Dulu saya memulai homeschooling dengan sibuk mempelajari berbagai metode yang dipakai para praktisinya. Mulai dari unschooling, Montessori, Charlotte Mason, pokoknya semuanya. Tapi fokus saya bukan memahami filosofi masing-masing metode, melainkan sistem belajarnya: kurikulumnya, jadwal belajarnya, dan lain-lain urusan teknis.
Saya fokus ke urusan teknis soalnya saya ingin ada standar yang memudahkan saya mengukur hasil homeschooling kami. Saya ingin bisa menjawab secara terukur dan meyakinkan kalau ada orang yang tanya tentang kemajuan anak-anak. Saya ingin merasa aman. Saya tidak mau dicap keliru memilih jalur pendidikan berbasis keluarga ini.
Bahkan setelah jatuh cinta pada metode Charlotte Mason dan memutuskan jadi praktisi CM pun, saya masih terobsesi soal teknis. Cari contoh jadwal belajar ke sana kemari, berburu dan belanja living books yang daftarnya panjang sekali, terengah-engah mengikuti target kurikulum praktisi CM dari luar negeri. Ujung-ujungnya saya malah stres sendiri.
Saya tetap menjalani metode CM, tapi dengan terseok-seok dan perasaan terintimidasi. Target kurikulum serasa tinggi sekali, sulit dilakukan. Saya merasa tidak mampu. Saya pun sering merasa bosan karena sesi belajar menjadi tak ubahnya rutinitas tanpa makna. Alhasil, saya sering tidak disiplin melaksanakannya, cenderung mengikuti mood. Tentu saja hasilnya tidak maksimal.
***
Saya tidak tahu kapan persisnya saya mengalami titik balik. Prosesnya terjadi perlahan-lahan dan melibatkan banyak faktor. Diskusi rutin di komunitas praktisi CM Jakarta, mengikuti aneka workshop CM, ikut Temu Raya praktisi CM se-Indonesia, baca langsung tulisan Charlotte Mason dan buku-buku karya para praktisi, coba dan ralat praktik CM dengan anak-anak sampai ketemu cara yang benar-benar nyaman buat kami – semuanya memicu satu kesadaran.
Dari berefleksi, saya jadi tahu mengapa proses pendidikan CM di keluarga kami belum maksimal. Ternyata selama ini ada satu hal penting yang saya lewatkan, yaitu menjawab pertanyaan: mengapa saya harus melakukan semua itu? Mengapa metode ini yang saya pilih? Dan yang terpenting: apa visi pendidikan keluarga kami?
Setelah bisa melihat relasi antara setiap materi dengan tujuan pendidikan dan visi besar keluarga kami, saya merasa bisa menjalani pendidikan CM ini dengan jauh lebih bermakna. Sangat jauh beda rasanya dibanding saat saya hanya mengejar target akademis “ala CM” tanpa tahu tujuannya.
Sesi akademis kami jadi lebih fleksibel. Dulu saya tegang mengikuti panduan kurikulum CM dari luar negeri, sambil mengeluh karena banyak living books yang saya tidak punya, atau yang saya rasa tidak kontekstual.
Sekarang setelah paham filosofi CM di balik pemilihan buku dan penyusunan jadwal, saya lebih rileks. Tidak harus plek seperti cara kurikulum tertentu atau gaya belajar keluarga praktisi CM lainnya. Juga seiring meningkatnya pengalaman membaca living books, saya makin bisa merasakan, “Oh, untuk pelajaran ini bisa juga pakai buku lain, buku karya penulis lokal, tidak harus yang dari luar negeri itu.”
Sekarang saya menjalani setiap hari bersama empat anak dengan sangat menyenangkan, berarti, dan penuh sukacita. Kegiatan belajar atau sesi akademis tidak lagi menjadi beban. Saya malah merasa kualitas hidup meningkat gara-gara menjalani prinsip-prinsip yang CM gariskan. Saya menumbuhkan diri lewat lebih banyak berbakti pada sesama, tidak lagi cuma sibuk mengurusi rutinitas domestik rumah tangga dan pelajaran akademis anak-anak.
Yang lebih menggembirakan, ketika spiritualitas saya bertumbuh, anak-anak ternyata juga menyerap atmosfer positif itu. Prinsip orangtua mengarahkan tanpa banyak cerewet (masterly inactivity) berjalan dengan sangat baik di rumah kami. Anak-anak terbiasa mandiri, selalu punya inisiatif melakukan hal positif di saat senggang mereka. Semangat belajar mereka terus menyala. Mereka giat, tapi bukan buat menggugurkan kewajiban semata.
***
Bagi teman-teman yang baru mau memulai homeschooling atau mempraktikkan metode Charlotte Mason, saya sekarang ingin menyampaikan pesan ini, supaya kalian tidak perlu mengalami masa “kegelapan” yang sepanjang saya:
“Dalam memilih metode pendidikan, jangan pernah lupa mencari tahu: apa tujuan akhir dari metode ini? Ketika kita memilih suatu praktik belajar, jangan lupa bertanya: apa visi kita, mengapa kita mau melakukan semua ini?”
Charlotte Mason membedakan pendidikan sebagai metode versus pendidikan sebagai sistem. Ketika pendidikan dianggap metode, memahami tujuan adalah bagiannya yang terpenting. Ketika kita jelas soal tujuan, segala sesuatunya akan terasa lebih mudah dilakukan. Kita tidak tersandera oleh saran teknis. Semua alat bisa digunakan mencapai tujuan. Pada dasarnya, anak bisa belajar dari apa pun yang ada di sekitarnya.
Sebaliknya, ketika pendidikan dianggap sebagai sistem, maka kita menjadikan prosedur teknis sebagai bagiannya yang terpenting. Anak lalu diperlakukan seperti benda mati yang dimasukkan ke dalam mesin bernama “pendidikan”.
Charlotte Mason sangat menentang cara pandang “pendidikan = sistem” ini. Pada hakikatnya, anak adalah pribadi utuh. Jadwal yang cocok untuk anak lain bisa jadi tidak sesuai dengan anak kita. Buku yang memantik anak lain mungkin tidak menarik bagi anak kita. Mereka jelas-jelas pribadi yang berbeda!
Terjebak dalam paradigma sistem ini juga rentan membuat orangtua putus asa. Kita repot menyusun jadwal dan bahan belajar, tapi karena tidak paham tujuan di baliknya, begitu menemui hambatan, kita mudah sekali menyimpulkan bahwa metode ini tidak cocok buat keluarga kita.
Seandainya pun kita bertahan menjalaninya, buat kita pendidikan tetap tak lebih dari sistem, jadwal, target belajar, checklist, kejar tayang, perilaku lahiriah. Kita jalan terus sekalipun tidak terlihat anak terinspirasi. Sebagai orangtua, kita juga bakal lelah sendiri, karena stres ketika target tidak tercapai padahal kita ingin terlihat sempurna. Anak malah menyerap atmosfer buruk yang memancar kuat dari kita.
***
Di bukunya volume pertama, Home Education, halaman 1, Charlotte Mason berpesan agar orangtua lebih bersungguh-sungguh merumuskan filosofi pendidikan keluarga masing-masing.
“Sama seperti hilir sungai tak akan lebih tinggi ketimbang hulunya, begitulah upaya mendidik tidak akan bisa melampaui konsep pendidikan yang menjadi asal-usulnya.”
Ibaratnya begini: Kita lihat orang lain punya taman bagus. Kita ingin punya taman seperti itu lalu menirunya habis-habisan, tanpa pernah bertanya: buat apa kita punya taman? Demi keindahan atau demi suplai oksigen dan kesehatan seisi rumah kita? Atau sekadar ikut tren agar mendapat pujian?
Tujuan akan menentukan proses dan hasil. Saat kita tidak memiliki tujuan yang jelas, cuma ikut-ikutan, lama-kelamaan kita akan merasa bosan atau putus asa atau terlalu sibuk untuk mengurus taman itu. Taman pun terlantar, tanamannya mati satu per satu.
Tanpa fokus yang jelas pada tujuan akhir pendidikan, maka semua langkah, semua jadwal kegiatan, tak lebih dari sebuah sistem kosong, hanya sekadar checklist penggugur kewajiban, dan serangkaian kesibukan rekaan tanpa makna. Tanpa visi yang jelas, homeschooling keluarga kita tidak akan ke mana-mana, metode sehebat apa pun yang konon kita ikuti.
Maka, alih-alih sibuk memikirkan teknis seperti jadwalnya bagaimana, buku apa yang digunakan, cara mengajarkannya, dll., sebaiknya awali perjalanan kita sebagai homeschooler dan praktisi CM dengan saksama memikirkan soal tujuan akhir yang ingin dicapai.
Kalau sudah memegang kunci, prinsip yang menjadi fondasi setiap pilihan kita, semua akan mengalir dan terasa ringan menjalaninya. Saat semangat merosot atau sedang gagal, kita tinggal kembali lagi merenungkan, “Mengapa saya memilih ini?”. Kita akan lebih cepat bangkit. Niscaya kekuatan itu akan muncul kembali.
Saya berani bicara begini, karena saya sudah mengalami.
Dear CM Indonesia,
Saya seorang ibu yang baru memulai HS
menggunakan metode HS dengan 4 orang anak, usia anak masing-masing 8 thn, 7 thn, 6 thn, dan 5 thn. Saya agak bingung dengan bagaimana mengubah habit anak sulung saya yang suka menunda-nunda ya? Apakah saya biarkan dia menunda dan menanggung konsekuensi nya? Karena kita ada kesepakatan, kalau mereka hanya boleh bermain (free time) jika sudah menyelesaikan target materi akademis dalam sehari itu. Dan free time yang ditunggu anak sulung saya itu adalah waktu bermain sepak bola dengan teman-temannya di jam 5 sore, jadi dia bisa menunda sampai sore (menjelang mau main sepak bola) baru kejar saya (ayo ma, cepat temani belajar). Sementara, saya sudah komunikasi kan dengan mereka kalau saya ada waktu di pagi hari sampai jam 12 untuk menemani mereka belajar. Lewat makan siang, saya juga ada pekerjaan yang harus diselesaikan (menyangkut pekerjaan). Untuk kurikulum, sementara saya masih menggunakan kurikulum AO Year 1 untuk semua anak kecuali yang paling kecil masih main bebas, dan diluar itu pelajaran English dan Math (sesuai level masing-masing). Jadi yang dia tunda-tunda itu mengerjakan English dan Math.
Thanks.
Anak akan terus menunda-nunda kalau aturannya tidak dirumuskan dengan jelas dan ditegakkan secara konsisten, mbak. Pada dasarnya anak hanya merespons sikap orangtua.
Mbak Ellen, apakah metode CM ini konsepnya jg bisa di terapkan utk anak special needs, dlm hal ini ASD (autism spectrum disorder) tp yg high function?
Metode CM ini bersifat universal, mbak Indah. Bisa diterapkan untuk konteks apa pun, tinggal disesuaikan teknisnya saja, prinsipnya tetap.
Mba bgmn cara mendapatkan buku2 CM dan buku apa yg sebaiknya dibaca terlebih dahulu dan dimiliki unt mengetahui prinsip2 dari CM ini?
Tulisan asli CM bisa dibaca lengkap dan gratis di website amblesideonline.org
Dianjurkan membaca volume 1 (Home Education) atau volume 6 (A Philosophy of Education) lebih dulu.
Sy blh join grup whatsapp nya jika ada?.Terima kasih sebelumnya.
Hai, Bunda. Grup WA biasanya dibentuk per komunitas kota. Jadi perlu bergabung dengan komunitas praktisi CM di kota Bunda atau kota terdekat untuk masuk.
Kalau mau bergabung dengan komunitas CMid Tangsel bagaimana caranya ya, Mba?
Bisa cari di fb akun atas nama Arum Wulandari ya, mbak Sari. Beliau koordinator CMid Tangsel.