekolah ke rumah. Memilih homeschooling berarti kami harus keluar dari anggapan bahwa pendidikan itu melulu proses akademis, pada usia berapa pun, tidak hanya di usia prasekolah.
Refleksi tentang Visi
Pada tahun-tahun pertama, saya homeschooling dengan metode eklektik. Saya mencampurkan teknik dari berbagai metode sebab saya belum menemukan satu metode yang benar-benar tepat dan cocok. Saya anggap eklektik itu yang terbaik karena bisa menyesuaikan dengan kondisi anak-anak. Sampai kemudian pada tahun 2010, saya bertemu dengan praktisi metode Charlotte Mason yang menanyai saya, “Eklektik boleh, tapi apa filosofi dasar pendidikanmu? Apa visimu?”
Ah ya, kenapa kok saya tidak pernah terpikir sampai situ ya sebelumnya? Metode yang dipilih hendaknya tergantung pada visi yang hendak dicapai, bukan sekadar asal suka dengan teknis tertentu. Jadi, tentukan dulu visinya! Kalau tenyata visi itu lebih bisa dicapai dengan mengambil teknik gabungan dari beberapa metode (eklektik), baru tidak masalah.
Apa visi pendidikan keluarga kami? Saya pribadi percaya ada Kebenaran Universal di alam semesta. Saya percaya Tuhan menciptakan manusia untuk merawat bumi-Nya, untuk menjadi berguna bagi sesama, untuk menjadi berkat bagi dunia. Setelah merenung, berdiskusi dengan suami, kami sepakat bahwa membesarkan anak yang memiliki watak luhur, dengan dasar kecintaan pada Tuhan, bumi, dan sesama manusia, itulah visi pendidikan kami. Ke arah itulah pendidikan anak-anak kami menuju.
Menerima Amanat
Ternyata visi kami serupa dengan visi Charlotte Mason. Metode CM dilandasi oleh Kebenaran Universal dan tujuan akhirnya adalah manusia berwatak luhur (magnanimous character). Pendidikan tidak hanya berkisar tentang teknis belajar, tapi soal mendidik anak agar menjadi insan kamil, yang bukan berorientasi pada diri sendiri tapi berpihak pada kepentingan orang banyak, tingkah lakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
Tulisan-tulisan CM menyadarkan kami bahwa tugas kami sebagai orangtua adalah menciptakan atmosfer pendidikan untuk dihirup anak-anak, melatih kebiasaan- kebiasaan baik, dan senantiasa memberi makan pada jiwa mereka. Sungguh, menjadi orangtua adalah amanat besar yang tidak boleh dilakukan dengan asal-asalan atau setengah hati.
“Wahai para ayah dan ibu, inilah pekerjaanmu dan hanya kalianlah yang dapat menunaikannya. Semuanya tergantung pada kalian, wahai orangtua dari anak-anak belia, untuk menjadi juruselamat-juruselamat masyarakat sampai seribu generasi ke depan. Tak ada hal lain yang lebih penting. Segala macam kesibukan yang untuknya orang-orang berjerih lelah ibarat permainan sepele dibandingkan urusan serius yang satu ini: membesarkan anak – anak agar bisa menjadi lebih baik dari ketimbang kita sendiri.” (Charlotte Mason, vol. 2 “Parents and Children” hlm. 3)
Andai kami tahu ini sebelum memiliki anak, tentu kami akan pikir-pikir lagi untuk punya anak. Namun karena anak-anak sudah lahir, Tuhan sudah menitipkan mereka pada kami, maka tidak bisa tidak, tugas itu harus kami pikul dengan segenap jiwa. Pendidikan mereka ada di tangan kami, pendidikan yang tujuannya bukan sekadar anak bisa dapat ijazah lalu bekerja dan menghasilkan uang, tapi supaya mereka sanggup memenuhi tugas dari Tuhan dan berkontribusi pada evolusi peradaban masyarakat yang lebih baik!
“Menjadi orangtua itu luar biasa: tidak ada promosi, kehormatan, yang bisa dibandingkan dengannya. Orangtua seorang anak bisa jadi sedang membesarkan sosok yang kelak terbukti sebagai berkat bagi dunia.” (Charlotte Mason, vol. 1 “Home Education” hlm. 1)
Untungnya, bukan hanya mematok tujuan yang tinggi, Charlotte Mason juga sudah merumuskan teknis pelaksanaannya dengan begitu detil. Jadi, saya tidak harus repot-repot trial and error mencari teknik sendiri. Sejak saat itu resmilah kami memakai filosofi CM sebagai panduan pendidikan keluarga kami.
Belum Sempurna
Tahun demi tahun berlalu. Tidak terasa sudah jauh perjalanan homeschooling kami, penuh naik turun dan beragam cerita, kadang membuat tersenyum, tak jarang pula membuat merenung. Kami melakukan banyak kesalahan, baik dalam teknis maupun konsep. Akan tetapi, dari kesalahan itulah kami belajar banyak.
Sampai hari ini pun, homeschooling kami belum berjalan dengan sempurna. Asupan ide inspiratif selama ini memang berbuah dalam perilaku dan perkataan anak-anak, tapi sering pula si Kakak masih kekanak-kanakan atau mengimitasi perilaku buruk saya dan suami, dan sungguh perjuangan melatih si Adik yang cerdas tapi super keras kepala untuk mau menurut begitu diperintah orangtua (istilah CM-nya, first time obedience).
Proses belajar terstruktur kami pun masih jauh dari standar CM, dan masih perlu berulang-ulang dievaluasi sebab kadang rasanya seperti terjebak dalam rutinitas belaka. Kami juga masih terus berjibaku menemukan kurikulum CM dengan rasa lokal yang pas. Sebagai fasilitator, saya tahu saya harus bekerja keras mencarikan buku-buku terbaik sebagai hidangan bergizi yang menyehatkan jiwa anak-anak, tapi saya kadang lelah atau tiba tiba malas, sehingga anak-anak “makan” ala kadarnya.
Dengan seribu cacat dan kesulitan itu, menyesalkah kami memilih homeschooling? Sama sekali tidak. Sebaliknya, kami sangat bersyukur. Meski tidak ada piala dipajang di rumah, anak-anak terkadang masih berkelakuan buruk atau bertengkar satu sama lain, saya masih sesekali kelepasan ngomel, tapi sungguh kami bersyukur karena begitu banyak hal yang kami pelajari dalam proses ini. Kami sadar perjalanan kami masih sangat panjang, dan masih begitu banyak hal lagi yang perlu kami pelajari dan perbaiki.
Raising Children is Raising Ourselves
Kalimat dari Naomi Aldort itu menyadarkan saya dan suami bahwa dalam proses menumbuhkan anak-anak ini, kami juga harus mampu bertumbuh. Bukan sekadar menyuruh-nyuruh anak belajar atau mengerjakan sesuatu, bukan sekadar berharap tingkah laku mereka berubah. Kami juga harus bertransformasi menjadi lebih baik setiap hari! Kami adalah atmosfer kehidupan bagi anak-anak. Mereka tidak menunggu kami menjadi sempurna sebelum menghirup atmosfer itu. Kami harus belajar menjadi atmosfer yang baik.
Saya sadari pribadi saya yang jauh dari sempurna: egois, sombong, suka menghakimi, pemalas, pemarah, sensitif, sinis, terkadang culas, kepo untuk hal-hal yang nggak penting, dst. Namun kalau ditanya, apa saya mau anak-anak saya tumbuh jadi orang dewasa dengan sifat-sifat seperti itu? Tentu saya tidak mau. Oleh sebab itu, jalan satu satunya adalah saya harus mau belajar untuk berubah.
Proses perubahan itu tentunya tidak memakan waktu hanya semalam. Mengikis nilai-nilai lama yang mengerak di dalam benak dan diri saya jelas bukan persoalan mudah. Saya tahu yang harus saya lakukan, tapi saya masih sering kelepasan berbuat yang sebenarnya tidak saya harapkan.
Justru di sinilah proses belajar terjadi. Sebagai keluarga, saya, suami, dan anak-anak saling mengingatkan, bukan cuma orangtua mengingatkan anak-anak tapi juga mereka mengingatkan kami. Anak-anak jadi tahu bahwa meski orangtuanya tidak sempurna, dalam ketidaksempurnaan itu kami ada usaha untuk mengubahnya. Kami berproses bersama. Pendidikan ini bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk orangtua.
Perjalanan Spiritual
Karena metode CM bersandar pada alam, buku bermutu, dan karya-karya terbaik manusia, dengan menemani mereka belajar, saya juga belajar macam-macam pengetahuan yang tidak pernah secara serius saya pelajari zaman sekolah dulu.
Dari biografi tokoh-tokoh besar yang kami baca, saya ikut belajar tentang cara terbentuknya karakter berbudi. Dari membaca kisah-kisah sejarah dan menyusun linimasa periodisasinya, saya makin paham alasan dunia menjadi seperti sekarang ini. Dari puisi, lukisan, dan musik yang kami pelajari, saya belajar tentang keindahan dan keseimbangan jiwa yang selama ini luput saya perhatikan.
Menghanyutkan diri di alam juga memaksa saya memperhatikan semesta lebih saksama. Benarlah kata pepatah, “alam terkembang menjadi guru”. Banyak hal di alam yang jika direnungkan akan membawa kita pada kesadaran baru. Misalnya begini:
Setelah merenung, saya melihat bahwa segala objek alam punya ciri khas masing-masing, menjalani proses berbeda-beda, menghadapi kendalanya sendiri-sendiri. Tak pernah belalang iri pada kupu-kupu yang mengalami metamorfosa sempurna sementara ia tidak. Belalang memang ditakdirkan jadi belalang, dan kupu-kupu tak perlu mencibirnya hanya karena ia belalang. Ini teguran buat saya yang selama ini suka menghakimi, kerap menganggap yang saya percayai dan kerjakan adalah yang paling benar, orang lain salah.
Perenungan macam ini barangkali tidak akan terjadi seandainya saya tidak memaksa diri mengajak anak-anak bermain di alam dan tidak menempatkan diri sebagai sesama pembelajar dengan mereka. Ya, homeschooling ini pada akhirnya bukan sekadar jalur pendidikan alternatif, melainkan juga perjalanan spiritual bagi saya. Tuhan seperti mengajarkan pada saya tentang bagaimana memaknai hidup, bukan sekedar menjalani hidup tanpa memahami esensinya.
Lewat homeschooling dan metode Charlotte Mason ini, Tuhan mengajari saya berbagai hal, mempertemukan saya dengan berbagai macam kejadian, membawa saya untuk belajar lebih banyak lagi tentang-Nya. Permasalahan demi permasalahan memaksa saya membaca, merenung, dan berkaca.
Semakin ke sini saya semakin sadar bahwa pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Tidak ada manusia sempurna, maka kehidupan itu senantiasa proses pendidikan. Selama kita masih bernyawa, berarti proses pendidikan masih berlangsung.
Saya percaya proses pendidikan tak pernah lepas dari peran Tuhan selaku pemilik kehidupan. Pendidikan datang dari Tuhan, tapi inisiasi individual kita harus mengiringi. Alangkah baiknya jika dalam proses ini kita mau terus dituntun-Nya berjalan menuju arah yang lebih benar.
(Tulisan ini dirangkum dan disunting dari “Alasan Memilih Homeschooling” seri 1, seri 2, dan seri 3 di blog pribadi “Pendidikan Adalah Hidup”)
no replies