Oleh: Susan Heitler, Ph.D
Sebagai terapis yang banyak menangani pasangan bermasalah, saya mengamati bahwa hampir semua klien – lelaki maupun perempuan – bisa tampak dewasa saat saya temui sendirian. Namun, kesan berkebalikan muncul saat klien tersebut saya temui dalam sesi terapi bersama pasangan.
Melihat pasangan-pasangan berinteraksi memberi saya jauh lebih banyak data. Perilaku tak pantas, kekanak-kanakan, dan patologis langsung keluar semuanya. Saya sudah melihat titik-titik ekstremnya: dalam situasi tertekan, seorang suami atau istri bisa bertindak kasar, menyakitkan, bahkan berbahaya – tapi ada juga yang bisa kalem, penuh respek, dan benar-benar matang.
Umur Emosional
Seorang psikolog dari Afrika, saat kami bertemu di suatu konferensi psikologi internasional, menjelaskan pada saya bahwa di negaranya sudah jamak seseorang dinilai bukan hanya dari umur jasmani saja, tapi juga umur emosional.
Umur jasmani tinggal dihitung dari berapa kali ulang tahun. Khususnya pada anak-anak, umur jasmani akan dikorelasikan dengan tinggi badan, berat badan, dan fungsi kognitif. Umur emosional atau psikologis diukur lewat kebiasaan-kebiasaan emosional. Misalnya, orang dewasa tetap bisa tenang sedang kanak-kanak cenderung cepat marah. Orang dewasa mempertimbangkan saksama situasi sebelum bicara, sementara anak-anak secara impulsif suka melontarkan kata-kata yang tidak bijak atau menyakitkan.
Anak balita yang ingin mainan mobil-mobilan atau boneka milik temannya bakal langsung meraih dan merebut. Anak-anak yang terawat baik dan bahagia pun bisa mengamuk atau menangis berkali-kali sehari. Tata krama orang dewasa seperti tunggu giliran atau tidak berebut belum merasuk ke dalam perilaku kanak-kanak ini. Mereka belum bisa konsisten berperilaku sopan karena norma-norma “hidup berbudaya” belum terinternalisasi. Perilaku-perilaku yang kita maklumi sebagai normal pada diri kanak-kanak ini tentu saja akan tampak kasar dan konyol jika yang melakukan adalah orang yang telah dewasa secara jasmani.
Mengenali Perilaku Kekanak-kanakan
Untuk mengenali perbedaan anak kecil dan orang dewasa yang sudah matang secara emosi, coba ingat-ingat para bocah yang anda kenal – mungkin anak anda sendiri, cucu, keponakan, atau anak tetangga. Bandingkan dengan sosok-sosok bijak yang anda kenal dan hormati. Apanya bedanya? Sebelum saya memberi daftar karakteristik perilaku yang saya biasa cermati dari klien, coba anda bikin sendiri daftar dari visualisasi tadi.
Mari kita cocokkan. Ada sepuluh tanda yang terapis catat untuk menilai apakah seorang klien secara emosional kekanak-kanakan atau matang.
1. Eskalasi emosional
Kanak-kanak sering menangis, marah-marah, ngambek atau merengut. Orang dewasa jarang begitu.
2. Menyalahkan orang lain
Saat ada masalah, anak-anak cenderung mencari orang lain untuk disalahkan, sedang orang dewasa fokus mencari solusi.
3. Berbohong
Jika terjadi situasi yang terasa “mengancam”, anak-anak bakal berbohong agar bisa terhindar dari masalah. Orang dewasa menerima kenyataan, menjaga integritas dan bicara apa adanya.
4. Mengumpat/memaki
Anak-anak saling mengejek dan mengumpat, sedang orang dewasa berusaha mempelajari yang terjadi. Orang dewasa tidak melancarkan serangan ad hominem, yakni, mengungkit-ungkit kelemahan pribadi. Sebaliknya, mereka “menyerang” masalahnya tanpa merendahkan orang lain dengan label-label menyakitkan.
5. Impulsif (dengan kata lain, lemah pengendalian diri)
Anak-anak langsung menyerang balik secara spontan begitu mereka merasa disakiti atau ngamuk. Mereka bicara tanpa pikir panjang, melakukan sesuatu begitu saja tanpa berhenti sejenak untuk mempertimbangkan akibat yang mungkin timbul dari tindakan itu. Alih-alih, menyimak sudut pandang orang lain, kanak-kanak secara impulsif menyergah omongan temannya.
Sebaliknya orang dewasa mengambil jeda, mengerem impuls untuk mencerocoskan kata-kata tajam atau tindakan emosional. Mereka menenangkan diri dulu, memikirkan masalah secara utuh, mencari lebih banyak informasi, dan menganalisis berbagai opsi tindakan. Orang dewasa yang terlatih – seperti tentara dan polisi – akan bisa cepat membedakan antara situasi berbahaya dan tak berbahaya, dan memberi respons dengan cepat pula (bagaikan impuls) untuk mencegah jatuhnya korban.
6. Ingin Jadi Pusat Perhatian
Pernah coba mengajak anak usia dua tahun ikut bercakap-cakap di tengah kumpulan orang dewasa? Bukankah tak lama kemudian anak itu sudah rewel dan tak sabar?
7. Merisak
Anak yang badannya lebih besar dari sebaya akan berjalan ke arah temannya yang lebih kecil lalu merebut begitu saja mainan yang dipegang anak itu sesukanya. Si teman mungkin diam saja, takut kalau si perisak akan menyerang lebih parah lagi. Dia merasa lebih aman membiarkan si perisak mendapatkan yang dia mau. Sebaliknya, orang dewasa menghargai batas-batas: milikmu itu milikmu, milikku itu milikku.
8. Benih Narsisme
Orang yang narsis hanya bisa melihat dari kepentingan dan sudut pandangnya sendiri. Orang disebut dewasa jika bisa melihat situasi dari sudut pandang orang lain dan dengan demikian mempertimbangkan pula kepedulian-kepedulian sesamanya itu.
Anak-anak yang menunjukkan sikap narsis sering dianggap berkehendak kuat. Faktanya, justru suatu kelemahan serius jika kita tak bisa melihat melampaui diri sendiri. Orang-orang yang matang secara psikologis suka mendengar orang lain, mencoba memahami perasaan, kecemasan, dan preferensi mereka.
Para dewasa narsis yang hanya tahu keinginannya sendiri – “turuti aku atau awas!” – secara emosional malah rapuh. Mereka bertingkah laku persis anak-anak yang maunya terus bermain walaupun sudah jamnya makan dan tantrum tanpa mau mendengar penjelasan orangtua mengapa ia harus makan dulu baru lanjut bermain. “Semua harus sesuai mauku, persetan dengan orang lain, kalau aku tidak dituruti aku akan merisakmu dengan amarah, atau aku akan ngambek dan cemberut.”
9. Mekanisme Pertahanan Diri yang Kekanak-kanakan
Mekanisme pertahanan diri, menurut Freud, adalah cara individu-individu melindungi diri dan/atau meraih yang mereka inginkan. Orang dewasa mempertahankan diri dengan cara mendengar isi pikiran orang lain, kemudian memecahkan masalah secara kolaboratif. Ini pertanda secara psikologis mereka sudah matang.
Anak-anak, sebaliknya, sering menganggap pertahanan diri terbaik adalah dengan menyerang. Menyerang orang lain yang mengungkapkan sudut pandang berbeda, ini mekanisme pertahanan diri yang primitif. Yang juga mekanisme pertahanan diri primitif adalah penyangkalan. “Aku nggak bilang begitu tadi!” “Bukan aku yang memecahkan piring!” padahal sebetulnya mereka tadi memang bilang dan melakukan itu.
10. Absennya “Si Pengamat”’
Saat naik darah atau lepas kendali, “si pengamat” dalam diri orang yang dewasa secara emosional akan lekas menyadari bahwa sikapnya barusan itu tidak benar. “Si Pengamat” mengambil jarak dari dirinya sendiri dan eling bahwa perilaku itu tak selaras dengan sistem nilainya (ego dystonic, istilah para terapis).
Anak-anak yang belum menginternalisasi panduan moral orang dewasa tentang cara bersikap respek pada orang lain, atau yang belum mengembangkan kemampuan untuk mengambil jarak dan mengamati perilaku sendiri untuk bisa menilainya tepat atau tidak tepat, akan menganggap marah-marah itu normal. Ledakan emosi mereka nilai sebagai benar dan wajar (ego syntonic, istilahnya) dan malah menyalahkan orang lain. “Aku begini karena kamu …”
Lalu Harus Bagaimana?
Jika diri kita, atau pasangan dan kenalan kita, berperilaku lebih seperti kanak-kanak dibanding orang dewasa, apa yang bisa kita kerjakan? Lebih mudah mencintai anak-anak yang berperilaku kekanak-kanakan. Sulit rasanya mencintai pribadi yang kekanak-kanakan yang mewujud dalam tubuh orang dewasa.
Satu strategi untuk mencintai orang yang kekanak-kanakan adalah berfokus pada aspek-aspek yang lebih matang dan menarik dari orang itu. Jika yang kekanak-kanakan itu diri anda sendiri, cintailah kelebihan-kelebihan anda – dan upayakanlah untuk terus memperbaiki area-area kebiasaan perilaku tidak dewasa anda.
Strategi lain adalah jangan “kagetan” ketika pola kekanak-kanakan itu muncul. Pikiran, “Aku tak percaya dia bisa begitu!” adalah pertanda bahwa anda belum bisa menerima kenyataan bahwa orang itu memang perilakunya masih kekanak-kanakan. Menerima realitas adalah langkah pertama dan utama menuju perubahan.
Ketiga, kalau anda adalah “korban” dari sikap kekanak-kanakan orang lain, jangan terjebak pada ambisi mengubah orang tersebut. Sebaliknya, cari tahu hal-hal yang bisa kaulakukan supaya pola perilaku orang itu tak lagi mengganggu anda. Tugas anda adalah mendewasakan diri anda sendiri, bukan memaksa orang untuk berubah.
Terakhir, pelajari terus keterampilan-keterampilan agar bisa berfungsi sebagai orang dewasa. Orang yang tetap kekanak-kanakan sampai besar, kebanyakan karena tidak punya cukup keterampilan mengelola emosinya sendiri. Makin menguasai keterampilan berperilaku dewasa, anda akan makin bisa bersikap bijak sekalipun berinteraksi dengan orang-orang yang kekanak-kanakan.
Diterjemahkan bebas dan disunting oleh Ellen Kristi dari “Can You Spot 10 Signs of Childish Adult” oleh Susan Heitler, Ph.D, terapis perkawinan dan penulis buku Prescriptions Without Pills (2016).
Nampaknya saudari saya persis seperti ciri2 di atas dan saya juga anak saya, sering sekali menjadi korban.