Saya punya keponakan bernama N (6 tahun). Dia selalu bersikap egois dengan siapa saja, bahkan dengan saudaranya yang masih balita, ketika tidak ingin meminjamkan benda apa pun yang dibawanya. Dia bisa berteriak sambil menangis, bahkan memukul orangtuanya jika dinasihati. Mohon solusi dan sharing-nya untuk persoalan ini. Catatan: orangtua N bekerja. (Dari K di Badung, Bali)
Jawab:
Halo, Mbak K. Sebelum menentukan mau melakukan apa secara teknis, kita harus selalu menemukan dulu prinsip yang melandasinya. Demikian pula untuk menyikapi keegoisan N secara tepat, mari kita telaah dulu gambaran besarnya.
Anak berusia 6 tahun tidak mau meminjamkan barangnya – ini wajar atau tidak? Apa kita berharap anak itu selalu dengan senang hati mau meminjamkan barangnya kepada anak lain? Setiap saat kita bilang padanya: “Ayo, pinjamkan!” dia akan dengan senyum manis berkata, “Ya, Mama!” dan langsung mengulurkan mainannya kepada kawannya – apakah ekspektasi ini realistis?
Ekspektasi yang realistis bersesuaian dengan realitas. Realitas berarti kenyataan apa adanya. Kucing mengeong, itu realitas. Boleh saja kita merasa kesal padanya karena kita berharap ia menyanyi, bukan mengeong. Kita bisa menasihatinya, menghukumnya, bahkan memukulinya. Kucing itu menatap kita dan akan tetap menjawab: meooongg!
Cara terbaik menghadapi realitas pertama-tama adalah berdamai dengan realitas. N belum mampu berbagi mainan dengan kawannya, itu realitas. Mengapa seperti itu? Karena N masih anak-anak! Berharap N berpikir sama dewasa dengan ayah-ibu atau tantenya jelas tidak realistis. Dan menyangkal realitas hanya akan menyakiti diri sendiri, juga si anak.
Charlotte Mason menulis bahwa anak-anak terlahir bukan langsung mahir mengendalikan diri. Ia impulsif dan berkehendak lemah (will-less). Anak belum mampu menyuruh dirinya sendiri melakukan yang benar dan yang baik kalau ia sedang tidak suka mengerjakannya. Anak belum mampu menyuruh dirinya sendiri berhenti melakukan sesuatu yang buruk kalau ia sedang suka mengerjakannya.
Anak-anak butuh waktu dan habit training agar bisa bertumbuh dari berkehendak lemah menjadi berkehendak kuat. Ukuran keberhasilan pendidikan karakter adalah kalau anak sudah mampu menyuruh dirinya sendiri melakukan kewajiban sekalipun ia tidak suka atau tidak mood mengerjakannya. Kekuatan kehendaknya teruji kalau ia bisa berkata “tidak!” pada hal-hal yang ia senangi demi kebaikan yang melampaui egonya.
Mudahkah proses menguatkan kehendak itu? Mari cek diri sendiri: mudahkah bagi kita melakukan yang kita tahu baik atau wajib kita lakukan, ketika kita sedang malas atau marah? Mudahkah bagi kita mengorbankan kesenangan kita demi melayani orang lain? Bukankah kita pun jatuh bangun, meski usia kita sudah banyak? Lalu mengapa kita berharap anak bisa secara konsisten bersikap arif bijaksana, padahal secara neurologis, prefrontal cortex anak jauh lebih belum berkembang dibanding kita orang dewasa? Sungguh tidak realistis, bukan?
***
Hal berikutnya yang juga harus direfleksikan adalah prinsip yang orangtua yakini tentang properti dan berbagi. Jika kita memiliki barang dan ada orang lain yang meminjam, apakah kita harus selalu meminjamkannya? Begitu pula soal mainan anak. Jika mainan itu adalah properti anak, dan ia tidak hendak meminjamkannya, bolehkah ia tidak meminjamkannya? Kapan boleh dan kapan tidak? Apa dasar pertimbangan kita?
Di keluarga saya sendiri, kami telah menetapkan aturan bahwa siapa pun hanya boleh meminjam barang jika si empunya mengizinkannya. Jika si empunya sedang tak mau meminjamkan, maka si peminjam tidak boleh memaksa. Peminjam hanya boleh menunggu sampai si empunya sudah mau meminjamkan. Ini berlaku baik bagi barang milik orang dewasa maupun milik anak-anak.
Jadi, kalau ada anak tetangga yang ingin meminjam mainan anak saya, saya akan bilang pada anak tetangga itu: “Coba bilang ke G ya, dia mau pinjamkan atau tidak.” Kalau anak tetangga itu merebut mainan dari tangan anak saya dan anak saya kesal, saya akan respons: “Kamu yakin tidak mau meminjamkannya?” Kadang anak saya berubah pikiran, lalu meminjamkan. Kadang anak saya bersikeras tidak mau meminjamkan.
Jika anak saya belum mau meminjamkan, saya akan beri dia petunjuk: “Bilanglah pada kawanmu bahwa kamu sedang tidak mau meminjamkan mainanmu dan mintalah itu kembali darinya.” Kalau anak tetangga itu ngotot tidak mau mengembalikan meski anak saya sudah bicara baik-baik, saya yang akan turun tangan. Saya sampaikan pada si anak tetangga: “Tante paham kamu ingin sekali mainan ini, tapi sekarang G sedang tidak mau meminjamkan, jadi kembalikan dulu ya!” Dan saya pastikan mainan itu dikembalikan pada anak saya.
Prinsip “minta izin pada yang punya” ini berlaku juga sebaliknya. Ada kalanya anak saya yang memaksa meminjam mainan kawannya, dan kawannya tidak suka. Maka saya tanya pada anak saya: “Ini mainan si X, bukan? Kamu ingin pinjam?” Anak saya mengangguk. Lalu saya ajari dia: “Coba tanya sekali lagi padanya, apakah kamu boleh pinjam!” Anak saya akan mendekati kawannya dan sekali lagi minta dipinjami.
Kalau ternyata si kawan tetap tidak mau meminjami, maka saya akan sampaikan pada anak saya: “Berarti kamu kembalikan dulu mainan ini padanya, tunggu sampai dia mau meminjami.” Dan saya pastikan mainan itu dikembalikan. Anak saya mungkin menangis atau malah tantrum. Tidak masalah. Saya validasi emosinya, tapi tetap saya suruh dia menunggu. Sebelum kawannya itu mengizinkan, anak saya tidak boleh memaksa.
Pada banyak kasus, saya perhatikan orangtua tidak punya prinsip yang jelas di balik perintah atau larangan mereka. Mengapa anak harus selalu meminjamkan barangnya setiap kali ada yang meminjam? Ada kalanya sekadar supaya citra diri kita tidak jatuh di mata orang lain. Kita tidak mau anak kita dinilai sebagai egois (padahal kenyataannya, anak mana yang tidak egois?). Kita tidak mau dianggap tidak becus mendidik anak. Kita ingin dipandang sebagai orang yang baik hati. Kita ingin menyenangkan semua orang. Dan lain sebagainya motivasi emosional, tanpa landasan rasional.
Demi yang emosional itu bisa jadi kita malah mengorbankan yang prinsip. Berani bersikap asertif, berani melarang orang lain melanggar hak kita, bukankah itu modal sikap yang penting untuk bertahan hidup? Tinggal kita mengajari anak cara yang santun untuk mengekspresikan penolakannya itu. Tapi tidak sehat kalau anak tidak pernah bisa menolak intrusi orang lain atas propertinya, bukan?
***
Selanjutnya ada problem N berteriak-teriak, membentak-bentak, dan memukul orangtua. Ini juga karena sebagai anak-anak, ia masih impulsif. Ia tidak berniat jahat, tapi juga bukan berarti sikapnya bisa dibenarkan. Anak sampai memukul orangtua menunjukkan ia belum terlatih soal habit of obedience.
Charlotte Mason dengan tegas menyampaikan: habit of obedience tidak bisa ditawar kalau kita ingin anak tumbuh memiliki watak luhur. “Keseluruhan kewajiban dalam hidup manusia jika diringkas adalah soal ketaatan (obedience) – ketaatan kepada hati nurani, kepada hukum, dan kepada petunjuk Tuhan,” katanya.
Anak harus dilatih respek pada otoritas orangtua bukan karena orangtua gila hormat, tetapi karena menghormati orangtua adalah latihan untuk menghormati aturan Tuhan dan masyarakat yang mengamanahkan anak kepada orangtua. Anak boleh kesal, jengkel, marah, tapi ia harus belajar menahan diri untuk tidak membentak apalagi memukul orangtua.
It takes two to tango. Kalau ada anak yang berulang-ulang memukul orangtua, itu pertanda orangtua memang membiarkan anak mengulanginya. Percayalah, anak sebetulnya tak akan memukul kita lagi dan lagi, kalau pada kali pertama ia coba memukul kita, kita pegang tangannya, pandang matanya, dan sampaikan dengan kalem tapi tegas: “Mama tidak suka dipukul. Kamu boleh kesal pada Mama, tapi tidak boleh memukul. Bicara baik-baik.” Lalu ajarilah dia cara menyampaikan isi hatinya secara baik itu seperti apa.
Orangtua pun harus bisa bersikap asertif pada anak. Tubuh kita adalah tubuh kita. Kita berhak untuk menolak disakiti, sekalipun oleh anak sendiri. Hanya apabila anak melihat orangtua ragu-ragu akan otoritasnya sendiri, ia akan melawan otoritas kita. Hanya apabila anak melihat orangtua tidak punya harga diri, ia akan menginjak-injak harga diri kita. Anak juga manusia.
no replies