Short lessons, kata Charlotte Mason. Cukup 5-10 menit sehari, asalkan metodenya tepat anak akan menuai banyak manfaat. Sebaliknya, menyuruh anak belajar menulis dengan durasi panjang, bahkan sampai berlembar-lembar, bisa jadi kontraproduktif jika materi dan pendekatannya keliru.
Tujuan utama pendidikan CM adalah pendidikan karakter. Setiap kegiatan belajar adalah medium penanaman kebiasaan-kebiasaan baik dan suplai ide-ide inspiratif. Ketika mendampingi anak berlatih menulis pun, tujuan itu harus praktisi CM ingat lekat-lekat.
Fokus dan Sempurna
Bagaimana cara Anda melatih anak atau siswa Anda belajar menulis? Setahu saya, yang jamak dikerjakan guru adalah membuatkan contoh huruf, kata, atau kalimat. Kemudian anak diminta menirukannya atau mencontohnya berkali-kali, sampai selembar penuh (atau malah lebih).
Selama anak menulis, acap guru membiarkan dia berusaha sendiri tanpa dipantau. Anak mau melamun atau serius selama jam latihan menulis, terserah dia, yang penting saat waktunya dikumpulkan, tugas itu sudah selesai. Setelah itu, tinggal guru mengkoreksi dengan tinta merah: oh ini keliru, oh ini jelek. Kasih catatan sedikit di sana-sini, lalu guru mengakhiri dengan memberi nilai dan coretan khas yang seperti huruf sambung l meliuk-liuk itu – tanda ketuntasan.
Praktik ini bermasalah dari sudut pandang CM karena tidak melatihkan kebiasan-kebiasaan baik pada anak. Dua kebiasaan baik yang utama dalam hal ini adalah fokus (habit of attention) dan melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya (habit of perfect execution).
Orangtua atau guru yang paham filosofi CM akan serius memastikan bahwa anak fokus mengerjakan tugasnya. Lebih baik durasi latihan hanya 5 menit tapi anak sepenuhnya fokus, ketimbang minta anak latihan menulis setengah jam tapi sebetulnya disambi-sambi anak dengan melamun atau main. Anak yang belum bisa fokus jika ditinggal sendiri, ya jangan ditinggal sendiri. Kemandirian dilatihkan bertahap, tidak bisa mendadak terbentuk.
Selain fokus, anak mesti digembleng agar memiliki fondasi keterampilan yang kokoh. Apakah postur tubuh dan tangannya saat menulis sudah tepat? Apakah gerakan tangannya saat membentuk huruf sudah efektif dan efisien? Apakah panjang atau besar huruf sudah sesuai dengan garis bantu? Apakah ada tanda baca yang keliru atau ketinggalan?
Pastikan semua dasar keterampilan menulis ini anak internalisasi secara konsisten. Ibaratnya, lebih baik menulis satu huruf saja tapi “sempurna”, daripada menulis berlembar-lembar, mengulang beratus-ratus kali, tapi belepotan – huruf naik turun menabrak garis, titik koma tak lengkap, b dan d terbalik-balik, dan sebagainya.
Setiap goresan yang anak tulis meninggalkan jejak kebiasaan di otak dan tubuhnya. Itu sebabnya, memberi koreksi setelah anak terlanjur beratus-ratus kali melakukan kesalahan berarti terlambat. Kebiasaan buruk terlanjur terbentuk. Membetulkan kebiasaan buruk lebih berat ketimbang melatihkan kebiasaan baik sejak awal.
Dalam menulis pun kita harus mencegah jangan sampai kebiasaan buruk menetap dalam diri anak. Caranya, selalu latihkan melakukan sesuatu secara benar sejak pertama kali anak mengerjakannya. Misalnya, agar kelak bisa menulis cepat dan rapi, arah tangan saat menulis huruf “o” atau angka “0” mesti ke kiri dulu, melengkung ke bawah, ke atas, lalu menutup di titik awal – maka awasi agar anak tidak menggores dari kanan ke kiri.
Materi latihan menulis ini juga sekaligus menjadi pelajaran soal tata bahasa. Kapan harus menggunakan huruf kapital? Di mana letak titik dan koma? Apa arti dua garis melengkung kecil di bagian awal dan akhir kutipan? Kapan harus memakai tanda seru dan tanda tanya? Tanda baca apa yang harus diselipkan di antara dua kata sama yang berulang – kupu-kupu, laba-laba, anak-anak, dst.? Di mana kata harus dipenggal ketika baris kurang panjang untuk memuatnya utuh? Berbagai macam aturan tata bahasa ini anak pelajari sambil langsung praktik menuliskannya, asal kita konsisten memastikan dia menulis sesuai aturan-aturan itu.
Charlotte berpesan, jangan pernah sekali pun membiarkan anak membiasakan diri dengan kekeliruan. Selama kebiasaan menulis yang benar belum terbentuk, jangan tinggalkan anak latihan menulis sendiri. Di awal menulis, jangan memakai bolpen, supaya setiap kali anak salah menulis, ia bisa langsung membetulkannya. Minta dia menghapus huruf yang salah itu, dan menuliskannya lagi dengan benar. Cegah otak dan tubuhnya merekam kesalahan secara permanen.
Kalau sampai anak berulang-ulang melakukan kesalahan yang sama, cari tahu apa akar masalahnya. Misalnya, huruf b dan d selalu terbalik. Mungkinkah karena sistem proprioseptifnya belum berkembang? Sudah tepatkah usianya untuk mulai latihan menulis? Perlukah dia tambahan stimulasi lain agar otak dan tubuhnya siap — brain gym, latihan gerak silang, atau yang lain?
Antisipasi kemungkinan anak berbuat salah sebelum dia terlanjur berbuat salah. Misalnya, dia selalu lupa memberi titik di akhir kalimat. Cegahlah kesalahan itu berulang dengan mengingatkan dia lebih dulu sebelum mulai menulis, “Ini nanti di akhir kalimatnya harus ada titik, apa kamu bisa ingat untuk memberi titik?”.
Materi Penuh Makna
Latihan menulis juga bisa menjadi sarana menyuplai anak dengan gagasan-gagasan positif. Biasanya materi menulis apa yang Anda pilihkan untuk anak? Hindari kata atau kalimat yang klise, banal, membosankan, apalagi acak. Menulis “babi – baba – babo – babu”, sama sekali tidak bermakna bagi anak. Bagaimana kalau diganti dengan “balonku ada lima”?
Ada banyak teks inspiratif yang bisa dijadikan materi menulis untuk anak: lagu, puisi, ayat kitab suci, peribahasa, pepatah, kata bijak para tokoh, kutipan bagus dari buku-bukunya. Sembari dia menulis, misalnya: Perjalanan ribuan mil dimulai dengan langkah pertama. (Lao Tzu), dia bukan hanya sedang melatih jari-jemarinya, tapi sekaligus mengisi memorinya dengan kebijaksanaan.
Saya masih ingat suatu hari memberikan lembar latihan menulis kepada Si Tengah. Ia harus menyalin kalimat: “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Sebelum menulis, Si Tengah biasa membaca dulu seluruh kalimat.
Seusai membaca, dia mendongak dan bertanya, “Kalimat ini maksudnya apa?” Saya jawab, “Itu peribahasa kita.” Kemudian saya berikan contoh-contoh kasus yang ia bisa pahami tentang apa manfaatnya kalau orang menyelesaikan tugas dan kewajiban dulu, baru bersantai-santai; dan apa akibat buruknya kalau orang bersantai-santai dulu, lalu terburu-buru menggarap tugas. Si Tengah mengangguk-angguk lalu mulai menulis.
Beberapa waktu kemudian, lumayan lama dari sejak percakapan tentang peribahasa ini, tiba-tiba Si Tengah berkata pada saya. “Ma, aku tadi hebat lho! Aku bersakit-sakit dahulu.” Saya terheran-heran dan bertanya, apa maksudnya? Lalu dia bercerita bahwa dia barusan membuat pilihan untuk menuntaskan kewajibannya sebelum pergi bermain. “Seperti tulisan latihanku dulu itu kan, Ma?” Wah, wah, wah! Kita betul-betul tak bisa meremehkan kekuatan kalimat inspiratif!
Lembut Tapi Menantang
Metode CM senantiasa mematok standar yang tinggi, tetapi pendekatannya bersifat ramah anak (gentle). Ini berarti memberikan anak tantangan yang mendorong dia keluar dari zona nyamannya, tapi sekaligus mengukur dengan hati-hati agar tantangan itu tidak terlalu sukar baginya (manageably challenging).
Kenali betul tingkat kemampuan anak dan berikan porsi latihan yang sesuai. Selalu mulai dengan durasi latihan menulis yang pendek, dan baru makin panjang ketika dia sudah siap. Pangkas kembali durasi latihannya yang panjang itu jadi lebih pendek, ketika daya fokusnya sedang menurun. Kita tidak ingin anak mencucurkan air mata gara-gara latihan menulis, saking capeknya, saking bosannya, saking bencinya pada menulis! Handwriting should be without tears.
Ketika anak-anak saya mulai latihan menulis di usia hampir 7 tahun, mereka cukup menebalkan beberapa huruf besar-besar per sesinya. Dimulai dengan huruf yang paling mudah ditebalkan: i, l, dan j. Lalu berlanjut ke huruf-huruf lain yang lebih rumit. Setelah lancar menebalkan huruf, lalu mereka menebalkan kata. Cukup 2-3 kata per sesi, durasi latihan sekitar 5 menit saja.
Setelah lancar menebalkan kata, mereka menebalkan kalimat pendek. Di situ mereka mulai berkenalan dengan huruf besar dan tanda titik. Saya suka pilih kalimat yang lucu-lucu, sehingga mereka tertawa saat latihan menuliskannya.
Ketika saya lihat mereka sudah lancar menebalkan (makin rapi dan makin cepat), saya minta mereka mulai menirukan contoh kalimat. Saya menuliskan sebaris saja kalimat, berisi 3-4 kata, lalu mereka menirukan persis di baris bawahnya. Secara bertahap, saya pilihkan kalimat-kalimat yang kosakata dan tata bahasanya makin rumit.
Bayangkanlah sedang membangun gedung megah, dan saat ini kita tengah meletakkan fondasinya. Cita-cita kita adalah anak yang mahir menulis dengan tangan, bisa menulis cepat dan rapi, dengan tata bahasa di luar kepala, dan kosakata yang kaya. Namun visi itu butuh digarap dengan seksama sejak awal mulainya.
Yang paling lama, tapi paling menentukan, dalam membangun suatu keterampilan adalah meletakkan fondasinya. Jika fondasinya sudah kokoh, anak tidak akan kesulitan lepas landas. Sebaliknya, jika dasar-dasar menulisnya awut-awutan, kelak ia harus bekerja keras untuk mengkoreksinya. Mencegah lebih baik ketimbang mengobati.
“Satu langkah kecil jika dikalikan selama bertahun-tahun akan berbuah satu lompatan raksasa,” kata Andrew Crusoe. Jangan remehkan kekuatan latihan menulis yang tepat prinsip, meskipun hanya 5 menit sehari. Bertahun-tahun kemudian, bukan hanya terampil menulis, anak sekaligus menjadi pribadi yang fokus, selalu mengerjakan sesuatu sebaik-baiknya, kaya pengetahuan bahasa, plus lebih bijaksana.
no replies