Sejak tahun 2000, Indonesia mengikuti Programme for International Student Assessment (PISA). Evaluasi internasional tiga tahunan ini mengambil secara acak sampel siswa berusia 15 tahun, lalu menguji mereka untuk tiga kompetensi: matematika, sains, dan membaca. Selasa (6/12) lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis skor Indonesia di PISA 2015, dan menyebutkan ada peningkatan skor khususnya pada matematika dan sains, tapi kemampuan membaca belum meningkat. Ellen Kristi dari CMid mewawancarai Satria Dharma, penggagas Gerakan Literasi Sekolah, untuk membahas fenomena tersebut.
Dapatkah PISA diandalkan untuk menilai meningkat tidaknya kualitas pendidikan suatu negara?
PISA adalah penilaian tingkat dunia. Penyelenggaranya Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD). Tujuannya untuk membandingkan prestasi anak-anak sekolah di seluruh dunia, dengan maksud memberi masukan pada tiap negara, sebagai acuan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sebagai lembaga penilaian, PISA dapat diandalkan untuk menilai posisi suatu negara dibandingkan posisinya sendiri tiga tahun sebelumnya. Juga untuk menunjukkan posisi negara tersebut dibanding negara-negara lain.
Dari pemantauan Anda, bagaimana perkembangan Indonesia dalam tes PISA?
Kita telah mengikuti tes PISA ini sejak tahun 2000 dengan hasil yang terus menunjukkan penurunan. Memang di PISA 2015 ini ada peningkatan nilai dibanding tahun 2012. Kompetensi sains dari 382 jadi 403 (21 poin), matematika 375 ke 386 (11 poin), membaca 396 ke 397 (1 poin). Tapi peringkat kita tidak naik, tetap di nomor 64. Tahun 2012, 64 dari 65 negara. Tahun 2015, 64 dari 72 negara. Jadi, bisa kita katakan ada peningkatan mutu pendidikan yang tidak signifikan.
Kok bisa disebut tidak signifikan, mengapa?
Ingat, hasil ini dibandingkan dengan hasil proses pendidikan tiga tahun sebelumnya! Jadi, peningkatan sekian poin itu adalah hasil dari proses pendidikan yang kita lakukan selama tiga tahun. Lihat juga, hasil tes PISA pada bidang membaca justru stagnan. Ini berarti, kemampuan membaca siswa kita memang berada pada tingkat yang memprihatinkan dan tidak ada proses belajar di sekolah yang mampu meningkatkan kemampuan membaca siswa kita.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, seperti dikutip Antara, menyebutkan maraknya gawai sebagai alasan rendahnya kompetensi membaca anak, setujukah Anda?
Saya tidak percaya bahwa Kemdikbud bisa begitu naif dalam melihat persoalan rendahnya kompetensi membaca siswa. Rendahnya kompetensi ini jelas bukan karena maraknya penggunaan gawai di kalangan siswa, tapi karena kita memang tidak pernah melatih siswa kita untuk membaca. Indonesia konon adalah negara satu-satunya yang tidak mewajibkan siswanya untuk membaca karya sastra. Kemdikbud sama sekali tidak mewajibkan siswa Indonesia untuk membaca karya sastra satu pun, meskipun hal ini telah disampaikan Taufik Ismail dalam tulisannya “Tragedi Nol Buku”.
Bagaimana seharusnya strategi meningkatkan kompetensi membaca itu?
Membaca adalah sebuah keterampilan. Dan keterampilan, apa pun itu, harus dilatihkan terus-menerus dengan metoda tertentu yang akan meningkatkan kompetensi siswa dalam melakukannya. Seperti contoh, agar siswa memiliki keterampilan atau kompetensi tinggi dalam berenang, maka siswa harus benar-benar dilatih berenang, baik itu di kolam renang, sungai, atau laut. Begitu juga dengan keterampilan lain yang butuh latihan-latihan yang terstruktur dan terus-menerus.
Bagaimana mungkin kita berharap anak-anak kita terampil berenang jika kita tidak melatih mereka berenang? Bagaimana mungkin anak akan membaca jika orangtua dan gurunya sendiri tidak menjadi contoh bagi mereka dengan juga membaca? Bagaimana mungkin anak akan bisa membaca jika orangtua dan guru tidak memberi mereka buku bacaan?
Jadi, penyebab minat baca bangsa kita tidak tumbuh adalah …
Ya karena kita tidak berupaya untuk menanam minat baca, maka tentu saja dia tidak tumbuh. Pemerintah atau Negara selama 71 tahun memang belum pernah benar-benar serius menanam atau menumbuhkan minat baca bangsa.
Kelahiran Makassar, pria humoris ini menempuh pendidikan guru bahasa Inggris di IKIP Surabaya. Memang suka travelling, ditempuhnya karir sebagai pendidik malang melintang di berbagai kota: dari Bontang, Balikpapan, sampai Bali. Meletakkan jabatan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia tahun lalu, pendiri STIKOM Bali ini biasa blusukan ke pelosok Nusantara untuk menyadarkan guru, pemerintah, dan masyarakat tentang pentingnya membaca.
Menikah dengan Ika Padmasari, Satria Dharma dikaruniai tiga anak: Yubi, Yufi, dan Tara. Sebagai pemerhati pendidikan dan budaya, dia merasa prihatin melihat betapa mudahnya masyarakat termakan oleh hoax, kabar bohong, yang secara kasat mata tidak masuk akal. Banyak situs abal-abal yang dengan mudah menyebarkan berita bohong hanya karena orang tidak mau dan tidak mahir membaca. “Banjir informasi sampah hanya bisa dihadapi dengan kemampuan membaca dan menyaring informasi yang tinggi,” tegas penyuka warna biru ini.
Anda mengkampanyekan Gerakan Literasi Sekolah, efektifkah itu?
Gerakan Literasi Sekolah diluncurkan oleh Kemdikbud melalui Dikdasmen. Ini inisiatif, upaya menumbuhkan budaya atau kebiasaan membaca siswa. Gerakan Literasi Sekolah mewajibkan semua sekolah untuk mengalokasikan waktu 15 menit setiap hari untuk membaca buku non-pelajaran. Meski program ini baru dilaksanakan sporadis dan belum menjangkau semua daerah, tapi upaya ini perlu diapresiasi dan dilanjutkan dengan upaya lain yang lebih serius.
Apa yang bisa dikerjakan orangtua dan guru agar anak cinta membaca?
Pahami dulu bahwa anak tidak hanya harus bisa membaca, tapi juga harus menikmatinya. Jalan menuju keterampilan membaca adalah jalan yang sulit, anak harus berjuang memerolehnya. Kita perlu membantu mereka. Mudah dan menyenangkan adalah dua elemen penting dalam menumbuhkan budaya dan keterampilan membaca anak.
Langkah praktisnya seperti apa ya?
Siapkan sejak dini. Bacakanlah para balita cerita-cerita dari buku setiap hari. Saat ini di negara maju sudah ada program 1000 Books Before Kindergarten, membacakan seribu buku sebelum anak masuk TK. Kita juga bisa lakukan hal yang sama. Anak yang lebih sering dibacakan buku akan lebih mudah untuk belajar membaca daripada anak yang kurang, apalagi tidak sama sekali, dibacakan.
Kedua, seringlah mengajak bicara, berkomunikasi, atau bernyanyi. Anak yang sering diajak seperti itu akan memiliki kosakata dan kemampuan berkomunikasi yang lebih baik dan akan membuatnya lebih mudah memahami bacaan kelak.
Pemikiran Satria Dharma dapat dibaca lebih lengkap di situs SatriaDharma.com
no replies