Tanya:
Mbak Ellen, di saat anak susah diberitahu atau diatur, sementara emosi kita sudah memuncak mau marah, apa yang harus dilakukan?
Dari K, di Jakarta
===
Jawab:
Hai, Mbak K!
Saya bisa membayangkan, dalam situasi seperti itu tentu rasanya pikiran berkecamuk. Sulit sekali berpikir jernih kalau amarah sedang mendidih, sebab tubuh kita dibanjiri hormon adrenaline, dan otak rasional sedang dibajak otak primitif.
Saat emosi memuncak dan rasionalitas sedang macet, alangkah bijaksananya kalau kita menunda dulu kata-kata yang rasanya mau kita lontarkan atau tindakan yang rasanya mau kita lakukan. Kita sedang impulsif. Mengikuti impuls negatif biasanya hanya bakal membuat kita menyesal nanti. Soalnya nyaris mustahil yang keluar adalah kata-kata bijaksana atau tindakan welas asih.
Sebaiknya segera lakukan “pertolongan pertama” pada diri sendiri. Tekniknya dulu sudah pernah saya bahas di artikel Resep Jadi Orang Sabar, seperti menarik napas panjang, pergi dulu meninggalkan ruangan, berhitung sampai 10, dsj. Intinya, memberi jeda agar hormon adrenaline itu mereda dan prefrontal cortex bisa kembali berfungsi.
Jika dan hanya jika rasionalitas kita sudah berhasil memegang kendali, baru kita kembali hadapi anak yang susah diatur tadi. Tapi kalau ternyata amarah kita belum reda-reda, tidak usah terburu-buru balik mendatangi anak. Fokus dulu saja pada menenangkan diri.
Anak adalah problem eksternal, gejolak emosi kita problem internal. Seringkali kondisi eksternal hanya cerminan situasi internal.
Kita bilang “anak ini susah diatur!”. Tapi coba pikirkan ulang dan balikkan pertanyaan itu pada diri sendiri. Bukankah “aku ini susah diatur” juga? Buktinya, gejolak emosi kita susah diatur, mulut kita susah diatur (supaya tidak merepet), nada suara kita susah diatur (supaya tidak bentak-bentak).
Nah, kalau mengatur diri sendiri saja kita kesusahan, mana mungkin kita sukses mengatur anak? Selama internal kita masih kacau, problem eksternal tidak selesai-selesai. Maka atasi dulu yang internal, baru kita bisa selesaikan yang eksternal.
***
Katakanlah emosi sudah surut, kita sudah tenang. Lalu apa yang harus dilakukan?
Aktifkan otak rasional. Analisis secara dingin duduk perkaranya. Urutkan kembali kronologi peristiwanya tadi bagaimana. Coba identifikasi, sebenarnya tadi kita itu maunya anak melakukan apa? Lalu refleksikan, yang kita perintahkan itu apakah sesuatu yang prinsip untuk anak kerjakan? Apakah wajib? Tidak boleh dinegosiasi?
Charlotte Mason menekankan bahwa orangtua harus irit memberi perintah. Instruksi jangan diobral. Hanya berikan perintah untuk perkara yang prinsip-prinsip saja, yakni perkara yang secara moral betul-betul benar atau baik untuk dilakukan. Tentukan apa yang prinsip atau tidak prinsip berlandaskan hati nurani, hukum alam, hukum sosial, atau perintah Tuhan.
Kalau perintah itu prinsipiil, berarti tidak ada negosiasi. Itu kewajiban. Tegakkanlah sebagai aturan. Pastikan anak mengerjakannya tanpa tergantung dia menganggap itu enak atau tidak, dia suka atau tidak, dia sedang mood atau tidak.
Sebaliknya untuk hal-hal yang tidak prinsipiil, berarti anak boleh menawar. Sajikan itu sebagai pilihan. Jalankanlah berdasar kesepakatan. Anak mau mengerjakan oke, tidak mau mengerjakan juga tak masalah.
Jadi, misalnya, tadi kita menyuruh anak berhenti main games di HP dan mengerjakan PR dari sekolah. Timbang dulu dengan objektif, yang kita suruhkan itu buat anak sebenarnya kewajiban atau pilihan? Kalau memang kewajiban, berarti setelah amarah reda, kita harus bersiap-siap untuk kembali ke anak untuk menegakkan perintah itu sebagai aturan. Tanpa negosiasi.
Tapi kalau setelah kita pikir-pikir ternyata itu tidak prinsipiil, bukan kewajiban, boleh dinegosiasi, maka turunkanlah ekspektasi. Bersiap-siaplah kembali ke anak untuk mendiskusikan hal itu sebagai pilihan: dia mau mengerjakannya atau tidak? Kalaupun anak menjawab “tidak mau”, jangan baper. Namanya juga tawaran.
***
Katakanlah, kita sudah tahu rumusan aturan yang mau kita tegakkan. Kita juga sudah menimbang dan mantap bahwa aturan itu prinsipiil, wajib anak kerjakan, tidak bisa dinegosiasi. Lalu apa yang harus dilakukan?
Pertama, imanilah bahwa anak sebetulnya terlahir siap untuk taat. Secara intuitif dia tahu bahwa orangtuanya punya otoritas atasnya. Kalau mengimani itu, kata Charlotte Mason, orangtua “tidak perlu membentak anak, tidak perlu menggunakan kekerasan dalam bentuk apa pun”. Katakan dalam hati, “Aku percaya anakku bisa taat tanpa perlu dibentak atau dikerasi.”
Kedua, antisipasilah respons emosional anak. Meskipun pada dasarnya siap untuk taat, kekuatan kehendak anak belum matang, pengendalian dirinya masih lemah. Bukan hal aneh jika anak hanya mau mengerjakan yang dia suka dan enggan melakukan yang menurutnya tidak enak. Mari antisipasi itu dengan realistis. Bayangkan skenario terburuk yang bakal terjadi ketika kita nanti memberi perintah: anak tantrum, merengek, mendebat? Berkatalah dalam hati, “Itu wajar, namanya juga masih anak-anak.” Don’t take it personal.
Ketiga, bersiaplah untuk menyikapi respons anak dengan tegas tapi kalem. Berpusatlah pada prinsip, alih-alih disetir oleh situasi atau emosi. Jadi, meskipun nanti anak tantrum, merengek, atau mendebat, bersiaplah untuk teguh menegakkan aturan. Terima perasaannya dengan teknik validasi emosi, tapi jangan terima negosiasi. Jangan melonggarkan prinsip sedikit pun. Bukan karena kita “raja/ratu tega”, tapi karena inilah amanat kita. Sebagai perpanjangan tangan dari Tuhan, Hukum, dan Masyarakat, orangtua bertugas mengajari anak taat pada Otoritas dan Kebenaran yang lebih tinggi daripada egonya (dan ego kita sendiri).
***
Bagaimana kalau kita sudah melakukan langkah-langkah itu tapi, ketika berhadapan dengan anak yang membangkang, emosi kita mendidih lagi?
Berarti ini urusannya sudah dengan “program” kebiasaan lama dalam diri kita. Charlotte Mason bilang manusia adalah makhluk yang hidupnya dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan, a creature of habits. Sesuatu yang kita ulang-ulang akan jadi refleks otomatis, termasuk marah. Sejak kapan anda mulai mengembangkan kebiasaan marah-marah itu? Semakin lama riwayatnya, berarti semakin kuat mengakar kebiasaan itu dalam diri anda, makin otomatis refleksnya.
Kabar baiknya adalah otak manusia itu plastis, selalu bisa dibentuk ulang. Kalau di masa lalu kita sudah terlanjur biasa marah-marah, berarti saat ini kita harus menghapus kebiasaan lama itu lalu melatih kebiasaan baru penggantinya. Habit re-training.
Ini berarti pertanyaan Mbak K di atas perlu dimodifikasi. Alih-alih mencari tahu soal “yang harus kita lakukan saat emosi sudah memuncak”, akan lebih penting belajar soal “yang harus kita lakukan sebelum kita terlanjur meledak”.
Kita harus belajar dari para tentara. Jauh-jauh hari sebelum terjadi perang sungguhan, mereka sudah serius mempersiapkan diri. Setiap pagi lari berkilo-kilometer dengan ransel besar di punggung dan senapan berat di tangan sampai keringat bercucuran. Latihan menembak supaya tepat sasaran. Latihan perang-perangan di tengah hutan. Dsb.
Buat apa? Tentu saja agar siap kalau mendadak harus bertempur. Ketika peluru sudah berdesing di atas kepala, tentara tak punya banyak waktu untuk berefleksi. Dia harus mengandalkan refleks yang terbentuk dari latihannya saat masih di barak. Nasibnya saat di medan tempur sangat ditentukan oleh program latihannya sebelum dia sampai ke medan tempur itu.
Begitu pula saat berhadapan dengan anak yang susah diatur. Itu ibarat kita sudah ada di garda depan medan tempur. Tidak banyak waktu lagi untuk refleksi. Pilihan ucapan dan tindakan diputuskan otak dalam hitungan sepersekian detik. Nasib anak saat emosi kita memuncak sangat ditentukan oleh program latihan kita sebelum situasi itu terjadi.
Pepatah militer bilang, “Lebih baik mandi keringat dalam latihan, daripada mandi darah dalam pertempuran”. Pepatah parenting pun sama: “Lebih baik mandi kesulitan dalam latihan, daripada mandi penyesalan setelah kejadian.”
***
Banyak ayah-ibu yang bilang, “aku ingin jadi orang sabar!” tapi berapa banyak yang sudah betul-betul punya program latihan untuk bisa jadi lebih sabar? Bicara “aku ingin bisa tetap kalem ketika anak susah diatur” itu mudah. Semudah orang yang bilang, “aku ingin jadi orang kaya”. Pertanyaannya: ini keinginan serius atau main-main?
Kalau ingin jadi kaya, tidak cukup bicara saja tapi setiap hari tetap berleha-leha seperti biasa. Waktu, energi, atensi harus dicurahkan untuk menyusun rencana lalu gigih langkah demi langkah menekuninya.
Ingin sabar dan terampil mengendalikan diri saat menghadapi perilaku sulit anak pun demikian. Menjadi orangtua yang tegas tapi kalem itu bukan prestasi main-main, apalagi bagi orang yang seumur hidup sudah terbiasa jadi pemarah. Kita harus mau belajar dalam jangka waktu yang cukup secara tekun dan terarah.
Bukti kita betul-betul menginginkan sesuatu adalah lewat rela jatuh bangun memperjuangkannya. Bukti cinta kepada anak adalah kalau kita pantang menyerah belajar memperbaiki diri. Bercita-cita menjadi orangtua bijaksana? Itu selamanya tetap akan tinggal jadi angan-angan indah belaka kalau tidak dibumikan ke dalam aksi kongkrit yang gigih setiap hari.
Kak Kristi, mo bertanya apakah komik edukasi (science/wow series, dll) termasuk living books ? Trmksh
Sebagian besar sepertinya tidak, mbak.