Bulan Mei sampai Juli 2020, di semester awal pandemi COVID-19, komunitas praktisi metode CM di Jakarta berinisiatif mengajak anak-anak bersama membaca puisi dari rumah. Serial acaranya diberi tajuk Malam Deklamasi, dengan tagline “Mari membaca puisi karya sastrawan Indonesia!”. Rekaman beberapa sesinya bisa ditonton di kanal Charlotte Mason Jakarta. Artikel berikut ini berisi kesan dan refleksi seorang ayah praktisi metode CM tentang acara tersebut.
Tanggal 16 Mei 2020. Sabtu malam. Selepas shalat isya’ dan tarawih, kami sekeluarga sudah bersiap di depan laptop. Seperti pekan sebelumnya, malam ini ada agenda yang sudah kami tunggu-tunggu: malam deklamasi!
Bagi saya, istri, dan dua anak kami – Kay (11 tahun) dan Ken (7 tahun) – malam deklamasi menjadi jeda yang menghibur di tengah agenda “mengurung diri” akibat pandemi COVID-19. Anak-anak membaca puisi dengan beragam ekspresi, meski hanya di depan layar laptop. Seperti menonton pentas seni! Kami menikmati.
Kali ini malam deklamasi menampilkan anak-anak usia 4-9 tahun. Bungsu kami Ken yang akan ikut serta sudah terhubung dengan 51 peserta lain di berbagai kota melalui aplikasi telekonferensi. Mereka tersebar di Jakarta, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, Sukabumi, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banda Aceh, bahkan Nias.
***
Pekan lalu, saat anak-anak usia 10-15 tahun berdeklamasi, saya terkejut dengan puisi-puisi yang mereka pilih. Mungkin saja puisi itu mereka pilih karena rekomendasi atau intervensi orang tua, tapi ketika menyimak cara mereka membacakannya, saya tertegun. Ada kemarahan, kesedihan, kegembiraan, jenaka, dan gulana yang terpancar dalam artikulasi dan ekspresi mereka.
Ketika seorang anak membaca puisi Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono, pikiran saya melayang. Anak usia 10 tahun membaca puisi yang sudah berumur 29 tahun, bisakah dia menangkap isi dan makna larik-larik bait ini?
Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
Lalu ketika ada yang membaca puisi karya KH Mustofa Bisri (Gus Mus) berjudul Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana, saya bertanya: apakah dia menangkap kegundahan Gus Mus, problem intoleransi, atau ruwetnya relasi antar kelompok keagamaan di Indonesia?
Saya tak ingin segera mencari jawabnya. Toh, mereka tengah memulai langkah di belantara kesusastraan. Lagi pula, nama-nama yang mereka pilih bukanlah sastrawan kacangan. Mereka antara lain membaca puisi Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api karya Rendra, Apa Kabar Negeriku? karya Dewi Lestari, Presiden Boleh Datang, Presiden Boleh Pergi karya Taufiq Ismail, dan Di Bawah Selimut Kedalaman Palsu karya Widji Thukul.
Usai anak membaca, pemandu acara biasanya akan bertanya kenapa mereka memilih untuk membacakan puisi ini atau itu. Beragam jawabannya. Salah satu anak bilang, “Rasanya relevan dengan kondisi negara kita saat ini.” Hmmmm, jawaban yang tak saya duga muncul dari seorang anak seusia itu.
***
Apa pentingnya anak-anak belajar sastra? Ini mesti dijawab lewat refleksi tentang apa pentingnya sastra itu sendiri.
Saya punya keyakinan membaca karya sastra bermutu mampu menajamkan rasa. Saya bukan sastrawan atau pemerhati sastra, bukan pula pembaca puisi yang baik, tapi saya menikmati rima, diksi, satire, kritik sosial, metafora, serta pesan perjuangan atau perlawanan yang dikandung puisi. Sejumlah karya puisi yang mewakili kegundahan, kegembiraan, kegeraman, dan emosi saya labeli sebagai “puisi bagus”.
Saya ingat, di kelas diklat pada tahun pertama saya berkarir sebagai jurnalis Kompas di pertengahan 2005, salah satu pengajar pernah berpesan: “Sebagai cub reporter (wartawan pemula), anda mesti menyelingi hari-hari liputan dengan membaca karya sastra, entah novel, cerpen, sajak, atau puisi.”
Saat masih pemula, wartawan biasanya akan di-drill untuk berlatih menulis berita langsung (hard news) terlebih dulu. Nanti seiring meningkatnya kemampuan, wartawan akan mulai dilatih menulis laporan khas (soft news atau feature). Kata para guru, agar tulisan tidak “kering”, wartawan harus berlatih mengolah rasa dan mengasah segenap indera, termasuk dengan lebih banyak membaca karya sastra.
Tulisan disebut “kering” kalau sekadar menyampaikan fakta tanpa makna, semata angka, data, atau informasi permukaan, tanpa isi dan kedalaman materi. Sebaliknya tulisan khas yang bagus selain memuat fakta dan data juga mesti mengandung pesan yang bermakna. Oleh karena itu, kualitas tulisan khas (feature) sering diukur dari kekuatan pesan, kemampuannya menggugah emosi atau rasa pembacanya, serta keindahannya.
“Writing is not typing – menulis bukan semata mengetik kata-kata,” begitu kata guru jurnalistik saya. Yang perlu dilibatkan dalam menulis bukan hanya otak (rasionalitas), melainkan juga rasa dan hati (emosi). Bacaan sastrawi mengandung “gizi”, menajamkan rasa sekaligus memberi penulis bekal untuk memenuhi unsur estetika (keindahan). Karya jurnalisme sastrawi pasti memuat alur, drama, dan estetika.
Saya juga ingat Gus tf Sakai, sastrawan yang menyebut diri “pekerja sastra”, pernah berpesan soal pentingnya menyeimbangkan otak kanan dan kiri. Dalam esainya Sastra dan Kepekaan Budi (Kompas, 8 Januari 2012), ia menyatakan: otak kanan dan kiri tak sekadar jalinan fisik (material) glia dan neuron – ada rahasia akal budi (yang filsuf René Descartes sebut “jiwa rasional”) yang bersemayam di dalamnya.
Gus tf Sakai mengkritik ironi dunia pendidikan kita yang cenderung tidak seimbang mengembangkan otak siswa. “Dunia ilmu dan pendidikan, boleh dikata, adalah dunia otak kiri. Seni, sebagai basis otak kanan, berhadapan dan ‘dikeroyok’ oleh sains, ekonomi, sosial, politik, hukum, agama, dan filsafat,” ujarnya. Padahal, kata dia, ada yang hanya bisa dilihat dan dipahami melalui otak kanan, sehingga perannya justru sangat utama dalam proses penyempurnaan budi.
***
Selain menyajikan keindahan bahasa yang mengasah rasa, sastra juga menjadi cermin kehidupan masyarakat. Dalam puisi ada karakter, ekspresi, moral, pengalaman, dan segenap aspek kehidupan manusia yang bisa dijadikan pelajaran untuk bekal hidup ke depan.
Saya sepakat dengan kalimat tokoh pendidikan Charlotte Mason: “Sastra bukan hanya menyingkapkan hal-hal yang terdalam dari jiwa manusia, melainkan juga bermanfaat sebagai teladan kehidupan dan petunjuk perilaku.” (A Philosophy of Education, hlm. 51)
Sebagai karya intelektual, puisi, prosa, cerpen, novel, atau sajak memang tak lepas dari motif dan latar penulisnya. Sastrawan Ahmad Tohari, dalam pidato kebudayaannyaMembela dengan Sastra (dimuat di Jurnal Sajak nomor 8 tahun 2014) bilang ada karya sastra yang ditulis dengan niat mengaktualisasikan diri, membangun eksistensi, atau mendapatkan uang, dan itu sah-sah saja.
Namun, banyak juga sastrawan yang menulis untuk mengungkapkan kegelisahan jiwa dan mengejar tujuan luhur. “Setelah kegelisahan itu lahir sebagai karya sastra, maka terserah kepada masyarakat, mau membaca, menangkap nilai yang terkandung, atau membiarkannya tersimpan di rak-rak buku,” ujarnya.
Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk itu sendiri meniatkan berkarya seluruhnya untuk menjalankan perintah Tuhan, untuk membela amanat dan “alamat-alamat”-Nya. Yang ia sebut amanat Tuhan adalah penyebaran kasih sayang kepada seluruh isi alam, keadaban kehidupan yang dibangun dengan menegakkan keadilan, kebenaran, kasih sayang, martabat kemanusiaan, pranata sosial yang baik, dan seterusnya.
Meskipun pewartaan sastrawi tidak akan serta merta mengubah keadaan orang miskin, anak yatim, atau orang tertindas –“alamat-alamat Tuhan” yang dimaksud Tohari – sastra tetap punya tugas mengetuk nurani masyarakat jika terjadi gejala pelanggaran nilai keadaban. Sastra hadir untuk menyentuh kesadaran dan jiwa manusia.
Ya, sastra punya kekuatan. Sastrawan Vietnam Nguyen Phan Que Mai berbagi kesaksian, di jurnal yang sama, betapa para veteran Perang Vietnam – orang Vietnam maupun Amerika Serikat – yang dulu bermusuhan bisa saling berpelukan dan menemukan pelipur lara pada ungkapan kata masing-masing.
Negeri Vietnam ini menarik. Puisi benar-benar hidup di sana. Orang-orang Vietnam percaya bahwa puisi adalah aspek intrinsik dalam keindahan alam yang menjadi bagian penting kehidupan mereka. Lebih dari 500 tahun lalu, Kaisar Le Thanh Tong menyatakan sastra sebagai dasar negara.
Vietnam punya Hari Puisi Nasional yang dirayakan di seluruh penjuru negeri. Tahun demi tahun, puluhan ribu orang tua dan muda menempuh hujan dan angin, bahkan meliburkan diri dari kerja dan bisnis, agar bisa datang dan menyimak puisi. Setiap tahun pula ribuan pendatang dari berbagai sudut dunia mengunjungi Ha Long Bay dan menulis syair di kaki Pegunungan Puisi itu.
“Di dunia masa kini yang didera berbagai perubahan, sastralah yang boleh jadi membuat kami tetap membumi sebagai manusia dan gairah hidup tetap bertahan. Di tengah dunia berbadai, tempat perang dan kekerasan masih menghancurkan ratusan ribu jiwa manusia di seluruh dunia, sastra bisa dijadikan duta besar bagi perdamaian,” kata Que Mai.
***
Demikianlah, kalau sastra itu penting, saya yakin mengajarkan sastra kepada anak itu juga penting. Hanya saja, khususnya tentang puisi, pertanyaan saya kemudian adalah: puisi macam apa yang mesti diberikan ke anak-anak?
Saya mencoba mengubek-ubek buku di rak, browsing di internet, dan tanya sana-sini ke teman-teman di desk kebudayaan. Saya merasa belum mendapat jawaban yang memuaskan, belum ada penjelasan yang spesifik tentang pilihan puisi untuk segmen anak-anak.
Tentu tak ada standar tunggal untuk menilai kualitas puisi sebagai karya seni atau karya intelektual. Secara subyektif, sebagaimana memilih buku bacaan, saya cenderung menimbang perlu atau tidaknya suatu puisi ditawarkan ke anak-anak dari ide yang dikandungnya.
Puisi mana yang bagus untuk anak? Saya menentukannya dari diksi, rima, dan pesan di dalam puisi itu. Puisi yang membuat saya termenung, emosional, tergugah atau sulit dilupakan karena keindahan larik dan baitnya, itu menjadi pertimbangan saya untuk memberikan label bagus atau kurang bagus, atau untuk menawarkannya atau tidak ke anak-anak. Sekali lagi, ini subyektif. Jawaban kita bisa berbeda.
Boleh jadi juga penilaian ini terlalu dini, tetapi saya melihat perubahan setelah kami (saya dan istri) mengenalkan sastra, khususnya puisi, ke anak-anak. Kami terkejut ketika tiba-tiba Kay menulis puisinya sendiri, dengan diksi yang tak biasa dan penuh rima. Kami juga terheran-heran ketika Ken hafal beberapa bait puisi Zikir dan Ibu karya Zawawi Imron yang baru sekali dia dengar dan simak langsung dari penulisnya.
…
kalau aku ikut ujian, lalu ditanya tentang pahlawan
kalau aku ikut ujian, lalu ditanya tentang pahlawan
kalau aku ikut ujian, lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu, engkau ibu, dan aku anakmu
…
Ketika malam ini Ken mengulangnya dengan nada lebih tinggi, menirukan Zawawi yang sampai mengulang tiga kali satu kalimat di bait itu, lalu klimaks dengan intonasi yang lebih pelan dan penuh penghayatan pada kalimat berikutnya, saya terguncang haru.
Ah, barangkali ini subyektif, tapi saya bahagia.
===
Sumber gambar: NPR.org
no replies