Musik klasik bukanlah jenis musik yang akrab di telinga saya. Sewaktu kecil, saya hanya sesekali mendengar musik klasik, yakni dari satu stasiun radio Bandung yang memutar musik klasik di pagi hari, itu pun kalau kebetulan orangtua menyalakannya. Benar-benar perkenalan yang hadir sekelebat saja.
Saya menyetel musik klasik lagi saat anak pertama saya masih bayi. Alasannya sangat umum. Kan katanya mendengar musik klasik bisa membuat anak pintar. Ahaha, kasihan sekali ya musik klasik ini, disetel bukan untuk benar-benar dinikmati, tapi sekadar dimanfaatkan. Setelah saya tidak merasa butuh lagi, CD-CD musik klasik pun terlupakan.
Lamaaaaa sekali CD musik klasik di rumah menumpuk tak tersentuh, sampai akhirnya saya memutuskan untuk menjadi praktisi metode pendidikan Charlotte Mason (CM). Berhubung salah satu subjek dalam kurikulum CM adalah “apresiasi musik”, dan jenis musik yang dianjurkan adalah musik klasik, maka musik klasik pun saya putar kembali.
***
Sempat dalam diskusi dengan sesama praktisi CM, saya melontarkan pertanyaan: apa tidak boleh kalau kita memakai jenis musik lain untuk pelajaran apresiasi musik? Apa harus musik klasik? Karena waktu itu yang ikut diskusi sama-sama tidak terlalu paham musik, jadi kami pikir mestinya ya boleh-boleh saja dong.
Namun, saya masih penasaran: mengapa CM menjadikan musik klasik sebagai bahan utama pelajaran apresiasi musik? Saya coba cari jawabannya dengan membuka buku A Charlotte Mason Companion karya Karen Andreola. Di salah satu halaman, Karen mengutip Francis Schaeffer yang mengatakan: “manusia telah kehilangan salah satu sumber sukacita yang sangat besar karena mulai meninggalkan musik klasik”. Menggugah, tapi pertanyaan saya belum terjawab. Apa sih istimewanya musik klasik?
Saya lanjutkan dengan membuka Towards A Philosophy of Education,tulisan CM volume keenam. Saya tercengang waktu membaca, ternyata awalnya Charlotte Mason sendiri relatif “buta musik”. Fokusnya semula hanya menyajikan karya sastra dan karya seni (lukis dan rupa) terbaik buat para siswanya. Dia sama sekali tidak terpikir untuk memasukkan apresiasi musik dalam kurikulum pendidikannya.
Charlotte baru tersadar bahwa apresiasi musik itu penting setelah mengamati seorang teman yang rajin memperdengarkan musik klasik pada anak-anaknya. Dia jadi terpikir, kalau anak-anak kita beri karya sastra dan karya seni terbaik, mengapa kita tidak memberikan kepada mereka musik terbaik juga?
Dari situ, sepertinya Charlotte mengalami “pencerahan” bahwa musik klasik adalah salah satu sumber sukacita terbesar yang harus dialami oleh anak-anak. Jadilah dia meminta teman tersebut untuk menyusunkan kurikulum apresiasi musik.
Menarik, sayangnya saya yang belum betul-betul tercerahkan: mengapa harus musik klasik? Ada apa dengan musik klasik yang membuatnya terus bertahan dari generasi ke generasi, sehingga disebut “klasik”? Saya jadi ingin berdiskusi dengan orang yang memang paham benar tentang musik klasik. Siapa ya yang bisa saya harapkan ntuk menjelaskannya?
Lalu Tuhan seperti menjawab saya. Orang yang ahli musik klasik? Siapa lagi kalau bukan Addie MS!
***
Addie Muljadi Sumaatmadja. Dia pendiri sekaligus konduktor Twilite Orchestra, manusia yang hidupnya diabadikan untuk musik, khususnya musik klasik. Jalan hidup membuat saya berteman dengan seorang kerabat Addie MS. Dan dari si kerabat inilah saya melihat ada kesempatan untuk minta dipertemukan dengan sang musisi.
Rasa penasaran tentang musik klasik yang masih terus ada dalam benak membuat saya memberanikan diri untuk minta ketemu dengan Mas Addie. Keberanian ini juga dilandasi oleh rasa yakin saya bahwa yang tidak paham soal musik klasik itu bukan hanya saya. Banyak praktisi metode CM lain yang juga butuh dicerahkan (betul tidak?).
Saya pikir, berbincang-bincang tentang musik klasik dengan seorang maestro akan menjadi hal yang sangat berharga bagi kita semua. Jangan sampai ketidakpahaman kita sebagai orang tua lantas membuat kita meremehkan bidang yang satu ini, sehingga anak-anak merugi.
Singkat cerita, permintaan untuk bertemu diteruskan oleh teman saya ke Mas Addie. Dan percayalah, saya rasanya seperti terbang ke langit, cakrawala seakan lebih luas, waktu mendapat informasi bahwa Mas Addie bersedia untuk bertemu! Hahahaha. Lebay. Pokoknya saya senang banget Mas Addie bermurah hati memberi peluang berbincang-bincang.
***
Saya bertanya ke Mas Addie: Memang dari mendengar saja kita bisa merasakan betapa indahnya musik klasik, tapi apakah memang iya ini jenis musik yang paling indah?
Jawaban Mas Addie: Tepatnya, musik klasik adalah musik dengan komposisi yang paling rumit di dunia. Keindahan muncul dari kompleksitasnya itu. Bayangkan komposisi musik yang disusun untuk dimainkan oleh enam puluh orang musisi dengan berbagai jenis alat musik. Betapa alunan setiap jenis alat musik disusun sedemikian detil, lalu alunan semua alat musik itu disatukan menjadi orkestra lengkap, bunyinya harmonis saling melengkapi, masing-masing dengan detil ketukan yang sangat tepat.
Kompleksitas musik ini berdampak pada pertumbuhan akalbudi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa paparan musik klasik dapat meningkatkan kecerdasan anak. Karena itulah sejumlah sekolah, baik di Indonesia maupun di luar negeri, melatih para siswanya untuk mengapresiasi musik klasik. Ruang musik sekolah-sekolah itu menyimpan koleksi para komposer klasik, sangat lengkap. Para kepala sekolahnya meyakini pentingnya musik bagi perkembangan kecerdasan dan karakter anak, dan karakter warga yang bagus akan membentuk karakter bangsa pula.
***
Saya bertanya lagi ke Mas Addie: Penting mana memperkenalkan musik klasik atau musik daerah? Indonesia ini sangat kaya budayanya. Saya sendiri bermimpi anak-anak saya bisa kenal musik dari seluruh nusantara. Jadi, mana yang harus diprioritaskan untuk masuk ke kurikulum apresiasi musik buat anak-anak?
Jawaban Mas Addie: Soal musik klasik dan musik daerah, pertama-tama kita harus tahu perbedaan mendasar di antara keduanya dan proses mengapresiasi yang berbeda untuk keduaya.
Musik klasik bertahan dari masa ke masa karena ditopang oleh budaya literasi. Semua detil komposisinya tertulis dalam partitur yang lengkap. Ini memungkinkan ide komposernya tersampaikan secara utuh dari generasi ke generasi, komposisinya dipelajari dan dimainkan lengkap sebagaimana adanya partitur.
Kondisinya berbeda dengan musik daerah yang bersifat turun-temurun. Diajarkan dari mulut ke mulut, dari generasi bapak ke generasi anak, seperti dongeng yang tidak tertulis. Tidak ada versi asli dari pemilik utama ide tersebut.
Hal lainnya. Dalam hal komposisi, kompleksitas musik klasik jauh lebih sulit dikuasai dibandingkan musik daerah. Jadi, yang paling bagus memang kalau semua anak bisa mendapat fondasi pelajaran musik klasik. Belajar dari yang paling sulit dulu, jadi nanti mau belajar jenis musik yang lain akan lebih mudah prosesnya.
Refleksi saya: Ah, pandangan saya jadi lebih terbuka nih. Musik klasik itu ibarat buku yang ditulis langsung oleh si pemilik ide, sementara musik daerah ibarat dongeng yang diwariskan turun-temurun.
Saya teringat CM menekankan pentingnya anak “berbincang” langsung dengan pemilik ide. Kalau pemilik idenya adalah sastrawan, anak harusnya membaca langsung karya asli sang sastrawan, bukan membaca versi saduran (abridged). Membaca saduran itu ibarat makan hasil kunyahan orang lain. CM ingin pikiran sang penulis bertemu langsung dengan pikiran anak, supaya anak mencernanya secara mandiri, mendapatkan pemahaman dari hasil pemikirannya sendiri, tidak disuapi.
Dalam berbagai bidang ilmu, CM menuntut anak diberi hidangan ide yang terbaik, yang living bukan yang twaddly. Kalau buku ya berarti buku yang ditulis oleh orang yang memang ahli di bidangnya, ditulis dengan cara naratif dan sastrawi. Berarti dalam hal musik pun, anak harusnya juga diberi hidangan ide terbaik, yaknik musik yang dibuat oleh komposer handal, yang menyajikan musiknya dengan indah, sebagaimana sastrawan ulung menulis karya sastranya.
Benar juga ya. Saya membayangkan kompleksnya isi pikiran seorang komposer ketika menyusun musiknya. Jadi, dengan pemilik ide yang sangat hebat inilah anak-anak berbincang-bincang ketika mereka mendengarkan karyanya. “Pikiran bertemu dengan pikiran dan kita menjadi lebih berpikir,” kata CM. Tapi …
***
Saya bertanya lagi pada Mas Addie: Apakah ide para komposer hebat yang sekompleks itu dapat dicerna oleh anak-anak?
Jawaban Mas Addie: [sambil mengayunkan tangan, telunjuk teracung, dan suara bersemangat] Kasih ke mereka! Anak-anak pasti bisa mengerti! Jangan mengerdilkan kemampuan otak anak.
Refleksi saya: Cocok banget dengan CM ya. CM bilang kita akan dibuat terkejut oleh kemampuan akalbudi anak. Bukankah kita para orangtua praktisi metode CM acap tercengang mendapati anak-anak ternyata bisa mencerna karya sastra yang “berat” dengan baik? Berarti otak mereka pun pasti bisa mencerna musik klasik. Justru ide-ide terbaik seperti itu adalah makanan spiritual paling bergizi dan tepat untuk anak. Mungkin kita juga akan dibuat terkejut mendapati anak bisa mencerna ide para komposer hebat.
Tugas orang tua adalah memberikan jamuan ide terbaik bagi anak. Seperti kita dengan setia memberikan buku terbaik di bidang agama, sejarah, sastra, sains, geografi, seni rupa, dsb., sebaiknya pula kita memberikan musik terbaik dengan keyakinan yang sama. Komposer mana yang akan memantik jiwa anak? Itu di luar kendali orang tua.
Saya sendiri melihat ada perubahan di rumah sejak kami rutin mendengarkan musik klasik setiap hari. Saya secara tidak sadar lebih sering menyenandungkan melodi komposisi musik klasik. Anak-anak yang dulu biasa meminta disetelkan lagu anak populer macam The Wheels on the Bus, kini lebih sering meminta diputarkan CD Bach atau Simfoni Negeriku dari Twilight Orchestra. Si Bungsu bahkan beberapa kali terlihat pura-pura menjadi konduktor. Ternyata anak-anak bisa menerima jenis musik yang “kuno” ini. Sangat jelas mereka bisa menghargai dan sangat menikmatinya.
Education is a science of relations. Kita tidak pernah bisa meramalkan relasi seperti apa yang secara pribadi dibangun anak dengan ide-ide yang dia peroleh. Bagaimana anak berelasi dengan musik yang ia dengar, asosiasi apa yang dia bangun antara musik itu dengan bidang ilmu lain yang ia pelajari, kita percayakan saja pada si anak sendiri.
***
Saya bertanya lagi pada Mas Addie: Apakah cukup kalau anak jadi pendengar musik saja? Atau juga harus belajar memainkan alat musik dan musik klasik?
Jawaban Mas Addie: Itu proses yang bertahap. Ibaratnya orang jadi senang belajar memasak karena awalnya suka makanan tertentu, demikian juga belajar main musik klasik sebaiknya dimulai dari senang mendengarkan musik klasik. Polanya adalah mendengarkan, mempelajari komposisi, lalu memainkan. Dalam menjalankan ketiga proses inilah kecintaan anak pada musik klasik dibentuk.
Refleksi saya: Ah, jadi teringat bahwa menurut CM, atmosfer adalah instrumen penting dalam pendidikan. Kalau kita ingin anak-anak membaca karya sastra bermutu, kita para orang tua mesti belajar untuk suka membaca karya sastra bermutu juga. Jadi, demi menyediakan atmosfer yang baik bagi anak, baiklah orang tua juga mulai belajar mendengarkan musik klasik bersama anak.
***
Saya bertanya pada Mas Addie: Sebagai pendengar pemula, saya mendapati bahwa mendengar musik klasik melatih saya berkonsentrasi, penuh perhatian pada detil musik. Kalau main musik klasik, apa pengaruhnya untuk perkembangan karakter seseorang?
Jawaban Mas Addie: Musik klasik adalah musik yang cukup berat untuk dipelajari dan dimainkan. Hanya dari ketepatan ketukan saja sudah menjadi kesulitan tersendiri tanpa menambahkan berbagai kesulitan yang lain. Dalam proses ini diperlukan ketekunan, kerja keras, dan tekad untuk mengeksekusi dengan sempurna.
Selanjutnya, ketika anak mulai bermain di dalam tim, kemampuan bekerja sama jadi sangat diasah. Anak juga akan belajar menghargai orang lain. Dia melihat bahwa alat musik yang berbeda-beda, bila dikelola dengan baik, akan menghasilkan harmoni yang indah. Sikap respek terhadap perbedaan akan terbangun.
Kalau sudah masuk dalam orkestra, karakter lain yang dilatih adalah ketaatn pada otoritas pemimpin, yakni konduktor. Hanya jika ada ketaatan akan tercapai keselarasan seluruh permainan musik.
Refleksi saya: Ketekunan, kerja keras, tekad melakukan sesuatu secara sempurna (habit of perfect execution), respek pada perbedaan, kemampuan bekerja sama, dan ketaatan pada otoritas untuk mencapai tujuan bersama. Wow! Kalau karakter-karakter ini terbentuk dalam diri anak, dia akan dimudahkan untuk menguasai keterampilan apa pun yang dia perlukan di masa depannya.
***
Itulah beberapa hal yang saya peroleh dari perbincangan dengan Addie MS. Tentu akan ada lebih banyak lagi pencerahan kalau teman-teman praktisi Charlotte Mason Indonesia bisa berdiskusi langsung dengan Mas Addie. Semoga tiba saatnya suatu hari kelak. Terima kasih untuk pencerahannya, Mas Addie!
no replies