“Bun, kemarin si X panggil aku bencong,” cerita Kiran (8 tahun) kepada saya di dalam kereta menuju Jakarta. Sontak saya kaget mendengarnya. Kami baru saja pulang dari acara empat hari tiga malam di Malang. Selama pertemuan itu, orangtua mengikuti sesi-sesi reflektif, sementara anak-anak seringnya bermain bebas dengan dipantau oleh para kakak pendamping. Memang ada kabar bahwa di antara anak lelaki kadang ada konflik, tetapi saya tak menduga Kiran juga mengalaminya.
“Menurutmu, kenapa X bilang begitu kepadamu, Ki?” korek saya.
“Kayaknya karena aku main sama anak-anak perempuan deh, Bun,” jawab Kiran. Raut wajahnya tidak terlihat marah atau kesal, nada bicaranya saja terdengar sedikit lirih.
“Kiran tahu bencong itu apa?” tanya saya lagi.
“Aku nggak tahu, Bun, kayaknya sih jelek artinya.”
Saya menunggu, kalau-kalau Kiran kemudian akan bertanya arti kata ‘bencong’, tapi ternyata dia diam saja. Saya duga dia tidak terlalu mau tahu arti kata itu, maka saya langsung memeluknya.
***
Sebagai ibu, tentu muncul juga rasa kesal anak saya dirundung oleh temannya. Rasanya ingin mengompori dia, “Jangan diam saja kalau diomongi seperti itu, Kiran! Lawan, kalau perlu pukul biar temanmu kapok!” Namun, kebiasaan berefleksi yang dilatihkan dalam metode Charlotte Mason selama ini mencegah saya. Bukan, bukan karakter balas dendam seperti itu yang saya ingin tumbuh dalam diri Kiran.
Kalau mengikuti impuls, sebagai ibu rasanya saya juga langsung ingin mengambil alih kendali. Saya ingin mendikte Kiran, harusnya begini-begitu menghadapi temannya tadi. Syukurlah saya langsung sadar bahwa cara seperti itu malah tidak akan membuat pikiran Kiran berkembang. Saya kini merasakan manfaat sekian lama diskusi rutin bersama teman-teman praktisi CM di Jakarta. Saya bisa langsung menyadari dan menahan diri untuk tidak komentar emosional.
Saya teringat salah satu bagian dari tulisan Charlotte Mason di bab 5 volume 6 yang pernah kami diskusikan:
“Apa salahnya memberi saran-saran meyakinkan supaya anak terdorong menjadi teguh, tulus, pemberani, dan lain-lain sifat bajik? Karena jika demikian, anak tidak mengembangkan kekuatan karakternya untuk menghadapi masalah secara mandiri. Sebaliknya, ia selalu menunggu ada orang lain yang mengarahkannya. Kerugian terbesar dari menerima pengarahan adalah lain kali ia akan minta diarahkan lagi. Kalau paham bahayanya, kita tidak akan memakai metode motivasi seperti itu, meskipun dalam jangka pendek hasilnya tampak sangat memuaskan.”
Kemudian saya teringat pula kutipan yang beberapa hari sebelumnya tayang di grup Komunitas Charlotte Mason Indonesia.
“Anak-anak itu cerdas, tapi moralitasnya belum matang. Di dunia ini, tak seorangpun bisa berlaku sesukanya sendiri. semua perbuatan ada ganjarannya. Beruntunglah anak yang ayah dan ibunya melatih dia melakukan yang benar dan baik tanpa tergantung suasana hati. Ia sudah belajar dari rumah tentang kebiasaan taat, tak perlu menunggu sampai hukum masyarakat dan hukum alam menghajar dia babak belur sampai takluk.”
Kutipan ini mengingatkan saya bahwa justru saat menghadapi masalah dengan temannya seperti inilah Kiran butuh bimbingan dari saya sebagai orangtuanya. Ini kesempatan saya untuk membantu mematangkan moralitas dan rasionalitasnya. Di momen seperti inilah saya harus membantu dia untuk memahami yang dia rasakan dan mencari solusi yang baik.
***
Saya memutuskan untuk tidak mendikte Kiran dalam mencari solusi. Pemikiran dan karakternya justru tidak akan berkembang kalau tersedia jawaban instan dari saya. Alih-alih, saya akan gunakan kesempatan ini untuk melatih kemampuan Kiran berpikir dan mencari solusi lewat mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Pertama-tama, saya coba memvalidasi emosinya.
“Kemarin perasaan Kiran bagaimana mendengar X berkata seperti itu?” tanya saya.
“Aku kaget dan sedih saja bun, kok X tiba-tiba bilang begitu ke aku.”
“Jadi Kiran kaget dan sedih ya dibilang begitu sama X?”
“Iya,” jawabnya singkat.
***
Percakapan kami terus berlanjut sepanjang perjalanan ke Stasiun Surabaya. Saya berusaha mengajak Kiran menganalisis masalahnya.
“Menurut Kiran, kenapa X bilang kamu bencong kalau main dengan anak perempuan?”
“Kayaknya dia nggak suka aku main sama anak perempuan.”
“Lalu ketika X mengatakan itu kepadamu, apa yang kamu lakukan, Ki?”
“Aku bilang ke X, jangan bilang begitu dong!”
“Setelah Kiran bilang begitu, apa yang X lakukan?”
“Dia diam saja ngeliatin aku.”
“Apa X atau teman lain pernah mengataimu seperti ini sebelumnya?”
“Nggak pernah, cuma X yang bilang begini ke aku, soalnya X itu iseng, Bun.”
“Menurut Kiran, kenapa X iseng begitu?”
“Aku nggak tahu, dia suka menggoda semua anak,” jawabnya.
***
Saya melihat Kiran sudah move on dari emosinya dan mulai siap mencari solusi. Maka pertanyaan-pertanyaan berikutnya pun saya lontarkan padanya.
“Kalau nanti X atau ada teman lain yang bilang begitu lagi ke Kiran, apa yang akan Kiran lakukan?”
“Aku akan bilang, ‘Jangan bilang begitu dong, jangan bicara seperti itu ke temanmu!’”
“Menurutmu, yang X omong itu salah ya, Ki? Kamu merasa X itu temanmu?”
“Iya, X itu temanku, Bun! Bunda lupa?” Kiran heran.
“Kalau temanmu berbuat salah, sebagai teman Kiran sudah melakukan sesuatu?”
“Sudah, Bun. Aku sudah bilang ke X, jangan bilang begitu ke aku dong,” ujarnya.
“Kalau nanti misalnya X sudah Kiran ingatkan tetapi masih melakukan itu lagi, bagaimana Ki?”
“Ya aku nggak harus main sama dia, Bun, aku bisa main dengan yang lain,” simpul Kiran mengakhiri diskusi kami.
***
Kata pepatah, pengalaman adalah guru terbaik. Kadang pengalaman buruk justru bisa jadi pelajaran penting. Kebijaksanaan lahir dari masalah di kehidupan nyata. Dengan bertemu banyak orang yang memiliki karakter yang berbeda, Kiran jadi belajar bagaimana bersikap dan menyelesaikan masalahnya. Ia bisa menyimpulkan sendiri solusi yang tepat baginya. Saya tinggal mendukung dan menemaninya.
Terus terang saya sangat menikmati proses diskusi yang kami jalani ini. Saya kagum karena ternyata, benar seperti kata Charlotte Mason, anak adalah pribadi utuh yang memiliki pemikirannya sendiri. Selama pembicaraan kami, saya merasa karakter dan cara pikir Kiran bertumbuh. Dan bukan cuma Kiran, ada bagian dari diri saya yang juga bertumbuh lewat pengalaman ini.
no replies