Dalam perjalanan homeschooling kami, pernah ada kejadian unik. Saya dijauhi oleh seorang kawan karena dianggap “tidak islami”. Saya dianggap tidak islami gara-gara keluarga kami menerapkan metode Charlotte Mason, seorang filsuf pendidikan dari Inggris.
Charlotte Mason, seperti semua tahu dan tidak pernah disembunyikan oleh para praktisinya, adalah seorang Kristiani yang taat. Dalam tulisannya ada banyak kutipan yang menyitir teks Bibel. Namun, apa lantas kalau CM itu Kristen dan tulisannya ada ayat Bibel-nya, keluarga muslim tidak boleh menerapkan metode ini?
Saya sih tidak gusar dituduh seperti itu. Bagi saya fenomena ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan. Akar persoalannya menurut saya ada di semangat puritanisme, ghirah sebagian kawan muslim yang sedang mempelajari dan berkeinginan kuat untuk menerapkan nilai-nilai Islam secara kaffah. Itu membuat mereka terlalu bersemangat mengkotak-kotakkan mana yang islami dan yang tidak, mana yang syar’i dan tidak syar’i, yang sayangnya justru kadang terjebak pada sandaran tekstual semata. Yang hakiki, dan kontekstualisasinya, secara tidak sadar justru terlupakan.
***
Problem lainnya, menurut saya, adalah karena kawan ini memang belum sepenuhnya paham isi konsep dan ide pendidikan Charlotte Mason. Dia melihat hanya di permukaan, padahal ketika hendak menentukan sikap untuk suatu urusan yang sangat penting, saya pikir kita harus mau mendalami sepenuhnya, termasuk dalam hal ini metode pendidikan anak. Jangan terpaku melulu pada how to, sisi praktis, tapi mesti sampai ke akar filosofinya.
Memang derasnya arus informasi di internet memudahkan kita comot informasi dari sana sini, membuat kita cepat merasa sudah tahu sepenuhnya seluk-beluk suatu urusan. Ada kecenderungan berpikir yang instan dan pragmatis.
Ketika mendengar metode Charlotte Mason, misalnya, orang bisa langsung browsing. Siapa sih Charlotte Mason itu? Oh, orang Kristen. Namanya Mason? Ah, itu pasti ada hubungannya dengan Freemason. Buku-buku apa sih yang dipakai? (Lalu yang ditengok adalah Ambleside Online, website para praktisi metode CM di Amerika Serikat) Oh, daftar buku di kurikulumnya banyak berisi rekomendasi living books Barat, buku-buku dari budaya Kristiani! Lalu keluarlah simpulan: metode ini tidak islami.
***
Apa sih basisnya menilai islami dan tidak islami itu? Justru setelah menyelami ide-ide filosofis CM secara saksama dengan pikiran terbuka, saya sebagai seorang muslim menilai ide-ide CM ini malah sangat islami.
Saya haqqul yakin siapa saja yang serius mempelajari esensi pemikiran CM, pasti akan setuju bahwa metode ini tidak ada yang melenceng dari ajaran Islam. Sejauh yang saya pahami, dibanding metode-metode lain seperti yang dikemukakan Deborah Meier, Maria Montessori, atau John Holt, ide-ide CM ini paling relijius.
Menariknya, relijiusitas yang ditawarkan CM terbuka untuk diterapkan di agama apa pun. Saya pun yakin, teman-teman Kristen yang belajar metode CM sungguh-sungguh akan menemukan metode ini sangat Kristiani, yang Hindu akan menemukan metode ini Hindu-i, yang Buddhis akan mendapati metode ini Buddha-i, dst.
Justru ini jadi salah satu alasan kuat keluarga saya menjadikan metode CM sebagai pilihan. Kami butuh metode yang relijius, tapi penerapannya bisa fleksibel. Tinggal kreativitas kami untuk menjadikan ide relijius tersebut sesuai dengan keyakinan kami, yakni Islam. Karena ide dasar, filosofi, sampai praktik CM selaras dengan ajaran Islam, adaptasi itu tersebut bukan sesuatu yang sulit.
***
Sampai di sini saya terngiang kata-kata Gus Baha, ulama favorit saya, dalam salah satu kajiannya. Kata Gus Baha, hukum asal dalam persoalan muamallah adalah “boleh kecuali yang dilarang”. Buat saya ini artinya sebagai umat muslim kita bebas punya kreativitas.
Umat muslim boleh belajar dari tokoh-tokoh pendidikan mana saja dan bereksperimen menafsirkan pemikiran tokoh-tokoh itu dalam konteks keluarga muslim. Dalam sejarah, Ki Hadjar Dewantara pun terinspirasi pemikiran Froebel, Rudolf Steiner (metode Waldorf), dan Maria Montessori ketika mengembangkan Taman Siswa.
Seperti Ki Hadjar Dewantara, dalam praktik pendidikan, bisa saja dan buat saya boleh-boleh saja ada keluarga muslim yang merasa klik dengan pemikiran Froebel, Steiner, Holt, Meier, Montessori, dlsb. (NB: Saya lihat ada banyak keluarga muslim yang menyekolahkan anak di sekolah Montessori, padahal Montessori itu ide-idenya malah lebih sekuler dibanding Charlotte Mason.)
***
Sebagai muslim, kita mengenal prinsip al-muhafadhah ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah – menjaga hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.
Bagi keluarga kami, menyerap khazanah ide pendidikan CM justru mempermudah kami menjabarkan praktek mendidik yang anak yang Qur’ani. Tujuan pendidikan Islam, sepengertian saya, adalah membimbing anak-anak agar tumbuh menjadi insan kamil.
Terus terang sebagai orangtua yang dibesarkan dalam sistem pendidikan (baca: persekolahan) yang utilitarian, saya dan istri sempat bingung ketika punya anak – dengan cara apa kami harus mendidik agar anak-anak kami tumbuh menjadi insan kamil? Bagaimana kami mencapai visi pendidikan yang semulia itu? Di sinilah pemikiran CM memberi tafsir yang membantu menjawab pertanyaan tersebut.
***
CM mengumpamakan begini: Kita orangtua ibarat petani yang dititipi mendidik seorang pangeran oleh raja, maka mendidik anak tidak boleh sembarangan karena kelak anak itu harus si petani pertanggungjawabkan kembali kepada Sang Raja. Ini selaras dengan pandangan muslim bahwa anak adalah amanah besar dari Allah Swt pada setiap orang tua. (Dari sini saja sudah kelihatan bagaimana relijiusnya pemikiran CM kan?)
Lalu hal yang paling mendasar dalam metode CM adalah orangtua harus sadar untuk apa anak dilahirkan. CM meyakini bahwa setiap anak dilahirkan sebagai pribadi yang utuh. Dalam perjalanan hidupnya, anak harus menemukan Tuhan yang kepada-Nya dia harus mempersembahkan kepala, tangan, dan hatinya. Ini dalam ajaran Islam diistilahkan dengan khalifah, manusia mesti hidup mengemban misi suci Tuhan di alam semesta.
Tugas menjadi khalifah yang baik hanya akan bisa ditunaikan oleh manusia insan kamil. Insan kamil adalah manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta komit mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan sesama manusia. Pengertian kamil ini persis dengan definisi magnamimous yang diajukan oleh CM sebagai tujuan mendidik anak.
***
Karena cita-citanya adalah mencapai derajat manusia yang seluhur mungkin, maka CM sangat menolak gagasan pendidikan yang utilitarian. Terlalu remeh temeh dan justru menurunkelaskan keluhuran anak sebagai manusia kalau pendidikan hanya berniat “menyiapkan anak yang siap kerja”. Tak heran, glorifikasi minat-bakat tidak ada dalam filosofi pendidikan CM.
CM menitikberatkan sasaran pendidikan anak di akal budinya. Karena anak itu pribadi yang utuh, maka CM tidak membuat sekat mana materi pendidikan agama dan mana materi non-agama. Justru semua subjek dibuat saling kait mengait dalam topangan tiga instrumen pendidikan: atmosfer alamiah, disiplin kebiasaan baik, dan penyajian ide-ide hidup.
Ketiga instrumen itu bagi saya seperti jadi juknis untuk menerapkan Iqro’ yang merupakan kata kunci dalam pendidikan Islam:
- “Ajaklah anakmu Iqro’, dengan atmosfer alamiah yang sudah disajikan oleh Tuhan.”
- “Tanamkan pada anakmu disiplin kebiasaan-kebiasaan luhur yang diajarkan Nabimu sehingga jasmani dan akal budinya terlatih dan tumbuh dengan semestinya.”
- “Sajikan makanan terbaik bagi benak anakmu, semua materi yang berkualitas dan berdaya hidup, supaya dia juga tumbuh dan berelasi dengan ide-ide yang luhur dan tinggi, dan bantu anak belajar mengunyah semua itu secara perlahan dan saksama sedemikian hingga ayat-ayat Kauniah dan Qauliah-Nya hidup dalam pribadi anak.”
Juknisnya tidak berhenti sampai di situ, masih ada lagi detil-detil teknis yang jelas untuk dipraktikkan sehari-hari: konsep otoritas dan ketaatan (habit of obedience), hukum kehendak (way of will), hukum nalar (way of reason), pustaka hidup (living books), membaca lambat (slow reading), narasi dalam sekali baca, dan banyak lagi, yang kalau dipelajari lebih lanjut anda akan menemukan betapa ide-ide pendidikan CM ini sangat islami.
Salah satu kegiatan anjuran CM yang sangat keluarga kami nikmati adalah nature walk dan nature study. Sekilas nampak remeh, jalan-jalan di alam, tapi dalam filosofi CM, kegiatan “sederhana” ini penting sekali sebagai fondasi membangun relasi anak dengan alam – alam yang adalah ayat Kauniah-Nya. Dan kami melihat sendiri betapa anak-anak mengalami proses “mengunyah” secara saksama sajian ayat itu: mereka menikmati, mengagumi, mengamati, menelaah, menikmati, menarasikan, dan akhirnya berelasi dengan alam dan Sang Pemilik Alam itu sendiri.
Visi pendidikan kami tetap visi pendidikan Islam, tapi dalam keseharian kami, pemikiran CM sangat berguna sebagai kaca mata yang memperjelas tafsir dan praktik mendidik secara Islam, membuat sesuatu yang tadinya kelihatan abstrak menjadi do-able.
===
Foto: koleksi keluarga Ari-Putri
Sepemikiran! Semakin menyelami CM, semakin membuat relijus, apa pun agamanya..