Banyak kawan menanyakan proses belajar seperti apa yang kami jalani sehari-hari sebagai homeschooler praktisi metode Charlotte Mason (CM). Meski saya suka berbagi cerita di media sosial, tapi sepertinya itu masih kurang. Jadi, mumpung sedang banyak waktu di rumah saja, saya mau cerita lebih lengkap garis besarnya seperti apa.
Filosofi Dulu, Baru Teknik
Dalam metode CM ini, sangat penting mempelajari filosofi pendidikannya dulu sebelum melaju ke urusan teknis. Punya fondasi dasar akan sangat memudahkan kita menjalani teknis hariannya. Buat saya, meskipun di awal butuh perjuangan tersendiri untuk merumuskan teknik harian yang sesuai dengan filosofi CM, tapi setelah menemukan ramuan yang pas, menjalani metode CM ini mudah dan menyenangkan.
Fokus utama pendidikan CM adalah membentuk karakter anak. Karena itulah, pendidikan akademis berfungsi pertama-tama sebagai medium pelatihan kebiasaan baik. Dalam sesi belajar akademis, anak-anak dilatih untuk mampu memusatkan perhatian, mengoptimalkan seluruh indranya, melakukan observasi dengan teliti, berpikir logis, mengenal hakikat diri sendiri dan sesama manusia, dsb.
Pendidikan juga medium untuk menumbuhkan akalbudi. Sama seperti tubuh, agar bertumbuh akal budi butuh asupan “makanan bergizi tinggi”, bukan “micin” dan “gula” yang jadi sajian utama. Sebab itu, kurikulum harus menyajikan buku-buku yang memantik kerja akal budi anak-anak, living books, segala hasil karya terbaik yang pernah ada.
Kurikulum Kaya
Tubuh butuh variasi makanan, akal budi pun demikian, maka dalam metode CM, anak-anak belajar dengan kurikulum yang kaya. Sehari-hari, kedua anak saya belajar aneka subjek: matematika, menulis, puisi, geografi, sejarah, sains, antropologi, lagu daerah, studi lukisan, studi musik, membuat hasta karya, dan lain-lain.
Tantangannya kemudian adalah menentukan buku mana yang memenuhi kriteria living books untuk setiap subjek. Ya, living books memang tidak hitam putih melainkan spektrum. Ada buku yang jelas-jelas living books, dan ada yang jelas-jelas bukan living books, tapi banyak buku yang berada di pertengahan antara keduanya.
Living books bagai makanan sehat yang enak, sulit digambarkan dengan kata-kata, harus dirasakan sendiri. Macam wisata kuliner, saya sarankan teman-teman mencicipi buku-buku yang direkomendasikan oleh para praktisi CM sebagai living books. Setelah merasakan hidupnya ide-ide di buku-buku tersebut, kalian bisa berburu buku-buku lain dan menilai sendiri mutunya living atau tidak.
Di luar negeri, ada penyedia kurikulum CM seperti Ambleside Online (AO), Simply Charlotte Mason, Living Books Curriculum, dan Modern Charlotte Mason yang menyajikan rekomendasi living books masing-masing. Kurikulum AO yang gratis, lengkap, dan sistematik termasuk favorit para CMer di Indonesia. Kami di rumah juga memakai banyak buku rekomendasi AO karena keindahan ceritanya, antara lain Fifty Famous Stories Retold, Parable of Nature, Elementary Geography, dll. Namun, saya kurang sreg memakai kurikulum asing itu sepenuhnya. Selain buku-bukunya berbahasa Inggris, juga kontennya “Barat” sekali, kurang dekat dengan keseharian anak-anak saya.
Jadi, saya sering berburu buku. Kalau ada buku yang sepertinya oke, saya coba bacakan ke anak di sesi belajarnya. Kalau ternyata tidak cocok – konten buku itu terlalu berat atau terlalu ringan, atau tuturan bahasanya terlalu kaku, sehingga entah anak sulit memahami atau kurang tertantang – biasanya buku tidak saya lanjutkan baca, saya ganti dengan buku lain. Namun, kalau bukunya terlalu bagus untuk dilewatkan, saya tetap membacakannya meski anak agak tertatih-tatih. Sejujurnya, saya trial and error!
(Catatan: Saat ini saya dan tim kurikulum Charlotte Mason Indonesia sedang melakukan kurasi terhadap buku-buku lokal ataupun terjemahan, untuk menyusun semacam panduan kurikulum CM dengan cita rasa Indonesia. Daftar buku rekomendasi AO terjemahan bahasa Indonesia yang kami anggap baik mutunya bisa dilihat di sini.)
Saya melakukan proses kurasi buku tiga kali dalam setahun, karena keluarga kami membagi proses pembelajaran setahun dalam tiga caturwulan (term). Sebelum memulai caturwulanbaru, biasanya saya pilah-pilih dulu buku apa yang akan dipakai untuk setiap mata pelajaran. Selain buku, saya juga memilih satu pelukis dan satu pujangga yang akan dipelajari karya-karyanya dalam caturwulan itu.
Rencana kurikulum kami dalam satu caturwulan misalnya begini:
- Sejarah: A Child History of the World
- Geografi: Kepulauan Nusantara dan Home Geography
- Biografi: Thomas Alfa Edison
- Sains: Gadis Batuan
- Sastra: Mahabharata
- Puisi: karya-karya Amir Hamzah
- Studi Lukisan: karya-karya Raden Saleh
- Lagu Daerah: lagu-lagu Indonesia Timur (1 lagu per 2 minggu)
- Hasta Karya: paper sloyd
- Matematika: kurikulum MEP
Jadwal Belajar
Tidak semua subjek dipelajari dalam satu hari. Saya membagi pelajaran menjadi dua jenis, pelajaran harian dan pelajaran mingguan. Pelajaran harian artinya subjek yang dikerjakan terus-menerus setiap hari – misalnya, matematika, latihan membaca lantang, latihan menulis, bahasa Inggris, dan membaca puisi. Pelajaran mingguan artinya subjek yang dijadwalkan untuk hari tertentu dalam satu minggu.
Contoh pelajaran mingguan si sulung (12 tahun):
- Minggu – sejarah, sains
- Senin – pelajaran logika, novel filsafat
- Kamis – lagu daerah, sains, biografi
- Jumat – pengetahuan umum, novel filsafat
- Sabtu – studi lukisan, geografi
Contoh pelajaran mingguan si bungsu (9 tahun):
- Minggu – sejarah, sastra #1
- Senin – studi komposer, sains, biografi #1
- Kamis – lagu daerah, sains
- Jumat – geografi, hasta karya, sastra #2
- Sabtu – studi lukisan, biografi #2
(Catatan: Selasa dan Rabu kami libur sesi akademis.)
Meski belajar berbagai macam subjek, durasi sesi akademis anak-anak saya per hari hanya berkisar 1-2 jam (short lessons). Yang penting mereka melakukannya secara fokus. Bagi kami, jauh lebih baik sesi 10 menit tapi anak-anak fokus maksimal dibanding sesi 1 jam tapi pikiran mereka melayang ke mana-mana.
Gambaran short lessons kira-kira seperti ini :
- Membaca puisi – 5 menit
- Menulis – 5 menit
- Membaca lantang – 5 menit
- Sejarah – 10 menit
- Mendengar/menyanyikan lagu daerah – 5 menit
- Matematika – 30 menit
- Hasta karya – 20 menit
Prinsip saya, setiap hari anak-anak harus selalu memiliki setidaknya satu hal besar untuk dipikirkan, satu hal indah yang menyentuh hatinya, dan satu hal untuk dikerjakan dengan tangannya. Hal-hal inilah yang perlu ia dapatkan dari pembelajaran akademis hariannya.
Narasi dan Diskusi
“Belajar sejarah cuma 10 menit? Itu ngapain aja?” seorang kawan menanyai saya. Ah iya, biasanya di sekolah satu mata pelajaran durasinya sampai 1,5 jam ya? Menjadwalkan hanya 5-15 menit per subjek tentu mengundang tanya.
Jadi begini, dalam metode CM, setiap anak diyakini sejak lahir punya akalbudi yang mampu mencerna ide, sama seperti lambungnya sejak lahir bisa mengolah makanan. Maka, fasilitator dilarang ceramah. Berceramah panjang-panjang sama dengan merendahkan kapasitas berpikir seorang anak. Kita seperti tak percaya dia mampu mengolah makanannya, lalu terus menerus membantunya mengunyah. Cara ini malah melumpuhkan akal budinya.
Supaya bertumbuh, anak-anak perlu dilatih mengunyah sendiri makanannya. Latihan mengunyah ide dalam metode CM disebut dengan narasi. Jadi, setelah memilih buku-buku terbaik, tugas kita “hanya” membacakan (kecuali nanti anak sudah lancar membaca sendiri) dan minta anak menarasikan yang ia dengar/baca tersebut.
Untuk anak-anak usia sekolah dasar awal, cukup minta narasi lisan. Seiring dengan berjalannya waktu, saat narasi lisannya sudah mulai mapan – pertanda ia sudah mampu mengunyah ide dengan baik – anak bisa mulai dimintai narasi tertulis (biasanya sekitar umur 10 tahun ke atas).
Terdengar sangat sederhana, tapi coba saja baca satu tulisan dan ceritakan kembali bacaan itu pada orang lain. Atau, minta seseorang membacakan sesuatu pada Anda dan ceritakan ulang apa yang sudah Anda dengar. Bagi saya yang sudah dewasa ini pun, membuat narasi bukan pekerjaan mudah. Saya harus berkonsentrasi penuh agar mampu menangkap dan mengolah isi cerita lantas mengeluarkannya kembali dalam kalimat-kalimat yang bisa dimengerti orang lain. Sungguh kerja mental yang menantang!
Lewat narasi, anak-anak membangun kebiasaan mendengar saksama, berpikir mandiri, memahami gambaran besar suatu ide (bukan sepotong-sepotong), dan terampil mengkomunikasikan isi pikirannya. Menurut Karen Glass dalam Know and Tell (2018), narasi juga membangun relasi yang lebih dalam antara pikiran anak dengan pikiran penulis buku.
Kita sebagai fasilitator dilarang
ceramah. Biarkan anak menangkap sendiri pesan para penulis. Tapi kita boleh menjadi
teman diskusi saat anak sedang mengunyah ide-ide dari buku. Biasanya jika
terpantik, ia langsung akan mengajukan pertanyaan. Namun, kalau ada ide yang
sangat penting, tapi anak tidak bertanya, fasilitator boleh mengajukan
pertanyaan.
Hanya saja yang kita ajukan jangan pertanyaan seperti: Kapan Alexander Agung menjadi raja? Atau: Siapa tadi nama ibunya?
Atau: Apa yang dia lakukan setelah pindah ke kota yang baru?
Pertanyaan-pertanyaan komprehensi semacam itu hanya meminta fakta. Sebaiknya ajukanlah
pertanyaan yang memancing anak berpikir, misalnya: Apakah mungkin mereka
berteman selamanya? Persahabatan seperti apa yang bisa bertahan lama? Yang
kita mau adalah akal budi anak terpantik, bukan sekadar hafal informasinya. Jangan
sampai terjebak meminta anak untuk langsung menelan pendapat kita.
Pun demikian, diskusi tidak selalu harus dilakukan. Ada kalanya anak-anak cukup menarasikan. Kalau memang tidak ada pertanyaan atau komentar tambahan dari anak, sesi selesai. Sederhana sekali.
Masterly Inactivity
Jika anak-anak hanya belajar akademis dengan waktu sependek itu, apa yang mereka kerjakan sepanjang sisa hari? Jawabannya: terserah mereka. Saya tidak pernah menjadwalkan bagi mereka kegiatan tertentu di luar sesi akademis, kecuali kami ada janji sebelumnya. Anak-anak saya bebas menghabiskan sisa waktu: main lego, menggambar, bikin-bikin, bercanda dengan sepupu, main dengan kucing, main piano, membaca buku, dsb.
Dalam metode CM, prinsip ini bernama masterly inactivity. Dari kata master dan inactive, artinya orangtua memegang kendali tapi “tidak melakukan apa-apa”. Anak bebas menginisiasi kegiatan selama tidak melanggar aturan dasar dan batasan yang ditentukan orangtua. Aturan dasarnya barangkali akan berbeda-beda antar keluarga, tergantung dari yang dianggap penting dan tidak penting.
Masterly inactivity sebenarnya juga bagian dari pendidikan karakter, yakni melatih anak terbiasa berinisiatif, mengenali dirinya, berpikir mandiri alih-alih terus menerus “disuapi”, juga mengatasi rasa bosannya sendiri tanpa menunggu pihak lain.
Kegiatan Luar Rumah
Homeschooling bukan berarti anak-anak di rumah terus. Mereka juga memiliki kegiatan-kegiatan luar rumah, termasuk sosialisasi dengan teman sebaya. Di tempat les mereka berkawan dengan anak-anak sekolahan. Lesnya apa saja? Tergantung kebutuhan mereka sendiri, mulai dari berenang, beladiri, gimnastik, piano, menari, dll.
Yang pasti, saya cukup selektif dari memilihkan guru atau tempat les bagi anak-anak saya. Bagi saya, guru les adalah mitra dalam mengajari anak, maka kesamaan visi menjadi syarat penting. Saya butuh berbincang-bincang dulu dengan guru itu sebelum memutuskan dia bisa menjadi mitra saya atau tidak. Saya mencari guru yang bukan hanya bisa mengajarkan teknis, tapi juga menularkan kecintaan pada bidang yang digelutinya.
Anak-anak saya juga tergabung dalam dua komunitas homeschooler dengan aneka kegiatannya. Sama seperti tempat les, kami juga mencari komunitas yang satu visi. Dalam naungan komunitas, anak-anak (juga saya) mendapatkan banyak keseruan, persahabatan, serta pengetahuan.
Pendidikan Adalah Iman
“Seringkali kita meyakini bahwa cara meraih kesuksesan adalah dengan melakukan hal-hal besar yang membuat banyak orang terkagum-kagum. Sementara itu, hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari seringkali tampak remeh karena tidak tampak bermakna. Tetapi jika kebiasan-kebiasaan kecil ini dibangun secara konsisten setiap hari dan membuat kemajuan sebanyak 1% per hari, kiranya bagaimana hasilnya setelah 365 hari?”
Demikian terjemahan bebas dari secuil tulisan James Clear dalam bukunya Atomic Habit (2018). Kutipan ini mengingatkan kita, proses sederhana akan membuahkan hasil jika dilakukan dengan konsisten dan bukan hanya sesekali.
Proses akademis yang diusung dalam metode CM, seperti latihan kebiasaan baik dan narasi, tampak sederhana. Kesederhanaannya bisa membuat kita ragu: apakah hal ini benar akan membuahkan hasil? Namun, seperti kata Clear, kemajuan 1% yang tidak tampak berarti, jika terus menerus dilakukan akan membuahkan hasil yang besar.
Agar bisa konsisten, orangtua butuh iman. Kita memahami betul konsepnya dan meyakini bahwa ini memang bermanfaat. Seperti petani, kita mengimani bahwa tanah yang kita taburi ini subur dan bahwa benih yang kita taburkan ini baik. Suatu saat benih-benih ini akan tumbuh besar dan bermanfaat, meski kecepatan pertumbuhannya berbeda-beda. Kita hanya perlu tekun merawatnya.
(Tulisan ini dirangkum dan disunting dari beberapa entry di blog pribadi “Pendidikan Adalah Hidup”)
Sumber foto: Simply Charlotte Mason
no replies