Salatiga, CMIndonesia.com– Sambil memegang angklung, penuh semangat Clarissa (7) mengayun kaki maju-mundur, bersama belasan kawannya bergoyang mengikuti irama riang “Rek Ayo Rek”. Performa keren anak-anak ini menutup Temu Raya Praktisi Charlotte Mason Indonesia 2017 di Kopeng, Minggu (3/9) lalu.
Lima belas keluarga berkumpul selama empat hari tiga malam di Wisma Kurios. Ada yang dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, sampai Kalimantan. “Ini acara yang sudah kami cita-citakan sejak lama, sesama praktisi bisa kumpul, bareng-bareng mempraktikan metode CM yang biasanya dijalani sendiri-sendiri, sekaligus sharing pengalaman dan ngobrol kendala apa saja yang dihadapi selama ini,” kata ketua panitia Ayu Primadini, praktisi CM dari Jakarta.
Prinsip CM bahwa pendidikan adalah atmosfer coba dihidupkan selama Temu Raya. Lukisan-lukisan dipajang di dinding aula. Living books dan buku panduan nature study dipamerkan dan boleh dibaca setiap saat. Meja dihiasi dengan bunga liar dan temuan favorit anak dari kegiatan nature walk yang dilakukan bersama keluarga tiap pagi. Iringan musik mengalun lembut. Di sela latihan untuk konser penutup, anak-anak bebas bermain di area wisma yang luas dan asri. Mereka bebas mengatur kegiatan dan permainan mereka sendiri sementara dua orang relawan mengawasi tapi tidak ikut campur sesuai prinsip masterly inactivity.
Sementara anak-anak riang bermain, orangtua memanfaatkan maksimal waktu berkumpul yang langka ini. Sejak hari pertama sampai hari terakhir, sesi demi sesi berlangsung maraton. Total ada sembilan workshop yang digelar dengan berbagai tema: filosofi CM dan bagaimana memulai pendidikan CM, nature study dan geografi, hasta karya (handicraft), living books-narasi-puisi, picture study, music study, sejarah, bahasa asing, dan habit training. Para keluarga Indonesia tampak antusias bertukar ide dengan praktisi CM asal Amerika Kathy Hoeweler, Elissa Drummond, dan Molly Armstrong sesuai tema Temu Raya, “Best Practice Pendidikan CM dari Timur dan Barat”.
Hanya sesi pertama yang “teoritis”. Sesi-sesi selanjutnya penuh diisi dengan praktik langsung dan petunjuk teknis mendampingi anak belajar tiap subjek. Di sesi nature study, keluarga praktik membuat jurnal amatan alam. Di sesi living books, ada praktik narasi. Di sesi hasta karya, anak-anak menciptakan pigura kertas dengan metode paper sloyd. Di sesi picture study, praktisi CM yang sudah lebih berpengalaman mendemonstrasikan cara mengajak anak belajar menyimak lukisan kepada keluarga lain yang belum pernah mempraktikkannya.
“Mulai dari langkah terkecil, lebih tidak ambisius lebih baik, dan selalu ingat untuk menghormati anak-anak terlahir sebagai pribadi utuh,” pesan itu diulang-ulang terus oleh Kathy. Dia menekankan pentingnya orangtua merawat kerendahan hati, selalu mensintesiskan antara praktik dan teori, serta menjaga visi mewujudkan kebajikan sebagai suatu siklus tanpa henti.
Khas pertemuan praktisi CM, fokus pada pendidikan karakter lebih dominan ketimbang capaian akademis. Soal bagaimana memperbaiki diri sebagai orangtua dan bagaimana mendampingi anak dengan lemah lembut terus-menerus muncul dalam percakapan. Refleksi dan introspeksi beberapa kali membuat mata peserta jadi basah dan kata terbata-bata ketika hati mereka tergetar oleh kesadaran. “Betul-betul rasanya seperti tertampar, tersadar, masih harus banyak belajar menghargai anak sebagai pribadi utuh,” ungkap Maria, praktisi CM dari Malang.
Bukan hanya kesadaran, persahabatan yang lebih erat pun berkembang selama Temu Raya. Para ibu, para bapak, dan tentu saja para anak makin akrab dari hari ke hari. Obrolan santai di luar sesi, bahkan sampai menjelang tengah malam, terdengar dari kamar ke kamar. Usai makan siang terakhir, peserta bertukar salam dan pelukan hangat. Anak-anak bergandeng tangan seolah enggan berpisah. Sampai jumpa! Sampai jumpa lagi tahun depan di Batu, Malang!
no replies