Salah satu pilar dari pendidikan Charlotte Mason adalah prinsip education is a discipline. Disiplin dalam filosofi CM bukanlah “ledakan hukuman yang acak, melainkan kewaspadaan dan usaha terus-menerus untuk membentuk dan memelihara kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik” (Parents and Children, hlm. 173). Dengan kata lain disiplin sama dengan habit training.
Jika disiplin adalah habit training, maka peran kita orangtua atau guru adalah sebagai trainer atau coach. Kepentingan seorang pelatih adalah membuat kemampuan kadernya bertumbuh. Kita bukan atasan yang menyuruh-nyuruh bawahan, lalu menghukumnya kalau performanya di bawah standar kemauan kita. Justru kalau anak belum mampu mengerjakan kewajibannya dengan baik – bangun pagi, membereskan kamar, mencuci piringnya sendiri setelah makan, dll. – sebagai pelatih kita harus serius mencari tahu akar masalah: mengapa dia belum mampu? Kemudian kita secara kreatif terus bereksperimen merumuskan bentuk dan dosis latihan yang tepat: bagaimana membantunya supaya dia mampu?
Contoh kongkret: Ketika anak terkecil saya berusia 2,5 tahun, badannya sudah cukup tinggi untuk membuka pintu depan sendiri. Beberapa kali saya dapati, ketika tak terawasi, dia langsung buka pintu depan dan lari ke jalan. Itu tentu saja sangat berbahaya, karena motor dan mobil bisa saja sedang melaju kencang dan menabraknya. Di sini, tampak jelas, anak saya harus dilatih disiplin meminta izin sebelum membuka pintu dan keluar rumah. Bagaimana saya mengajarinya?
Cara yang paling mendasar tentu saja mengajak dia bicara dan memberitahunya, “Nak, dengar, kamu sekarang sudah besar, sudah bisa buka pintu sendiri. Mama minta setiap kali kamu mau keluar rumah, sebelum buka pintu, kamu cari Mama dulu dan minta izin. Bilang gini: ‘Ma, aku mau keluar!’. Paham?” Anak mengangguk-angguk dan bilang, “Ya, Mama.”
Apakah langkah itu sudah cukup? Tentu saja belum. Kebiasaan tidak bisa terbentuk hanya lewat dinasihati. Sinapsis dalam otak hanya terjalin jika ada tindakan kongkret yang dilakukan secara berulang-ulang. Jadi, saya sama sekali tidak heran kalau beberapa jam kemudian, terdengar suara ‘jegrek’ – si bungsu sudah membuka pintu dan lari keluar, tanpa izin. Dia sudah mendengar saya memberi aturan, tapi dalam otak dan tubuhnya belum terekam kebiasaan izin dulu sebelum keluar rumah. Apa yang harus saya kerjakan?
Saya bisa memarahinya, saya bisa menghukumnya. Saya bisa memberikan konsekuensi, katakan melarang dia main selama tiga hari. Dia akan menunduk, atau menangis. Tapi yakinlah, itu hampir pasti tidak membantunya memiliki kebiasaan izin dulu sebelum keluar rumah. Jika hukuman atau konsekuensi diberikan setelah pelanggaran terjadi, artinya yang terbentuk adalah kebiasaan: melanggar dulu lalu terima konsekuensi.
Meskipun anak tidak suka dihukum, tapi anak akan terus-menerus melanggar kewajiban, sebab itulah pola yang terus menerus ia kerjakan: melanggar, dihukum, melanggar, dihukum, melanggar, dihukum. Pola ini akan terus berulang sampai ia dilatih pola yang baru. Tapi anak tidak tahu cara mengubah pola itu kalau tidak dibantu. Ia harus didampingi belajar pola baru: melakukan kewajiban sebelum terlanjur dapat konsekuensi.
Kembali ke kasus anak terkecil saya tadi. Bagaimana membantu dia terbiasa meminta izin sebelum membuka pintu dan keluar rumah? Kuncinya: buat dia melakukan itu berulang-ulang.
Latihan pertama yang bisa kita berikan adalah melakukan simulasi sebelum pelanggaran terjadi. “Kalau mau keluar rumah harus apa, Nak?” saya bertanya. “Minta izin,” jawabnya. “Baik, sekarang kita latihan dulu ya. Ceritanya kamu mau keluar rumah, Mama ada di kamar. Coba kamu lari cari Mama dan minta izin,” saya menjelaskan. Lalu saya menunggu di kamar dan anak saya lari mencari saya. “Ma, aku mau keluar!” Saya berikan senyuman, “Ya, betul begitu, Nak. Kita coba sekali lagi ya.” Lakukan latihan seperti ini 1-2 kali, ulangi sesuai keperluan (daya tangkap tiap anak bisa berbeda-beda). Ibarat tracking, ini seperti babat alas, membentuk jejak-jejak pertama kebiasaan baik yang kita harapkan di tengah rimba raya syaraf otaknya.
Jejak-jejak yang masih baru ini tentu saja belum mapan. Bisa terhapus lagi jika tidak terus-menerus dipakai. Maka, saya juga sama sekali tidak heran, kalau beberapa saat kemudian terdengar lagi ‘jegrek’ – si bungsu sudah buka pintu dan lari ke jalan tanpa izin. Apa yang saya harus lakukan? Marah-marah tidak akan membantu menguatkan kebiasaan baik yang saya ajarkan tadi.
Cara terbaik adalah: sisihkan dulu pekerjaan, lari keluar, kejar dia, gandeng masuk ke rumah. “Nak, aturan di rumah kita, kalau mau keluar rumah harus apa?” tanya saya. “Minta izin,” jawabnya.
[Sampai di sini, tepiskan godaan ingin ceramah – moralisasi tidak membantu kebiasaan baik terbentuk dalam otak dan tubuh anak. Ingat kembali kunci membentuk kebiasaan baik: bantu anak melakukan itu berulang-ulang, lebih baik lagi jika hatinya dijaga tetap riang.]
“Nak,” lanjut saya, “tadi kamu ingin keluar, tapi belum izin Mama. Sekarang kita ulangi lagi ya. Kamu ada di pintu, ingin buka pintu. Mama masih di dapur. Kamu lari cari Mama.” Adegan pun diulang seperti tadi sebelum dia keluar rumah. Saya balik ke dapur dan menunggunya. Dia datang berlari, “Ma, aku mau keluar.” “Ke mana, Nak?” “Ke rumah X (tetangga sebelah).” “Baiklah, bisa sendiri? Tidak ke jalan?” “Bisa.” Lalu dia buka pintu depan dan ke rumah X.
Saya mengawal terus agar jangan satu kali pun anak lolos ke luar rumah tanpa mencari saya. Harus selalu minta izin dulu sebelum membuka pintu. Belum sampai seminggu, si kecil ini lari-lari mendatangi saya, “Ma, aku mau ke rumah X dulu ya.” Saya menatapnya dengan sangat gembira: tanpa harus diingatkan, dia sudah melakukannya! “Oke, Nak, hati-hati ya!” “Ya, dadah, Mama!” Dia melangkah riang, membuka pintu, lalu pergi.
Tentu saja cerita belum berakhir di situ. Seminggu memang sudah cukup untuk membuat jalan setapak kebiasaan baru bagi anak, tetapi untuk membuatnya jadi jalan tol masih butuh pengulangan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. CM bilang minimal sebulan untuk latihan satu kebiasaan, tiga bulan agar benar-benar mapan.
Setelah melatihkan satu kebiasaan baik selama satu bulan secara konsisten, dan melihat kebiasaan baru itu mulai terbentuk, kita bisa beralih melatih kebiasaan baik berikutnya sembari terus mengawal kebiasaan yang kita latih sebelumnya.
Saat ini saya sedang melatih si kecil kebiasaan baru berikutnya: untuk selalu menyahut “Ya, Ma!” dan langsung datang setiap kali dipanggil. Lagi-lagi kami melakukan role play dari hari ke hari, kapan pun ada waktu luang yang tepat dan suasana hatinya sedang enak. Saya di sini, dia di sana. “Nak!” saya memanggil. “Ya, Ma!” dia berlari datang. Kebiasaan ini sangat bermanfaat kalau kami berada di tengah keramaian dan dia tiba-tiba secara impulsif berlari menjauh karena ingin melihat-lihat. “Nak!” “Ya, Ma!” Dia datang, lalu saya menggandengnya, dan tetap menggandengnya sampai kami tiba di tempat yang aman buat dia berlari-lari tanpa hilang dari pandangan.
Habbit training ini dpt diterapkan utk anak usia smpe brp tahun?