Menjelang anak kami berumur 7 tahun, saya berkenalan dengan metode Charlotte Mason lewat buku Cinta yang Berpikir (Ellen Kristi). Saya cerita sedikit isinya ke suami dan suami tampak agak tertarik. “Coba deh, kamu baca serius buku itu,” katanya. Dia belum antusias betul karena tahu rekam jejak saya yang suka hanyut ke sana kemari, ikut workshop homeschooling sana sini, tapi akhirnya bingung sendiri.
Jujur waktu itu saya juga sebetulnya ya belum paham-paham amat metode CM, levelnya baru tertarik saja. Saya baru membaca lebih serius buku itu sepulang mengikuti Temu Raya Praktisi CM yang pertama di Salatiga tahun 2017. Ini event yang sungguh membukakan mata dan membuat saya mantap ingin menjadi praktisi metode CM.
Menyimak uraian dan sharing dari para praktisi senior di Temu Raya itu tak ternilai. Sempat saya menangis-nangis di sesi pembahasan belajar geografi ala CM. Sebagai alumni jurusan geografi, yang kuliah sampai mentok 14 semester, saya baru tersadar betapa penting dan indahnya subjek ini satu dekade lebih setelah lulus dari kampus. Konyol banget, kalau dipikir-pikir.
***
Dengan semangat membara, sesampainya di rumah saya langsung semangat menyusun rencana belajar ala CM buat Roetji, anak kami – matematika, membaca, menulis, nature study, dll. Waktu itu kayak optimis banget bahwa semua akan berjalan lancar.
Sambil merancang, saya juga kepoin media sosialnya para praktisi CM senior. Terkagum-kagum dong pada keseharian mereka, anaknya juga canggih-canggih amat. Narasi detil bin lancar. Jurnal studi alamnya dihiasi gambar yang bagus, tulisannya juga lengkap dan rapi. Ada yang bikin timeline sejarah pakai gambar tokoh-tokoh historis yang dijejer sampai panjang.
Alhasil, saya malah terintimidasi. Mental berkompetisi ala sekolahan pun muncul. Yang terjadi adalah dalam sesi-sesi belajar, saya malah jadi menggegas Roetji supaya dia lekas sekeren anak-anak praktisi CM senior itu – lupa bahwa anak yang saya jadikan contoh itu beda kemampuannya karena lebih tua umurnya, beda jenis kelaminnya, dsj. Saya pokoknya menuntut terus: kamu harus bisa, kamu harus bisa.
Akhirnya Roetji sering menangis saat belajar. Suami saya sampai tidak tahan lagi dan menyuruh saya meliburkan dulu sesi akademis. Katanya, “Kita ini memilih homeschooling kan biar anak bisa belajar dengan gembira, lha ini kok anaknya malah jadi stres. Kalau Roetji stres, kamu stres, aku juga jadi stres!”
***
Meski praktik akademis saya dan Roetji kacau balau, suami ternyata tidak lantas jadi menolak metode CM. Malah dia bilang, “Menurutku ini bukan metodenya yang salah, tapi kamunya yang nggak bener menerapkannya.”
Jadi saat mendapat informasi bahwa tahun 2018 akan diadakan Temu Raya Praktisi CM kedua, suami yang semangat menyuruh saya ikut lagi biar tahu seperti apa praktik yang betul.
Saya agak kurang senang karena merasa seperti disuruh maju perang sendirian. Saya bilang, “Kamu juga harus ikut, harus belajar juga, supaya nanti kalau ada apa-apa jangan aku terus yang disalahkan.” Suami sempat tidak yakin akan bisa cuti dari kerja atau tidak, tapi saya berkeras, “Pokoknya kamu harus ikut!”
Berhubung syarat ikut Temu Raya adalah suami-istri sudah harus selesai baca Cinta yang Berpikir, selanjutnya giliran saya yang memaksa-maksa suami untuk segera menuntaskan buku itu, sampai sempat saya tunggui malam-malam untuk memastikan dia membaca.
Berangkatlah kami sekeluarga ke Temu Raya kedua. Ternyata malah suami yang jadi lebih paham filosofi CM daripada saya. Sampai sekarang pun, di waktu senggangnya ketika kerjaan bisa ditinggal, dia selalu mengecek catatan kegiatan akademis Roetji, dan memberikan masukan-masukan supaya praktik saya yang suka aneh ini bisa diluruskan kembali ke prinsip-prinsip yang benar.
***
Belum selesai sampai di situ. Saya sempat lagi diserang rasa panik saat mengikuti sesi diskusi bersama praktisi CM senior lainnya. Praktisi itu melontarkan pendapatnya bahwa praktisi pemula sebaiknya tetap mempelajari dulu skema belajar yang disusun oleh Ambleside Online (AO) sebagai contoh. Katanya, nanti kalau sudah meningkat jam terbangnya, baru menyusun jadwal belajar yang lebih dikustomisasi.
Saya langsung saja mengubek-ubek website AO. Saya pelajari seperti apa gambaran jadwal dan materi belajarnya. Memang bagus sih, tapi saya jadi stres karena merasa praktik saya dan Roetji masih jauh sekali ketinggalan dari standar AO. Saya jadi merasa perlu merombak sana-sini.
Selama proses bingung-bingung jilid dua ini, suami menemani dengan sabarnya. Sepertinya dia sudah hafal istrinya nanti bakal reda sendiri seiring berjalannya waktu. Dan memang setelah beberapa saat, saya jadi lebih tenang setelah saya berpikir, beda dengan AO toh tidak apa-apa. Tidak semua praktisi CM praktiknya harus sama dengan AO, apalagi buat kita yang tinggal di Indonesia.
***
Kalau direfleksikan, tampak pola bahwa saya sebagai praktisi CM yunior jadi gampang stres ketika terobsesi untuk menyamai standar praktik teknis para senior. Menurut saya, ini terkait dengan mentalitas yang ditanamkan selama masa persekolahan dulu: takut salah, takut ketinggalan dari yang lain, dsj.
Sejak memutuskan untuk homeschooling, mentalitas kompetisi seperti itu memang sudah saya kikis sedikit demi sedikit. Namun, ternyata proses deschooling saya belum selesai. Sudut pandang lama itu mengakar terlalu dalam di diri saya, sehingga tetap bisa muncul lagi dan muncul lagi. Tinggal saya harus lebih rajin introspeksi supaya tidak terus jatuh ke jebakan yang sama.
Sekarang saya punya trik khusus supaya saya tidak gampang terintimidasi, yakni tidak membandingkan praktik saya dengan para senior, tapi dengan sesama praktisi baru. Ibarat orang berjalan, jangan memandang ke atas terus agar leher tidak sakit, kita juga harus lihat ke samping dan sekali-sekali melihat ke bawah, supaya seimbang.
Untuk soal filosofi CM, saya masih terus berguru pada para praktisi senior. Namun, saya juga banyak-banyak diskusi dengan sesama yunior, supaya saya merasa ayem (tenang) bahwa ternyata bukan saya saja yang masih jungkir balik belajar menerapkan metode CM.
Ada kalanya juga saya mengamati anak-anak lain yang masih belajar ala sekolahan. Terus terang saya merasa prihatin kok mereka belajarnya ala hafalan seperti itu, tidak dipupuk rasa cintanya pada buku-buku bermutu, dlsb. Saya jadi merasa bersyukur anak saya bisa belajar dengan metode yang lebih mengakomodasi dia sebagai pribadi utuh.
***
Tentang filosofi ini menurut saya sebetulnya penting sekali jadi fokus para praktisi CM baru. Ada kalanya kita merasa sudah tahu, padahal pemahamannya kurang tepat. Contoh kongkritnya ya kasus saya dan Roetji pada awal-awal menerapkan sesi akademis CM sepulang dari Temu Raya pertama.
Saat itu Roetji sampai menangis-nangis ketika disuruh belajar menulis karena saya bolak-balik menyuruh dia menghapus tulisannya yang saya anggap tidak sempurna. Saya terlalu kaku memegangi prinsip habit of perfect execution tanpa paham bahwa prinsip ini harus diselaraskan dengan kemampuan anak saat itu. Juga jam belajar Roetji molor sampai panjang sekali karena saya belum mengerti benar-benar pentingnya prinsip belajar dengan durasi pendek (short lessons).
Di sesi nature study, saya dulu kesal sekali karena Roetji ini disuruh menjurnalkan alam sekitar kok malah yang digambar rumah kami. Saya belum tahu bahwa ini kaitannya dengan prinsip atmosfer. Roetji belum paham apa gunanya nature journaling, dan waktu itu saya tidak memberi contoh tapi cuma jadi mandor saja yang menyuruh-nyuruh dia menggambar.
Setelah prinsip-prinsip CM makin saya pahami lalu terapkan, praktik akademis Roetji pun makin mudah dan menyenangkan. Malah sekarang tulisan Roetji sudah lebih bagus daripada tulisan saya, sampai dia bisa bilang: “Ibu seharusnya juga latihan menulis!” (dan saya betulan sekarang latihan menulis lagi lho). Saat nature study, saya tidak lagi sekadar menyuruh-nyuruh Roetji, tapi ikut membuat jurnal studi alam bersama Roetji.
***
Saya masih punya PR untuk terus membongkar mental kompetisi yang sudah mendarah daging dalam diri saya. Semua rasa panik saya yang kemarin-kemarin akar masalahnya ada di situ. Saya berharap anak saya jadi seperti anak keluarga lain. Saya bahkan berharap keluarga saya jadi seperti keluarga lain, padahal sama seperti setiap anak itu unik, setiap keluarga itu juga unik.
Supaya terhindar dari kepanikan yang saya alami, saya pikir keluarga praktisi CM pemula mesti rutin merenungkan kembali visi keluarganya, alasan memilih metode CM, kondisi riilnya. Ingat selalu bahwa dalam metode CM yang harus dipegang adalah prinsipnya, teknis itu mengikuti dan bisa disesuaikan. Karena itulah yang kita paling kejar mesti memahami prinsip CM lebih mendalam, maka teknis akan terus membaik dengan sendirinya.
no replies