Anak-anak itu seperti kita orang dewasa, punya bawaan dan kecenderungan ke hal baik ataupun buruk, tapi sekaligus punya intuisi untuk membedakan benar dari salah – bukan karena mereka ingin menjadi seperti itu, tapi karena mereka memang terlahir begitu. Di sini muncul isyarat tentang tugas dari pendidikan. Dalam tubuh dan benak, hati dan jiwa, ada kencederungan menjadi baik maupun jahat. Sebagai pendidik kita diharapkan bisa menguatkan yang baik dan melemahkan yang jahat itu. (A Philosophy of Education, hlm. 46)
Suatu Sabtu di akhir April lalu, Kiran berulang tahun yang kedelapan. Seminggu sebelum hari H, saya menanyai Kiran, hal apa yang ia sangat inginkan untuk ulang tahunnya. Waktu itu dia menjawab: Lego Technic – mainan dengan motor penggerak yang harganya lumayan mahal.
Di sisi lain, keluarga kecil kami punya tradisi setiap kali ada yang ulang tahun: membagikan sedekah kepada yang membutuhkan. Nah, tahun ini, keuangan kami sedang mepet. Jadi, saya beritahu Kiran soal keterbatasan dana ini – bahwa uang ayah dan bunda hanya cukup untuk salah satu saja, entah bersedekah atau membeli Lego Technic yang ia sangat idam-idamkan. Lalu saya berikan waktu untuknya berpikir dan mengambil keputusan. Apa pun yang dia putuskan, saya dan ayahnya akan mendukung.
Malam sebelum hari ulang tahun, saya mengobrol dengan suami tentang kemungkinan pilihan Kiran. Saya bilang, saya yakin Kiran akan memilih untuk membeli Lego Technic ketimbang bersedekah, karena sudah beberapa minggu ini Kiran seperti enggan berbagi. Uang jajannya yang biasa ia sisihkan untuk berdonasi seribu rupiah per hari, ia ingin gunakan untuk kepentingan sendiri. Berdasarkan pengamatan itu, saya merasa tak mungkin Kiran memilih bersedekah. Pasti dia akan memilih untuk membeli Lego Technic.
Betapa terkejutnya saya ketika esoknya saya tanya, Kiran menjawab, “Aku mau sedekahkan saja, Bun. Aku nggak perlu Lego Technic. Aku masih bisa main Lego yang lama.” Perasaan saya pada saat itu bercampur aduk, antara terharu, malu, dan menyesal. Terharu karena Kiran ternyata lebih memilih untuk bersedekah ketimbang membeli mainan untuk dirinya sendiri; malu karena saya sudah berpikiran negatif terhadap anak saya sendiri; dan menyesal telah membagikan pikiran buruk saya kepada ayahnya.
***
Seberapa sering kita berprasangka negatif dan menghakimi anak kita sendiri sebagai tak becus? “Dia masih kecil, belum bisa makan sendiri.” “Anak kecil nggak usah ikut campur urusan orang dewasa!” “Duduk saja sana, nanti Mama yang bawakan tasmu.” Mulut orang dewasa sering melontarkan ucapan meremehkan tatkala melihat seorang anak hendak melakukan sesuatu yang menurut kita sulit. Kita tak percaya anak kecil bisa memikirkan dan melakukan hal besar.
Charlotte Mason menuliskan sebagai prinsip filosofis pertama metode pendidikannya: sejak lahir, anak sudah menjadi pribadi yang utuh. “Anak terlahir sebagai pribadi utuh, mereka bukan lembaran kosong atau embrio tiram yang berpotensi kelak menjadi pribadi utuh – [saat ini] mereka sudah pribadi utuh.”
Sebagai pribadi utuh, anak punya jalan pikiran sendiri. Mulai dari hal yang sederhana seperti memilih baju, anak bisa punya selera dan keputusan sendiri, mana baju yang ingin dia pakai. Kita sering menyangkal kepribadian utuh anak dan memaksakan pilihan kita, alih-alih memberi ruang bagi anak untuk membuat pilihan dan menghormati keputusannya. Itu karena kita tidak menyadari dan memandang anak sebagai pribadi utuh.
Peristiwa ulang tahun Kiran ini membuat saya jadi berkontemplasi. Saya sudah tergesa-gesa menilai rendah anak saya sendiri. Saya tidak percaya dia mampu memilih mana yang baik untuknya dan orang lain. Saya lupa kutipan Charlotte Mason di atas: Sekalipun dalam hati dan tubuh anak sama-sama ada kecenderungan baik dan jahat, dengan pendidikan yang tepat, anak bisa terlatih membuat pilihan-pilihan yang baik.
Mengapa Kiran memutuskan untuk bersedekah, alih-alih membeli Lego Technic idamannya? Saya yakin proses pendidikan yang kami jalani berpengaruh: perjamuan ide yang setiap hari diberikan lewat buku-buku berkaliber living books, lingkungan pergaulan yang baik, dan diskusi-diskusi ringan di rumah adalah beberapa faktor yang memupuk kebaikan dalam hati Kiran.
“Adakah dari kita yang bisa mencintai seperti cinta seorang anak? Ayahnya dan bundanya, kakaknya dan adiknya, tetangganya dan temannya, kucingnya dan anjingnya, bahkan mainan lama yang sudah usang dan ‘bodol’ di mana-mana, semua kebagian kasih sayangnya secara melimpah. Betapa ia dermawan dan penuh syukur, betapa ia baik hati dan bersahaja, betapa ia mudah iba dan suka memberi, betapa ia setia dan rendah hati, betapa ia bersikap setara dan adil! Hati nurani anak senantiasa terjaga.” (A Philosophy of Education, hlm. 43)
Saya bersyukur diberikan kesempatan belajar dari kejadian ini. Saya menyadari kesalahan saya. Saya makin menyadari tugas saya sebagai pendidik bagi Kiran adalah mengimani anak sebagai pribadi utuh, tidak boleh sembarangan menghakimi anak, meskipun dalam pikiran. Maafkan bunda ya, Nak. Terima kasih atas pelajaran yang telah kau berikan.
no replies