Ini hal penting tentang pengasuhan anak yang perlu kita soroti: anak-anak terlahir dari ayah dan ibu, maka kita harus memprotes keras anggapan bahwa pendidikan hanya urusan ibu-ibu.
Tugas ayah bukan hanya berkutat di tempat kerja untuk mencukupi nafkah finansial-material. Anak butuh ayah yang hadir berperan serta dalam pengasuhannya. Di sisi lain, tugas ibu juga seharusnya tidak sebatas mengurusi tetek-bengek rumah tangga.
Sungguh mengherankan, mengapa para pemikir pendidikan malah sebagian besar laki-laki? Ke mana para pemikir perempuan? Sebagai sosok yang paling banyak beperan dalam praktik pendidikan, para ibu mesti lebih banyak bersuara dan terlibat dalam dialog teoritis tentang cara terbaik membesarkan anak.
***
Pada umumnya orangtua memulai karir membesarkan anak dengan memandang anak itu seperti kertas kosong. Ayah-ibu berambisi hendak menuliskan berbagai hal di lembaran polos itu.
Namun seiring waktu berjalan, satu per satu ciri khas anak sebagai pribadi utuh bermunculan, orangtua acap terkejut-kejut karenanya, entah terkejut senang atau kesal. Ayah-ibu yang realistis dan memahami kodrat anak sebagai manusia akan berdamai dengan realitas bahwa anak tidak selalu berperilaku seperti ekspektasi mereka.
Dari bayi mungil yang tidak bisa apa-apa, anak lalu berkembang pesat. Ayah-ibu dengan gembira melihatnya mulai berjalan dan berkegiatan. Jika diberi kebebasan dan kepercayaan, bocah itu makin lama makin mandiri.
***
Pada tahun-tahun pertama kehidupan anak, prinsip masterly inactivity (membiarkan anak yang lebih banyak berinisiatif menentukan kegiatan, orangtua memfasilitasi atau mengawasi saja) tampak memadai. Meski orangtua tidak terlalu banyak ikut campur, anak sudah selalu sibuk belajar, karena ia penasaran tentang apa saja.
Tugas orangtua di masa usia dini anak sebatas memastikan ia cukup makan, cukup istirahat, cukup kasih sayang, memperkenalkan buku-buku, membiarkannya banyak bermain bebas dan bergaul alamiah dengan lingkungannya, anak pun tumbuh sehat dan bahagia. Akan tetapi seiring anak bertambah umur, kita akan mulai menyadari bahwa masterly inactivity saja tak lagi memadai.
***
Jangan terlalu cepat puas kalau melihat anak secara umum relatif manis dan berperilaku “normal” – dia menuruti orangtua, pergi bersekolah, mengerjakan PR. Sebagai pendidik yang paling bertanggung jawab atas anak, ayah-ibu harus bertanya: apakah ini sudah cukup?
Jika cita-cita pendidikan kita cuma sebatas anak bisa beradaptasi dengan lingkungan, mungkin kenormalan itu cukup. Beda halnya jika yang kita cita-citakan adalah karakter luhur, menumbuhkan manusia yang sebaik-baiknya manusia.
Kalau karakter luhur tujuannya, kita akan sadar bahwa PR kita masih banyak: anak yang cerdas harus dididik agar tidak moody, anak yang suka menunda-nunda harus dididik agar disiplin, yang penakut agar asertif, yang pemarah agar ramah, yang suka berganti-ganti minat agar konsisten, dst. Pendidikan karakter mesti membantu anak-anak melampaui sifat-sifat bawaan alamiah mereka.
***
Banyak ide, tips, dan trik yang bisa kita terapkan untuk menumbuhkan karakter luhur anak. Prinsipnya, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Kita ambil contoh soal kegiatan mendongeng (storytelling). Ini kegiatan yang sangat direkomendasikan bagi anak-anak usia prasekolah oleh Froebel, penggagas lembaga taman kanak-kanak (Kindergarten). Ada daya pikat lebih dalam kisah yang langsung didongengkan dibanding dibacakan lewat buku.
Biasanya anak akan minta kisah kesukaannya didongengkan berkali-kali. Hanya, pastikanlah bahwa kisah yang kita pilih itu bermutu dan kita tidak menyampaikannya secara asal-asalan. .
Baik sekali jika setiap ayah dan setiap ibu memiliki koleksi sekitar selusin cerita menarik yang mampu mereka kisahkan secara menarik pula. Lewat kegiatan mendongengkan kisah-kisah inspiratif secara berulang-ulang ini, kita menggugah pertumbuhan karakter anak
***
Froebel hanya salah satu dari pionir dan tokoh hebat dalam dunia pendidikan. Kita berhutang pada mereka, orang-orang yang berpikir jauh melampaui zamannya, sehingga walaupun berabad-abad telah berlalu, gagasan mereka masih saja tetap terasa relevan.
Namun sayang sekali kita para pendidik ini sering terjebak pada sikap malas. Warisan ide yang begitu kaya cuma ditelantarkan. Masihmembaca buku-buku dan esai-esai yang mereka tulis?
Sepertinya tidak. Perpustakaan-perpustakaan di kampus para calon guru terlalu fokus pada terbitan ilmiah terbaru. Tulisan para pemikir hebat itu mungkin dianggap sudah “kuno”. Dan orangtua, sempatkah membacanya?
Sebetulnya sebagai pendidik, kita tak boleh pasrah begitu saja pada kata ahli ini atau kata ahli itu. Guru-guru juga jangan membebek pada perintah atasan atau pengurus yayasan. Kita – ayah, ibu, dan guru – adalah pendidik, jadi kita wajib rajin studi mandiri tentang cara terbaik membesarkan anak-anak dan siswa-siswa kita.
=========
Tulisan ini disadur dari Editorial yang ditulis oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891.
Sumber Foto: kidadl.com
no replies