“Masa depan anak sebagai laki-laki atau perempuan dewasa sangat ditentukan oleh pengetahuan riil dan kebiasaan-kebiasaan pengamatan yang cerdas, yang mereka kumpulkan semasa kanak-kanak.” (Home Education, hlm. 266)
Adakah anak sekarang yang masih terbiasa memelihara ulat, mengamati berbagai bentuk fase hidup kodok di habitat aslinya, daun-daun yang berubah warna seiring musim, bahkan koloni semut yang tak henti bekerja? Berapa di antara anak-anak kita yang ketika berjalan-jalan, dengan sadar berniat memperhatikan sekeliling?
Anak terlahir sebagai naturalis. Kecenderungan alami ini perlu dipelihara. Ia mesti diajak membuka diri dan indera agar menyadari keberadaan alam yang hidup berdampingan dengan kita manusia. Jangankan di alam bebas, di halaman rumah ataupun pinggir jalan bisa jadi ada hal alami yang menarik, tapi terlewat karena anak tidak dibiasakan untuk memperhatikan.
Kurangnya kepekaan berpotensi pada pengabaian. Kepekaan terhadap detil-detil yang berlangsung di alamlah yang membuat anak-anak kita menghargai alam dan memperdulikannya sebagai sesuatu yang bernilai.
Ada dua tipe anak, kata Charlotte Mason, “bermata” dan “tidak bermata” (Eyes and No Eyes). “Si Bermata dan Si Tak Bermata pergi berjalan-jalan. Tak Bermata pulang dengan muka bosan, dia tak melihat apa-apa, tak menikmati apa-apa, sedangkan Bermata ramai membicarakan ratusan hal yang menarik minatnya.” (Home Education, hlm. 266)
Anak-anak yang terbiasa mengamati secara sadar akan mendapati keindahan dan keajaiban alam sebagai hal yang menarik baginya untuk dipahami. Kebiasaan memperhatikan dan mengamati anak perlu diasah sampai mewujud dalam karakternya.
Gemblengan Mental dari Alam
Alam menyuguhkan langsung Sang Maha kepada anak lewat segala proses dan keteraturan dalam kejadian-kejadiannya – bagaimana seekor serangga makan, bereproduksi, bahkan mempertahankan diri; bagaimana segala detil yang berlangsung di alam itu saling berhubungan satu sama lain secara seimbang.
Anak mendapat pelajaran karakter dari lebah yang rajin mengumpulkan madu, ketabahan ulat menjadi kupu-kupu, kecerobohan lalat yang menyebabkannya terperangkap di jaring laba-laba, daun-daun tua yang berguguran berganti tunas-tunas baru, dan sebagainya.
Nature study melampaui sekadar having fun – bersenang-senang. Nature study lebih tepat disebut sebagai penggemblengan mental dan penguatan karakter. Proses mengamati alam dengan sungguh-sungguh membutuhkan komitmen panjang.
“Kita semua butuh dilatih untuk melihat dengan sungguh-sungguh, kita butuh mata kita dibukakan, sebelum kita bisa betul-betul merasakan kegembiraan yang memang sudah disediakan bagi kita dalam kehidupan yang indah ini.” (Ourselves, hlm. 43)
Anak perlu setidaknya 12 jam untuk mengamati pergerakan matahari, 30 malam untuk memperhatikan perubahan penampakan bulan, setahun untuk memahami perubahan musim, sebulan bahkan berbulan untuk mengamati proses metamorfosis seekor kupu-kupu, dan seumur hidup untuk mencintainya.
Di tengah alam, ketahanan mental anak diuji. Untuk bisa mengamati seekor capung lincah, ia harus belajar tenang dan sabar agar bisa berdekatan dengannya. Untuk bisa melihat perilaku ulat, siput, laba-laba, cacing, dan kalau perlu merasakannya dengan segenap inderanya, anak harus membuang rasa geli dan takutnya. Belum lagi kondisi tidak nyaman, seperti digigiti nyamuk, tertusuk duri semak, terpeleset di lumpur, disengat semut, ditempeli biji rumput lengket, tersandung batu tajam, kepanasan di tengah terik matahari. Anak butuh latihan agar tahan dan terbiasa dengan tantangan-tantangan naturalis ini.
Lihatlah nature study sebagai proses panjang memberi manfaat bagi hidup seorang anak untuk seterusnya. Manfaatnya akan terasa seiring proses bertumbuh dalam hidup seorang anak.
“Nature study meningkatkan kecerdasan anak dan membuatnya pribadi yang lebih menarik. Bayangkan latihan mental tiada dua yang diperoleh si naturalis kecil saat mempelajari segala yang ada di bawah matahari – kekuatan perhatian, ketajaman menganalisa, pencarian yang tekun, jika semua itu terus meningkat seiring tumbuh kembang anak, apa yang tak bisa dia kerjakan kelak?” (Home Education, hlm. 61)
Kegiatan Seumur Hidup
Nature study termasuk kegiatan vital bagi praktisi CM. Ada benang merah pendekatan dalam semua subjek CM, baik nature study, studi kitab suci, living books, sejarah, hasta karya, dan sebagainya. Semuanya dikerjakan dalam konteks tujuan jangka panjang, yakni upaya menjadikan anak-anak sebagai penopang peradaban umat manusia.
“Jangan tanya anak seberapa banyak dia tahu, pada saat dia menyelesaikan sekolah, tapi seberapa sungguh dia peduli? Seberapa luas kepeduliannya? Sungguh, seberapa luaskah dunia tempat ia berpijak? Karena itu akan berarti, seberapa bermaknakah hidup yang akan dia jalani?” (A Philosophy of Education, hlm. 171)
Ini berarti, jangan pergi ke alam sebatas ekspektasi instan. Orangtua musti menyadari tujuan besar nature study melampaui soal menambah pengetahuan. Yang terpenting adalah terjaganya kecintaan dan kepedulian anak terhadap alam semesta, tumbuhnya rasa tanggung jawab pada keberlangsungan peradaban pada generasi mendatang, dan tentu saja membesarnya rasa syukurnya pada Tuhan.
Inilah yang saya kagumi dari metode pendidikan Charlotte Mason. Setiap praktiknya – seperti nature study ini – senantiasa dilandasi gagasan besar, tapi praktiknya lemah lembut dan bertahap. Jika kita mempraktikkannya secara konsisten dari hari ke hari sejak anak belia, bukan hanya kita menyiapkan anak-anak untuk hidup yang bermakna dan bahagia, tapi juga bersumbangsih pada peradaban manusia. Give it a try!
no replies