Saya ingin mendapat nasihat pengasuhan. Anak saya yang pertama N (4 tahun) sensitif. Dinasihati, menangis. Tidak dipinjami mainan oleh temannya, menangis. Menangis menjadi senjata utamanya. Sikap ini diikuti oleh adiknya, M (2 tahun). Saya sendiri tetap menunjukkan tidak terpengaruh oleh sikap mereka. Saya menyadari sepenuh hati bahwa sikap mereka saat ini terbentuk oleh kesalahan pengasuhan saya sebelumnya, yang akrab dengan bentakan dan cubitan. Saya bingung harus dari mana menerapkan the way of the will dan habit of obedience-nya? (Dari T di Tangerang)
Jawab:
Mbak T, satu hal yang jadi prinsip umum dalam menghadapi perilaku sulit anak adalah: kita hanya bisa memadamkan energi negatif dengan energi positif. Jangan ikut tantrum ketika anak tantrum, itu tidak akan memperbaiki situasi. Bentuk tantrum kita bisa macam-macam, mulai dari membentaknya supaya lekas diam sampai meninggalkannya karena tidak tahan mendengar dia menangis.
Ada satu langkah paling realistis saat anak mulai menangis dan kita bingung harus melakukan apa. Carilah tempat duduk dan duduklah. Jika tak ada tempat duduk, berdiri juga tak apa. Ingatkan diri sendiri: selama kita dalam kondisi emosional atau panik, jangan terburu-buru ingin melakukan sesuatu, nanti malah keliru. Dunia bisa menunggu, maka tenangkan diri saja dulu.
Mari cek ke dalam diri sendiri, pikiran dan perasaan dan impuls apa saja yang bermunculan di sana. Respons kita sangat disetir oleh semua seliweran pikiran dan perasaan itu, kecuali kita bisa mengambil jarak dari mereka.
Amati semua pikiran yang datang untuk menghancurkan ketenangan. Mungkin muncul makian pada anak – “Dasar cengeng! Begitu saja menangis!” Mungkin muncul makian pada diri sendiri – “Aku ibu yang tidak becus! Ini semua gara-gara aku dulu suka bentak dan nyubit!” Mungkin muncul kekuatiran – “Bagaimana kalau sampai besar dia nangisan terus? Orang-orang nanti bakal menganggap aku nggak bisa ngurus anak!” Mungkin muncul tuntutan – “Mengapa sih anak ini tak bisa kalem sedikit? Harusnya ngomong baik-baik kan bisa, nggak usah nangis!”
Amati semua sensasi di tubuh kita. Mungkin jantung kita berdebar lebih kencang. Mungkin telapak tangan kita jadi berkeringat. Mungkin mata kita jadi melotot. Mungkin nafas kita jadi memburu, terengah-engah. Atau mungkin malah badan kita serasa lemas? Cermati semuanya.
Amati pula berbagai perasaan yang berkecamuk. Coba namai apa saja emosi yang muncul di situ: putus asa, bingung, sedih, malu, merasa bersalah, marah, benci, atau lainnya?
Dan amati semua impuls yang muncul. “Aku bentak saja biar cepat diam!” “Gemes aku, pengen kucubit!” “Aku tinggal saja sampai dia berhenti menangis!” “Aku rasanya mau kabur ke kamar saja, mau ikut nangis keras-keras!” “Aku panggilkan bapaknya saja, nggak sanggup aku menangani anak ini!” Dan lain sebagainya.
Amati semuanya seolah-olah kita adalah helikopter yang melayang-layang di atas semua huru-hara pikiran, perasaan, sensasi, dan impuls itu. Pada saat itulah kita melihat bahwa sebetulnya sekacau apa pun isi hati kita, kita selalu punya kebebasan untuk memilih: apakah kita akan menyikapi situasi ini secara impulsif atau secara kalem-rasional-bijak?
Alih-alih hanyut dalam pusaran negatif, kita bisa memilih untuk tetap berpikir dan bertindak positif. Kita bisa memilih berkata dalam hati: “Wajar saja anakku menangis, dia belum bisa mengenali dan mengendalikan emosinya, namanya juga masih anak-anak!”. Kita bisa memilih bicara lembut pada anak, “Kakak sedih karena tadi teman tidak meminjami mainan? Perlu Bunda peluk?”. Kita bisa memilih memberi sugesti positif pada diri sendiri, “Sesulit apa pun perilaku anakku, aku akan tetap menyayanginya, aku akan terus membantunya bertumbuh lebih baik dari hari ke hari!”
Ketika kita bisa tenang, banyak solusi membangun yang bisa kita temukan. Kita bisa tetap kalem tetapi tegas memberi petunjuk moral (habit of obedience). Kita bisa membantu anak melewati setiap situasi sulit sebagai kesempatan baginya mendewasakan diri, secara tekun mendampinginya agar ia terbiasa memenangkan Kehendak atas impuls (way of the will).
no replies