Ketika sains tidak mengajar anak untuk takjub dan kagum, kemungkinan besar sains telah berhenti mendidik. (A Philosophy of Education, hlm. 224)
Geografi pernah meninggalkan trauma pada diri saya. Pada suatu ketika di masa SD, saat geografi masih dibungkus dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), saya sempat terdiam dengan wajah pucat pasi.
Di hadapan saya berdiri papan tulis dengan gambar peta provinsi Jawa Tengah lengkap dengan ibukota provinsi dan kota-kota kabupaten. Hanya saja kota-kota yang disimbolkan dengan lingkaran-lingkaran itu tanpa nama. Satu per satu anak maju untuk menyebutkan kota apa saja yang ada di peta itu. Itulah yang jadi momok banyak anak sekolah – peta buta.
Di SMP pelajaran geografi masih tergabung dalam IPS. Isinya menjelaskan (dan menghafal) provinsi dan negara-negara, hasil tambang atau hasil buminya apa saja, gunung, sungai, laut dan lautan.
Di SMA geografi baru mendapat namanya sebagai mata pelajaran tersendiri. Di jurusan fisika (A1), geografi sama dengan astronomi, lengkap dengan istilah-istilah macam azimuth, zenith. Andai saja disertai praktik, misalnya mengamati langit sungguhan di malam hari atau tiruannya di planetarium, pelajaran ini mungkin lebih menarik. Namun apa daya, sekolah saya tergolong sekolah miskin, minim fasilitas dan terletak di tengah perkampungan padat. Melihat langit terbuka pada siang hari pun kami kesulitan.
Intinya pelajaran geografi selama saya bersekolah formal sama sekali tidak menarik, tidak meninggalkan kesan baik, bahkan cenderung traumatis. Saya cenderung antipati pada mata pelajaran ini karena penyajiannya kombinasi antara sekadar hafalan teori dan guru yang killer.
***
Pengalaman masa lalu ini membuat saya bisa mengerti sebab-musabab Charlotte Mason merasa prihatin dengan pengajaran geografi di sekolah-sekolah.
Dalam volume 6 hlm. 224-230, CM mengkritik semangat utilitarianisme sempit yang membuat pelajaran geografi terlalu fokus pada “bagaimana, di mana, dan mengapa” kawasan mana pun di permukaan planet ini bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan uang.
Menurut CM, motivasi mengeksploitasi bakal menghalangi terbentuknya relasi. Pembuat kurikulum tidak menganggap penting memasok siswa dengan ide-ide inspiratif tentang permukaan planet kita tercinta ini: gunung gemunung, lembah, sungai, lautan, desa, kota, hutan, padang belantara yang semuanya memengaruhi kehidupan makhluk hidup di dalamnya.

Pelajaran geografi kita tidak memenuhi benak anak dengan imaji-imaji tentang, misalnya, menyusuri kanal-kanal di Venezia sembari mengenang kejayaan kota dagang ini, mengarungi gurun Sahara dengan deretan piramida serta sphinx di Mesir, ataupun menembus rimba Kalimantan yang sangat kaya keanekaragaman hayatinya, kekhasan masing-masing daerah.
Pendekatan sains modern yang terkotak-kotak juga membuat pelajaran geografi lantas terpisah dari bidang-bidang lain seperti sejarah, antropologi, sosiologi, geologi bahkan politik.
***
Saya sendiri mulai tertarik pada geografi justru karena karya-karya sastra. Saat kuliah saya membaca Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (YB Mangunwijaya). Romo Mangun mengisahkan kehidupan di Kepulauan Maluku, termasuk soal Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore, yang dulu di pelajaran geografi sudah sering saya dengar namanya.
Dari novel itulah saya baru paham, ternyata dua kesultanan itu hanyalah dua pulau kecil yang berhadapan. Keduanya digambarkan bagai anak-anak kecil bandel yang saling berebut mainan. Di sebelah mereka ada Halmahera, sosok berbadan jauh lebih besar, tapi tak berdaya menghadapi tingkah polah kedua bocah itu.
Gara-gara novel itu, saya jadi melihat peta lagi dan sejak itu jadi rajin melihat peta bila sedang membaca cerita yang asyik. Peta membuat cerita-cerita itu menjadi hidup di dalam benak, saya bisa membayangkan tempat-tempatnya.
Misalnya, di salah satu episode Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer). Alkisah Kesultanan Demak berkolaborasi dengan Kesultanan Banten dan Samodra Pasai untuk menyerbu Malaka, basis kekuatan Portugis di Nusantara. Digambarkan bahwa armada Demak berlayar ke barat lalu bertemu dengan pasukan Banten di ujung pulau Jawa. Dari situ kekuatan pasukan dibagi dua. Satu pasukan berlayar menuju barat daya, mengarungi Selat Malaka, untuk menyerbu Malaka dari arah timur. Pasukan satunya menyusuri pantai barat Sumatera, menjumpai pasukan Samodra Pasai di Aceh, lalu akan menyerbu dari arah barat. Episode ini pendek saja dan tidak terlalu detil, tapi di benak saya terbayang keseruannya.
***
Saya tentu saja berharap anak-anak saya tidak perlu mengulangi trauma saya pada pelajaran geografi. Sebaliknya, saya ingin ketika mempelajari ilmu bumi ini mereka menjadi – seperti kata CM dalam kutipan di atas – “takjub dan kagum”. Saya ingin pelajaran geografi yang berhasil mendidik karakter anak-anak saya.
Langkah pertama yang CM sarankan adalah menyajikan pada anak living books geografi.
“Anak-anak tidak akan dapat menarasikan yang belum mereka “lihat” di benak mereka, yakni yang kita sebut imajinasi, dan mereka tidak akan bisa membayangkannya kecuali buku mereka menceritakan dengan hidup dan menarik.”
Kutipan itu berisi pesan CM agar kita memilih buku-buku geografi yang ditulis secara naratif dan sastrawi, “menyajikan romansa tentang ciri-ciri alam suatu negara, sejarahnya, industrinya, sedemikian rupa hingga tak ada negara yang sekadar nama di peta”, dan dapat membawa pembacanya ikut larut menjelajahi tempat-tempat yang diceritakan di dalamnya.
Berikut contoh kutipan buku geografi yang dipelajari oleh para siswa di sekolah asuhan CM:
“Di tepi pantai dekat Leyden ada kotapraja bernama Katwyck, tempat manusia ‘membantu’ hilir Sungai Rhine mengosongkan diri ke laut lewat kanal buatan lebar yang dilengkapi dengan tidak kurang dari tiga belas pasang pintu air besar. Pintu-pintu air ini ditutup untuk membentengi kota dari air laut saat pasang datang, dan dibuka untuk membiarkan air mengalir saat surut. Sekalipun hal ini karya manusia yang mengesankan, bagi Sungai Rhine yang tadinya penuh gelora, pintu-pintu air itu tetaplah terasa jalan keluar yang dina. Delta sungai ini bisa dibilang lebarnya sebanding dengan keseluruhan lebar Belanda.” (Ambleside Geography, Buku IV)
Sungai mengosongkan diri, sungai merasa dina – betapa pilihan kata ini membuat penjelasan tentang sungai menjadi hidup. Alam dimaknai sebagai makhluk yang bertindak dan berperasaan. Dengan begini gambaran sungai itu akan terbayang oleh pembaca (anak) dan terekam dalam benaknya.
CM memberi saran untuk mencari buku yang seolah-olah dikisahkan oleh seorang musafir yang melintasi negara itu. Sebagai gambaran kisah perjalanan seorang musafir, saya ingin mengambil contoh cuplikan catatan perjalanan Agustinus Wibowo, pemuda Indonesia yang suka melanglang buana. Berikut gambarannya tentang Amu Darya, sungai di Lembah Wakha, Asia Tengah:
“Air mengalir dari ribuan mata air nun jauh di pegunungan tinggi Pamir, bercampur lelehan salju dari puncak-puncak gunung, memenuhi sungai dan jeram kecil. Aliran air menyusuri kedua sisi pegunungan tinggi, berlomba-lomba mencapai Amu Darya. Di musim panas, Amu Darya meluap sampai lebih dari seratus meter lebarnya. Airnya deras dan bergolak, tak mungkin diseberangi tanpa jembatan atau perahu. Tetapi, di musim dingin, Amu Darya mengering, seiring dengan matinya jeram kecil yang menjadi sumber kehidupannya. Gunung diselimuti salju yang semakin tebal, merata dari puncak hingga kakinya, Amu Darya menjadi jinak, mengalir perlahan. Ia menciut. Bantaran sungai yang mengering berubah menjadi padang pasir kelabu. Orang pun bisa berjalan kaki menyeberanginya.” (Garis Batas, hlm. 64)
Sayangnya di Indonesia masih sangat jarang buku geografi untuk pembaca anak yang menjelaskan dengan cara seperti ini, padahal alam dan budaya negeri kita yang beragam, berwujud kepulauan, serta diapit dua samudera besar mestinya sangat menarik dilihat dari segi geografi. Kondisi geologis berada di jalur Cincin Api menjadikan Indonesia negara dengan gunung api terbanyak di dunia. Fakta ini mestinya menimbulkan ketakjuban tersendiri pada kita dan anak-anak kita.
***
Langkah keduanya adalah membangun pemahaman anak tentang ruang dan mengakrabkannya dengan peta.
“[Anak harus dijamin] memiliki wilayah itu secara imajinatif, sembari tetap memberinya data yang cukup untuk membuat penilaian yang berimbang.”
Pemahaman akan ruang ini bisa dimulai dari lingkungan sekitar yang dia tinggali sehari-hari. Saya menggunakan buku Home Geography for Primary Grades (C.C. Long) sebagai salah satu buku panduan untuk pelajaran geografi anak saya.
Pelajaran dimulai dengan membantu anak mengenali arah mata angin dan arah terbit matahari dengan menggunakan tangan. Kalau tangan kanan menunjuk ke arah matahari terbit (timur) berarti tangan kiri menunjuk ke arah barat, dan di hadapannya adalah utara, sedang di balik punggungnya adalah selatan.
Setelah itu anak saya belajar menjelaskan posisi perabot di kamar tidurnya (tempat tidur, lemari, meja belajar, dll.) dengan menyebut letak masing-masing sesuai arah mata angin. Setelah paham, ia membuat denah kamar tidurnya.
Selesai dengan kamar tidur, pelajaran meningkat ke membuat denah rumah. Kembali ia harus menjelaskan ruang-ruang yang ada sesuai dengan arah mata angin dan kaitannya dengan rumah-rumah lain yang ada di sisi kanan dan kirinya.
Sesi selanjutnya adalah mengenali denah kampung (satu RT). Saya ajak anak berjalan-jalan keliling kampung, mencermati bentuk kampung itu, bagaimana posisi jalannya terhadap mata angin, ada berapa rumah, rumah siapa saja. Dia menghitung dan memposisikan benda-benda penanda seperti gapura, pohon, dll. Ini menjadi proses anak membangun relasi dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Begitu terus, ruang yang anak akrabi makin lama makin luas: dari tingkat RT ke tingkat RW, dari tingkat RW ke tingkat kelurahan, dari tingkat kelurahan ke tingkat kecamatan, dari tingkat kecamatan ke tingkat kota, sampai nanti akhirnya anak memahami negaranya, kawasan regionalnya, benuanya, dan dunianya.
Dari belajar membuat denah, anak jadi makin paham gunanya peta. Dalam metode CM, peta tidak terbatas hanya untuk pelajaran geografi saja. Membaca buku apa pun yang menyebutkan daerah tertentu, anak dibiasakan untuk mempelajari petanya lebih dulu, maka saat membaca, akan terbayang di benak mereka posisi daerah tersebut dibanding daerah lain, situasi daerah tersebut dalam konteks yang lebih luas, bagaimana mencapai tempat tersebut, dan lain sebagainya.
Peta memang bukan esensi dari geografi, tapi peta itu sarana penting untuk membantu anak memahami ruang. Alangkah baik lagi jika buku-buku bacaan anak dilengkapi dengan peta. Dan lagi-lagi ini kritik untuk buku-buku di Indonesia yang jarang sekali menyertakan peta.
***
Langkah ketiganya adalah menyajikan pengetahuan geografi secara panoramik.
“Gambaran dari masing-masing negara dalam pelajaran ini harus, di atas semuanya, menarik dan pada saat yang sama menyediakan penjelasan yang cerdas dan cukup menyeluruh tentang negara tertentu.“
CM bilang ada dua cara rasional menjelaskan geografi, yaitu secara inferensial dan panoramik. Metode inferensial berfokus pada sajian data statistik (kuantitatif) dalam menjelaskan keadaan suatu wilayah, sementara metode panoramik menekankan pengenalan holistik yang sifatnya “bercerita” tentang wilayah tersebut.
Intinya, menurut saya CM ingin kita paham bahwa belajar geografi tak bisa dipisahkan dengan aspek-aspek lain seperti sejarah, budaya, politik dan sosial. Maka, saat mengajak anak mengakrabi kota kami (Semarang), saya ajak dia belajar sejarah kota ini. Misalnya, kampung kami ini dulu di zaman Hindia Belanda posisinya seperti apa dalam konteks pengembangan kota. Dengan membuka peta bertarikh 1920an-1930an, anak jadi bisa melihat bahwa kampung kami yang sepertinya biasa-biasa saja ini ternyata dulu lebih maju dibanding kawasan yang sekarang dianggap elit. Pada saat kampung kami sudah “eksis”, kawasan elit itu dulu masih berupa tanah kosong – entah kebun, entah sawah atau malah rawa-rawa. Dari sejarah kita jadi tahu posisi tempat tinggal kita dalam lintasan waktu perkembangan kota.
Dengan pendekatan panoramik ini saya pikir anak akan lebih paham negerinya sendiri secara utuh, menghindari generalisasi yang menyesatkan. Misalnya, di sekolah dulu sering kita dengar “masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris”. Pernyataan tersebut menutup fakta lain bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki garis pantai terpanjang pula. Ada masyarakat Indonesia yang hidup bukan dari bercocok tanam, tapi sebagai nelayan, dari dulu kebudayaan bahari sangat menonjol di Nusantara. Belum lagi jika kita bicara tentang sebagian masyarakat Indonesia yang sampai saat ini hidup dengan cara berburu dan meramu.
Dalam metode panoramik lansekap seluruh dunia beserta segala hal yang melingkupinya (iklim, penduduk, hasil bumi, sejarah, dan lain sebagainya) dibabarkan di hadapan siswa. Setiap negara atau wilayah di dalam peta akan penuh warna dan kaya detil seperti saat kita melihat pemandangan (panorama) yang indah. Imajinasi anak akan hidup dan pengetahuan ini akan abadi tinggal di benaknya.
CM memberi petunjuk yang cukup detil penyajian pelajaran geografi dari jenjang ke jenjang secara panoramik. Selain dari living books, anak-anak di usia SMA juga dilatih melakukan riset tentang negara tertentu. Mereka harus mencari informasi dan mengikuti peristiwa terkini di negara-negara yang mereka riset itu dengan membaca surat kabar dan sumber lainnya. Menggunakan peta dan atlas harusnya sudah menjadi kodrat kedua (second nature) buat anak-anak di level tinggi ini.
***
Catatan lain yang CM berikan soal pelajaran geografi ini adalah menghindari kebergantungan pada sarana audio-visual.
“Gambar-gambar ilustrasi tidak terlalu berguna dalam studi geografi. Kita semua tahu bahwa gambar ilustrasi yang paling awet tinggal dalam pikiran kita adalah ilustrasi yang dikonstruksi oleh imajinasi kita sendiri dari membaca deskripsi tertulis.”
Pendapat CM ini mungkin akan mengundang kontroversi. Di zaman CM, teknologi grafis masih sederhana. Waktu itu seni cetak belum terlalu berkembang; fotografi masih memerlukan peralatan yang tidak praktis, sangat rumit dan mahal; sinematografi baru menggeliat menjelang peralihan abad 19 ke abad 20. Saat ini teknologi fotografi maupun sinematografi sudah sangat canggih. Gambar dan suara bisa tampil degan begitu jernih. Kedalaman konsep pembuatannya pun juga sudah jauh berkembang dibanding seratus tahun yang lalu, sehingga keduanya layak digolongkan sebagai salah dua cabang seni. Bukankah ilustrasi grafis yang yahud malah menunjang pelajaran geografi?
Tetapi pertanyaan pentingnya – apakah foto dan/atau film bisa menggantikan kata-kata dalam buku? Dalam hal ini saya sepakat dengan CM. Kata-kata yang dibaca anak-anak akan diolah di dalam kepalanya dan benaknya akan memproduksi imajinasi tentang bacaannya itu. Proses “produksi” imajinasi ini akan membuat pengetahuan terekam dengan lebih baik dibanding apabila pengetahuan tersebut berbentuk gambar/foto/film yang sudah mendikte wujudnya.
Saya kembali mengambil contoh tulisan Agustinus Wibowo. Coba baca kutipan berikut:
“Khorog tampak sunyi, dipayungi pegunungan raksasa. Udara sejuk memanjakan pikiran, merasuki tubuh. Rumah sederhana tersebar tak beraturan, kontras dengan pegunungan yang berbaris rapi mengurung mereka. Pekarangan rumah-rumah terjalin bak sulaman, dikelilingi tembok, tetapi ada pintu yang menghubungkan satu sama lain. Rasanya seperti permainan rumah sesat, atau game Pac-man, kita bisa berkeliling kampung dari rumah ke rumah, dari pekarangan ke pekarangan.” (Garis Batas, hlm. 53).
Bagaimana foto atau film akan menggambarkan “dipayungi pegunungan”, “udara sejuk memanjakan pikiran, merasuki tubuh”, “pekarangan terjalin bak sulaman”? Tentu bisa saja disajikan foto atau sepotong bidikan video dengan durasi satu menit tentang daerah tersebut, tetapi impresinya pasti tidak sekaya bacaan, imajinya sudah dipatok seperti yang tampil di kertas atau layar.
Sekalipun demikian, menurut saya, bukan berarti CM mengharamkan gambar/foto atau film. Media audio-visual boleh saja digunakan, dengan hati-hati, sejauh pokok bahasan tak bisa dijelaskan dengan baik oleh buku-buku yang naratif-sastrawi.
Karena itulah saya pikir sungguh mendesak untuk mengadakan buku-buku geografi (dan pelajaran-pelajaran lain) yang naratif dan sastrawi, agar benak anak menjadi kaya dan ada relasi dengan pengetahuan yang dipelajari.
no replies